tag:blogger.com,1999:blog-11392030851709336012024-03-08T14:45:36.301-08:00setanonsetanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-81106569017788639152010-04-12T03:21:00.000-07:002010-05-05T08:02:51.424-07:00Menanam Padi<div style="text-align: justify;font-family:verdana;"><br />“MENANAM PADI, MUNGKIN RUMPUT PUN TUMBUH, MENANAM RUMPUT PADI TIDAK AKAN TURUT TUMBUH”<br /><br />Saudara diminta menerangkan bagaimana terjadinya proses masalah lingkungan dan terangkan dengan contoh-contohnya ?<br />a. Pada mulanya masalah lingkungan hidup merupakan masalah alami dengan peristiwa-peristiwa yang terhajadi sebagai bagian dari proses alam. Proses alami ini terjadi tanpa menimbulkan akibat yang berarti bagi lingkungan, akibat jumlah populasi dak aktivitas manusia, akal budinya serta kebudayaan dan teknologi yang semakin maju dalam rangka mempermudah cara hidup manusia dengan cara mengeksploitasi sda menyebabkan tata lingkungan berubah dan menjadikan masalah-masalah pada lingkungan.<br />i. Pencemaran<br />ii. Pertumbuhan penduduk<br />iii. Kemajuan teknologi<br /><span class="fullpost"><br />Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan adalah merupakan usaha untuk memelihara dan memperbaiki, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas lingkungan agar terpenuhinya kebutuhan hidup manusia dan makluk hidup lainnya. Berkaitan dengan Perlindungan dan pengelolaan lingkungan, maka negara telah menentukan Tujuan dari hal tersebut Saudara diminta memberikan dasar hukum dari Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang berfungsi sebagai payung hukum dalam sistem hukum lingkungan di Indonesia dan apa saja yang menjadi tujuannya?<br />a. Dasar hukum dari proses perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah UU No. 32 Tahun 2009<br />b. Dan yang menjadi tujuan dari hal tersebut di atas adalah :<br />i. Tercapainya keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan<br />ii. Terkendalinya pemanfaatan sda secara bijaksana<br />iii. Terwujudnya manusia indonesia sebagai pembina lingkungan hidup<br />iv. Terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang<br />v. Terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran.<br /><br />Pemerintah telah menentukan bahwa pembangunan nasional Indonesia harus bersitaf pembangunan yang berkelanjutan yang tetap memperhatikan hak-hak generasi selanjutnya. Karena itu dalam menjalankan roda pembangunan yang berkelanjutan memerlukan berbagai komponen pendukung. Saudara diminta untuk menyebutkan komponen pendukung tersebut dan uraikan pandangan saudara mengapa komponen terebut merupakan suatu yang penting dalam menunjang pembangunan yang bertujuan pada peningkatan kualitas hidup. ?<br />a. Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu usaha pembangunan yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan masa kini, dimana dalam pembangunan tersebut tetap memperhatikan hak-hak generasi yang akan datang oleh karena itu untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan tersebut, maka perlu berbagai komponen pendukung yang antara lain :<br />i. Modal<br />ii. SDM<br />iii. SDA/H<br />iv. Ilmu pengetahuan<br />v. Teknologi<br />vi. kelembagaan<br />Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan dasar dari Kebijakan Nasional dalam pengelolaan lingkungan dimana sejak tahun 1973 sampai dengan 2004 tertuang dalam Garis-Besar haluan negara. Tetapi setelah perubahan sistem pemilihan presiden secara langsung, maka Apakah Garis Besar Haluan Negara masih ada ? bila tidak ada apa yang menjadi dasar hukum dari proses perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.<br />a. Dasar dari proses perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup setelah tidak adanya GBHN, maka dituangkan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dimana dalam rangka pelaksanaanya Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang RPJM ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 yang ditetapkan pada tanggal 19 Januari 2005<br /><br />Rusaknya lingkungan karena lemahnya penegakan hukum, bila kita kaitkan dengan development law, harusnya kerusakan tidak akan terjadi atau kecil sekali, karena development law merupakan suatu sistem hukum yang sensitif terhadap pembangunan yang meliputi keseluruhan hukum substantif, lembaga hukum, berikut ketrampilan para sarjana hukum secara sadar dan aktif mendukung proses pembangunan. Oleh karena itu hukum menurut Michael Hager harus berfungsi sebagai penertib, katalisator dan penyeimbang. Saudara diminta untuk menjelaskan hal tersebut (hal 93)<br /><br /><br />--Kebahagiaan hanya didapat dengan hati yang bersih, mulailah dengan diri kita untuk berprilaku bersih baik dalam beribadah, bersilaturahmi atau mengerjakan soal ini--<br /><br /></span></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-44111236580018694152010-03-29T19:38:00.000-07:002010-04-02T08:17:02.130-07:00PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN<div style="text-align: justify;font-family:verdana;color:white"><br />PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN<br />Bahan Bacaan : <br />1. Penegakan Hukum Lingkungan (Prof. Jur Andi Hamzah)<br />2. Aspek-aspek Hukum Lingkungan (M Taufik Makarao, SH.MH)<br />3. Hukum Tata Lingkungan (Koesnadi Hardjasoemantri)<br />4. Hukum Lingkungan (Prof. Dr. Raihan, M.Si.)<br /><br />A. Pengertian Penegakan Hukum<br /><br />Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, sa Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa nesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum u dengan force sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan m hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini rkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegak hukum itu polisi, dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sebenarnya juga egakkan hukum. Andaikata istilah asing tersebut disalin menjadi anganan hukum" tentu lebih sesuai dengan konteks judul ini yang gakan hukumnya mempunyai ruang lingkup lebih luas. Handhaving menurut Notitie Handhaving Milieurecht, 1981 adalah ;awasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan instrumen inistratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan Im dan peraturan yang berlaku umum dan individual.<span class="fullpost"><br />Pengawasan (control) berarti pengawasan pemerintah untuk ditaatinya berian peraturan yang sejajar dengan penyidikan dalam hukum pidana. Di samping atau sebelum diadakannya penegakan hukum, sering pula akan negosiasi, persuasi, dan supervisi agar peraturan hukum atau at-syarat izin ditaati. Ini biasa disebut compliance (pemenuhan). Jadi, orang Amerika dan Kanada membedakan pengertian law en?ment yang berarti penegakan hukum secara represif, sedangkan comnce dalam arti preventif terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. pun orang Belanda kedua fase tersebut termasuk handhaving. Sebelum kukan tindakan represif maka dilakukan tindakan preventif yang iputi penerangan dan nasihat. Misalnya mengenai izin, jika lewat tu dapat diberikan nasihat agar membuat permohonan perpanjangan atau langsung diberi perpanjangan. Dengan demikian, istilah handng meliputi baik yang represif maupun preventif. Penyidikan dan penerapan sanksi administratif dan pidana merupakan bagian penutup penegakan hukum (handhaving).<br />Bagaimana dengan istilah penegakan hukum (lingkungan) dalam bahasa Indonesia? Apakah meliputi hanya yang represif atau dengan kata lain sejajar pengertiannya dengan law enforcement ataukah meliputi baik represif maupun preventif terjadinya pelanggaran lingkungan atau sejajar pengertiannya dengan handhaving? Menurut pendapat penulis, karena sulit menemukan suatu istilah dalam bahasa Indonesia sebagai padanan istilah compliance (yang meliputi negosiasi, supervisi, penerangan, nasihat, dan sebagainya) sebagai usaha preventif pelanggaran hukum lingkungan, maka lebih baik kita mengartikan penegakan hukum (lingkungan) itu secara luas, yang meliputi baik yang preventif (sama dengan compliance), maupun yang represif (dimulai dengan penyelidikan, penyidikan, sampai pada penerapan sanksi baik administratif maupun hukum pidana).<br />Penegakan hukum yang artinya luas itu (meliputi segi preventif dan represif), cocok dengan kondisi Indonesia, yang unsur pemerintah turut aktif meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Kita kenal sekarang adanya program Jaksa Masuk Desa dan Hakim Masuk Desa dengan propaganda Kadarkum (Kesadaran Hukum). "Lebih baik mencegah daripada mengobati", suatu semboyan yang patut diterapkan dalam pelanggaran hukum lingkungan.<br />Hukum lingkungan sangat rumit, banyak seginya. Pelanggarannya pun beraneka ragam, mulai dari yang paling ringan seperti pembuangan sampah dapur sampai kepada yang paling berbahaya seperti pembuangan limbah berbahaya dan beracun serta radiasi atom.<br />Oleh karena itu, penanggulangannya pun beraneka ragam, mulai dari penerangan hukum sampai pada penerapan sanksi. Suatu penerapan hukum lingkungan perlu digalakkan dari media massa seperti surat kabar, radio, televisi sampai kepada ceramah dan diskusi. Dengan demikian, pelanggaran dapat dicegah sedini dan seluas mungkin. Penanggulangan masalah lingkungan harus dimulai dari diri sendiri sampai kepada masyarakat luas.<br />Penegakan hukum lingkungan sebagaimana disebutkan sebelumnya sangat rumit, karena hukum lingkungan menempati titik silang pelbagai bidang hukum klasik. la dapat ditegakkan dengan salah satu instrumen, yaitu instrumen administratif, perdata atau hukum pidana bahkan dapat ditegakkan dengan ketiga instrumen sekaligus.<br />Oleh karena itu, para penegak hukum lingkungan harus pula menguasai pelbagai bidang hukum klasik seperti hukum pemerintahan (administratif, hukum perdata dan hukum pidana, bahkan sampai kepada hukum pertanahan, tata negara, internasional (publik maupun privat).<br /><br />B. Penegakan Hukum<br />Penegak hukum untuk masing-masing instrumen berbeda, yaitu instrumen administratif oleh pejabat administratif atau pemerintahan, perdata pihak yang dirugikan sendiri, baik secara individual maupun secara kelompok, bahkan masyarakat atau negara sendiri atas nama kepentingan (algemeen belang; public interest). Adapun hukum pidana yang penuntutannya dimonopoli oleh negara yang alatnya adalah jaksa sebagai personifikasi negara. <br />Untuk mencegah terjadinva tumpang-tindih penegakan hukum yang nen dari penegaknya berbeda itu, maka perlu ada kerja sama atau wadah antara penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan pemerintah (gubernur/bupati/walikota). Di negara Belanda dikenal yang disebut drie hoek overleg (musyawarah tiga pihak) yang terdiri atas ketiga unsur itu Di Indonesia lembaga musyawarah yang sudah ada, yaitu Muspiusyawarah pimpinan daerah) yang terdiri atas selain dari ketiga tersebut, juga dengan panglima di daerah. Ini karakteristik Indonesia ka.rena di Belanda tidak dikenal dwifungsi tentara atau campur tangan dalam urusan sipil, kecuali diminta bantuannya oleh sipil.<br />Karena yang mengeluarkan izin bukan saja pemerintah daerah tetapi departemen dengan jajarannya ke bawah (kakanwil), seperti Departemen industri, Departemen Pertanian (terutama perikanan), Departemen kehutanan, dan lain-lain maka sudah jelas jika terjadi pelanggaran hukum lingkungan yang masuk bidang masing-masing, mereka pun seharusnya ikut dalam musyawarah terutama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan. <br />Begitu pula dengan perwira TNI Angkatan Laut yang menyidik zona ekonomi eksklusif (ZEE), khusus jika menyangkut pencemaran lingkungan laut itu, berlaku UULH. Oleh karena itu, perlu musyawarah termasuk kategori menteri LH, Polisi, dan Jaksa. Polisi bukanlah penyidik di daerah ZEE, karena dimonopoli oleh perwira TNI Angkatan Laut. Akan tetapi karena menyangkut pencemaran dan berlakunya UULH untuk itu, tidaklah bertentangan dengan jiwa undang-undang jika musyawarah ini kan.<br /><br />C. Proses Penegakan Hukum Lingkungan<br />Jelas, proses penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari delik lain, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya, hukum lingkungan menempati titik silang pelbagai bidang hukum klasik. Proses penegakan hukum administratif akan lain dari pada proses penegakan hukum perdata ataupun hukum pidana.<br />Pada umumnya masalah dimulai dari satu titik, yaitu terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Dari titik berangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi anggota masyarakat, korban penegak hukum yang mengetahui langsung terjadinya pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat melapor kepada Bapedal Kantor Lingkungan Hidup juga bermacam-macam karena secara dini dapat mengetahui apakah benar terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan. Mereka memiliki laboratorium khusus, dan dari pemeriksaan laboratorium itu dapat diketahui terjadinya pelanggaran (melampaui ambang batas).<br />Dari kantor LH ini dapat dipilih proses selanjutnya. Kalau masih ragu, tentang ketentuan mana yang dilanggar, apakah ketentuan administrasi (pelanggaran perizinan), apakah bersifat perdata (misalnya perbuatan melanggar hukum) ataukah perlu dilanjutkan ke proses hukum pidana misalnya jika pelanggar adalah residivis. Menurut pendapat penulis, sebaiknya kantor LH ini membawa persoalannya ke forum musyawarah seperti disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, jika penerima laporan menganggap bahwa pelanggaran ini masih dapat diperbaiki atau dipulihkan dengan paksaan administratif (bestuursdwang), maka dapat diteruskan kepada yang mengeluarkan izin (misalnya pemerintah daerah) untuk segera ditanggulangi apakah cukup dengan compliance (negosiasi, penerangan, nasihat, dan seterusnya), ataukah tindakan keras, misalnya penarikan izin (contohnya dalam kasus hinder ordonnantie).<br />Anggota masyarakat, baik perorangan maupun kelompok dan lembaga swadaya masyarakat seperti organisasi lingkungan hidup, atau korban pencemaran atau perusakan lingkungan dapat juga langsung membawa persoalannya ke forum musyawarah tersebut. Dapat pula mereka langsung mengadu kepada penegak hukum pidana, yaitu polisi (dengan petunjuk jaksa). Menurut pendapat penulis, LSM atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat atau kepentingan masyarakat (algemeen belang, maatschappelijk belang). Jika mereka kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan Pasal 25 Keppres Nomor 55 Tahun 1991, dapat meneruskan kepada jaksa yang akan menggugat perdata atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di Kejaksaan terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.<br />Di samping itu, jika anggota masyarakat, korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat laporan pidana kepada Polisi. Siapa pun juga yang mengetahui terjadinya kejahatan wajib melaporkan kepada penyidik. Dari kepolisian dapat diminta petunjuk jaksa teknis yuridis. Jalur ini jelas jalur hukum pidana. Akan tetapi, jaksa dapat menyelesaikan berdasarkan asas oportunitas, baik dengan maupun tanpa syarat.<br />Jika jalur musyawarah yang ditempuh lebih dulu, tergantung kepada instrumen mana yang akan diterapkan Setelah ditetapkan atau dimufakatkan akan menempuh salah satu jalur, prosesnya masing-masing diuraikan sebelumnya. Artinya, jika administratif yang akan ditempuh maka korban, LSM, organisasi lingkungan hidup, Jaksa Perdata dan Tata Usaha Negara yang dapat menggugat. Jika jalur hukum pidana yang akan ditempuh, langsung diserahkan kepada polisi, kecuali perkara ZEE yang akan diserahkan kepada penyidik perwira TNI Angkatan Laut. <br />Jika semua jalur akan ditempuh berhubung pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya melanggar syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada orang atau masyarakat, lagi pula ia seorang residivis bahkan telah menimbulkan korban atau mati, masing-masing penegak hukum dan yang berkepentingan akan tugasnya. Agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang-tindih, misalnya denda (berdasarkan sanksi administratif dan pidana) maka para penegak hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing terkoordinasi dengan baik. <br />Akhirnya perlu diperhatikan bahwa semua jalur yang dapat ditempuh it memerlukan saksi ahli yang menurut pendapat penulis sebaiknya il dari atau dengan perantara kantor menteri lingkungan hidup, lain karena mereka mempunyai laboratorium khusus lingkungan.<br /><br />D. Penegakan Hukum Lingkungan Merupakan Bagian Ari Siklus Pengaturan Lingkungan (Regulatory Hachain)<br />Penegakan hukum (law enforcement; rechtshandhaving) lingkungan akan mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan (regulatory chain) :anaan kebijakan (policy planning) tentang lingkungan, yang urutan;bagai berikut:<br />1. Perundang-undangan (legislation, wet en regelgeving); <br />2. Penentuan standar (standard setting, norm setting); <br />3. pemberian izin (licensing, vergunning verlening);. <br />4. Penerapan (implementation, uitvoering); <br />5. Penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhavlng).<br /><br />Kemudian berputar lagi ke perundang-undangan. Apabila dalam praktiknya ternyata dari mata rantai ada kelemahan termasuk perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya. Ternyata di sini bahwa hukum lingkungan termasuk hukum modern, sangat rumit, bersegi banyak, mulai dari hukum perdata terutama mengenai perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 BW) dan hukum kontrak, hukum tata negara tentang organisasi badanbadan negara dan wewenang dalam menerapkan serta menegakkan hukum lingkungan, hukum administrasi negara terutama tentang perizinan dan pengawasannya, hukum pidana dalam memaksakan ditaatinya hukum lingkungan itu, bahkan hukum pajak karena bagaimanapun juga pelanggaran terhadap hukum lingkungan mempunyai segi atau motif ekonomi, yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya dan biaya yang seringan-ringannya, kalau perlu tidak mengeluarkan biaya untuk pencegahan dan pencemaran (penampungan limbah industri, penjernihan air limbah, penyaringan asap pabrik, dan seterusnya).<br />Ciri-ciri hukum modern antara lain tertulis, mudah atau luwes untuk diubah dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, dan tidak kurang pentingnya ia harus ditegakkan oleh penegak hukum yang profesional. Hukum lingkungan termasuk hukum yang sangat sukar dipahami, sehingga perlu spesialisasi dalam memelihara, mempertahankan, dan menegakkannya.<br />Dari mata rantai siklus pengaturan (regulatory) perencanaan kebijakan hukum lingkungan dapat dilihat bahwa di manapun dan terlebih-lebih di Indonesia, yang paling lemah adalah penegakan hukum.<br />Khusus untuk Indonesia, selain dari sebab-sebab yang umum sifatnya, artinya terdapat di seluruh dunia, terdapat pula sebab-sebab yang khusus. Hambatan atau kendala terhadap penegakan hukum yang sifatnya antara lain sebagai berikut.<br />1. Yang Bersifat Alamiah<br />Penduduk Indonesia terdiri atas 210 juta jiwa dari berbagai suku bangsa yang beraneka ragam kebudayaan, bahasa (dialek) dan agamanya, mendiami ribuan pulau-pulau yang sebagian besar sulit komunikasinya. Keanekaragaman suku bangsa ini sering memperlihatkan persepsi hukum yang berbeda, terutama lingkungannya yang lebih netral sifatnya dibandingkan dengan hukum yang lain mengenai masalah yang tersebut terakhir ini.<br />Dari peraturan perundang-undangan buatan kolonial, banyak sekali terdapat penekanan yang berbeda atas alasan alamiah ini. Misalnya pidana mati yang tercantum di dalam KUHP (WvSI) yang tidak terdapat dalam WvS Belanda, dengan alasan sukarnya dikontrol Indonesia yang terdiri ribuuan pulau, sehingga perlu diberi obat yang lebih keras daripada Rata-rata ancaman pidana di dalam KUHP (WvSI) lebih berat dibandingkan dengan WvS Belanda yang ditirunya. Misalnya delik pencurian donesia maksimal 5 tahun penjara. Adapun di Belanda maksimum 4 tahun, penggelapan: Indonesia maksimum 4 tahun, sedangkan menurut Belanda maksimum 3 tahun penjara. Bahkan ketentuan pembelaan a (noodweer) yang tercantum di dalam Pasal 49 KUHP ditambah, sehingga kata-katanya di samping karena "serangan pada sekejap itu" 'ikkelijke aanranding) yang terdapat dalam Artikel 41 WvS Belanda, ditambah kata-kata "ancaman serangan yang sangat dekat" (onmiddelijk de) dengan maksud agar orang yang membela diri karena terpaksa di Indonesia diberi kelonggaran lebih banyak, bukan saja membela diri karena serangan sekejap, tetapi juga karena adanya ancaman serangan yang sangat dengan alasan di Indonesia tenaga kepolisian tidak memadai untuk mengontrol wilayah yang terdiri atas ribuan pulau. Maksudnya jika orang membela diri karena terpaksa dibatasi hanya pada serangan yang sekejap akan sulit bagi orang Indonesia untuk minta bantuan polisi.<br /><br />2. Kesadaran Hukum Masyarakat Masih Rendah<br />Kendala ini sangat terasa dalam penegakan hukum di samping penerangan dan penyuluhan hukum lingkungan secara luas. Untuk menghilangkan kendala diperlukan metode khusus. Bahkan orang yang mendidik, memberi penerangan dan penyuluhan hukum perlu dibekali dengan pengetahuan terlebih dahulu mengenai metode di samping substansi yang harus disampaikan kepada masyarakat.<br /><br />3. Belumm Lengkap Peraturan Hukum Menyangkut Penanggulangan [asalah Lingkungan, Khususnya Pencemaran, Pengurasan, dan perusakan Lingkungan<br />Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan belum dilengkapi seluruhnya dengan peraturan pelaksanaan sehing)agai kaderwet belum dapat difungsikan secara maksimal. Misalnya .tentang penentuan pelanggaran yang mana dapat diterapkan pertanggungran mutlak (strict liability) seeara perdata. Sudah ada ketentuan pelaksanaan tentang pencemaran seperti peraturan tentang Amdal, baku mtu tetapi belum ada ketentuan tentang arti apa yang dimaksud dengan merusak atau rusak lingkungan di dalam ketentuan pidana (Pasal 41 UUPLH). Begitu pula tentang pertanggungjawaban pidana korporasi KUHP berlaku sekarang masih tidak menentu, korporasi dapat dipertangjawabkan pidana. Lain halnya dengan WvS Belanda, yang tclah diubah sejak 1976, menentukan korporasi sebagai dapat dipertanggungjawabkan pidana. Andaikata Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup dimasukkan ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, tidak menjadi masalah korporasi ini karena di sana telah ditentukan korporasi adalah subjek hukum pidana.<br /><br />4. Khusus untuk Penegakan Hukum Lingkungan, Para Penegak Hukum Belum Mantap dan Profesional<br />Belum dapat dikatakan para penegak hukum sudah menguasai selukbeluk hukum lingkungan, bahkan mungkin pengenalan hukum (law acquaintance), lingkungan pun masih kurang. Hal ini hanya dapat diatasi dengan pendidikan dan latihan di samping orangnya harus belajar sendiri dengan membaca buku, mengikuti pertemuan ilmiah, seperti seminar dan lain-lain. Pengetahuan yang luas biasanya membawa kepada meningkatnya kepercayaan diri sendiri dan selanjutnya akan menjurus kepada kejujuran. Di samping itu, belum ada spesialisasi di bidang ini. Belum ada jaksa khusus lingkungan, belum ada polisi khusus lingkungan apalagi patroli khusus yang terus-menerus memantau masalah lingkungan, sebagaimana halnya di Belanda. Gaji jaksa lingkungan (jaksa ekonomi) di Belanda lebih tinggi daripada gaji jaksa biasa.<br /><br />5. Tidak Kurang Pentingnya adalah Masalah Pembiayaan <br />Penanggulangan masalah lingkungan memerlukan biaya yang besar di samping penguasaan teknologi dan manajemen. Dalam penegakan hukum lingkungan perlu diketahui, bahwa peraturan _tentang lingkungan mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama adalah kaidah atau norma, sedangkan sisi yang lain adalah instrumen, yang merupakan alat untuk mempertahankan, ; mengendalikan, dan menegakkan kaidah (norma) itu. Ada 3 (tiga) instrumen utama menegakkan hukum lingkungan, yaitu <br />1) instrumen administratif;<br />2) instrumen perdata;<br />3) instrumen hukum pidana.<br /><br />Prioritas pemakaian instrumen tersebut tidaklah berdasarkan urutan di atas. Instrumen hukum pidana dapat diterapkan lebih dahulu daripada kedua yang lain. Instrumen perdata mempunyai arti jika tidak cukup bukti-bukti untuk menerapkan instrumen pidana. Sebagaimana diketahui hukum pembuktian dalam perkara pidana lebih ketat dibandingkan dengan hukum perdata. Antara lain dalam hukum pidana diperlukan pembuktian berdasarkan kebenaran material, yakni kebenaran hakiki.<br />Khusus untuk orang Indonesia, orang lebih cenderung mempergunakan instrumen hukum pidana daripada hukum perdata, karena sering proses perkara perdata berlarut-larut. Jika pada akhirnya perkara sudah selesai, eksekusinya menjadi berlarut-larut. Jelas eksekusi putusan dalam perkara pidana lebih lancar karena berada di tangan jaksa yang mempunyai wewenang memakai alat paksa yang lebih jelas.<br />Oleh karena itu, jika memang pemerintah dan masyarakat ingin meningkatkan dan menggalakkan penegakan hukum lingkungan termasuk yang preventif dan persuasif diperlukan pendidikan dan latihan para pene gak hukum termasuk pejabat administrasi bahkan masyarakat luas sadar lingkungan, kemudian melakukan usaha penegakan hukum termasuk yang preventif (compliance) atau penaatan hukum sebagai bagian peningkatan kesadaran hukum rakyat.<br /></span></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-62470554520061315752010-03-28T18:44:00.000-07:002010-04-11T00:11:17.246-07:00PRINSIP PEMBANGUNAN BERAWAWASAN LINGKUNGAN DAN AMDAL<div style="text-align: justify;">PRINSIP PEMBANGUNAN BERAWAWASAN LINGKUNGAN DAN AMDAL<br />Sumber Bacaan : NHT Siahan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan ,Jakarta:, 2004.hal.235<br /><br />a. Prinsip-prinsip Dasar<br />Sepintas lalu terlihat bahwa antara pembanaunan denqan lingkungan hidup terdapat pertentangan (konflik). Karena bila dilihat dari segi yang luas setiap pembangunan selalu memiliki dampak terhadap lingkungan hidup. Kita ambil sebuah contoh, yaitu pembukaan sebuah jalan raya yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya yang jelas-jelas akan berdampak terhadap lingkungan hidup sekitarnya. Katakanlah dengan pembukaan jalan tersebut akan membawa pengaruh pada 2 (dua) hal, yaitu menebasi pohon-pohon hutan yang terkena peta pembukaan jalan dan terganggunya kestabilan tanah-tanah sekitarnya.<br />Hal itu juga bisa menimbulkan banjir dan terganggunya sistem habitat manusia dan habitat fauna serta flora lainnya. Semua hal ini dapat memberikan pengaruh atau risiko kepada lingkungan. Tetapi tidak ada suatu tindakan yang tidak berhubung dengan risiko termasuk dalam hubungannya dengan aktivitas lingkungan. Dengan kearifan dan kebijaksanaannya manusia dapat mengantisipasi semua dampak dan mencari solusi supaya interaksi manusia dengan lingkungan dapat seimbang serasi.<br /><span class="fullpost"><br />Pengaruh tersebut bila dibandingkan dengan manfaat selanjutnya dinikmati oleh subsistem-subsistem lingkungan sekitarnya dan bila berbarter Dengan pembangunan tersebut diperkirakan menimbulkan berbagai risikonya yang merugikan sekali pada sumber-sumber lingkungan setempat, dan sebaliknya semua faktor dapat diarahkan supaya memberikan keserasian baik bagi lingkungan. Pengaruh positif dari pembukaan jalan itu, misalnya menambah mata pencarian penduduk dan tingkat pendapatan perkapita, meningkatkan pendayagunaan sumber daya lingkungan, dan lain-lain. Dan kalaupun timbul ekses-ekses lain secara ekalogi setelah proyek terealisasi, maka ekses-ekses tersebut harus ditekan seminimal mungkin dan diadakan pemulihan secara optimal.<br />Melalui contoh di atas, nampak bahwa antara pembangunan dan lingkungan hidup tidaklah bertentangan. Hal-hal yang bertentangan baru akan terjadi apabila ap pembangunan yang dijalankan selalu membawa kerugian-kerugian yang lebih bila dibandingkan dengan pengorbanan-pengorbanan ekologis. Timbulnya ebagai risiko yang berasal dari aktivitas yang ditujukan terhadap lingkungan sebelumnya tidak dipertimbangkan seberapa jauh kemampuan suatu dapat menerima aktivitas (pembangunan) yang ada. Kita ketahui bahwa igkungan memiliki sifat keterbatasan kemampuan. Kemampuan lingkungan dapat dilihat dari sifat produktifnya, sifat daya pulihnya, sifat adaptasinya, dan sifat kemampuan menerima segala keadaan eksternal sebagai faktor yang mempengaruhi kemampuan lingkungan, yang dapat dilihat dari sudut sifat atau faktor-faktor tersebut menjadi landasan penting untuk menilai kualitas lingkungan. Makin produktif suatu alam semakin baik kualitas lingkungan itu. Semakin cepat suatu lingkungan beradaptasi atas aktivitas eksternal yang tertuju padanya, maka lingkungan itu juga disebut berkualitas. Sebaliknya, jika tingkat kemampuan lingkungan tetap terlampaui oleh aktivitas pembangunan, maka teriadilah kerusakan lingkungan. Faktor yang terjadi seringkali karena faktor eksternal lebih besar dari pada kemampuan suatu lingkungan. Misalnya ketika pabrik tekstil masih mencapai 10.000 m/hari, kondisi lingkungan masih mampu menerima segala aktivitas yang berhubungan dengan proses produksi. Tetapi ketika pabrik ditingkatkan mencapai 35.000 m/hari terjadi berbagai gangguan lingkungan di sekitar pabrik. Misalnya, rusaknya saw ladang dan ternak penduduk karena limbah pabrik, jalan menjadi rusak karena sering dilintasi kendaraan berbobot besar untuk pengangkutan bahan-bahan produksi tekstil, atau kebisingan pabrik terjadi hingga malam had karena pabrik aktif hingga hari.<br /><br />Oleh karena itulah, untuk menghindari konflik yang terlalu besar ant kepentingan di atas, maka UUPLH 1982,~menggariskan Prinsip Pembangunanh Berwawasan Lingkungan. Dalam pasal 1 butir ke 13 UUPLH dikatakan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang kesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup.<br />Jadi ada,3,unsur penting dalam prinsip pembangunan berwawasan lingkungan:<br />1. Penggunaan/pengelolaan sumber daya secara bijaksana;<br />2. Menunjang pembangunan yang berkesinambungan;<br />3. Meningkatkan mutu hidup;<br /><br />Pengertian sumber daya pada butir 13 tersebut harus diartikan lebih luas yaitu, bukan hanya mencakup pengertian ekonomis seperti sumber daya alam atau sumber daya buatan, tetapi juga meliputi semua bagian lingkungan hidup kita sendiri, mulai dari surnber daya biotik (manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, sumber daya abiotik (air, udara, cahaya, tanah, barang-barang tambang dan lain-lain) sampai pada sumber daya buatan (mesin, hasil-hasil industri, gedung, dan sebagainya).<br /><br />Dalam GBHN terdapat garis yang jelas mengenai prinsip berwawasan lingkungan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:<br />1. Dalam rangka pembangunan, sumber daya alam harus digunakan rasional<br />2. Pemanfaatan sumber daya harus diusahakan untuk tidak merusak lingkungan hidup.<br />3. Harus dilaksanakan dengan kebijaksanaan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi yang akan datang.<br />4. Memperhitungkan hubungan kait-mengait dan ketergantungan antara berbagai masalah.<br /><br /><br /><br />b. Amdal dan Andal<br />Salah satu orientasi hukum lingkungan adalah menekankan prinsi pencegahan (preventing oriented). Orientasi demikian dapat dilihat baik dalam 1982 maupun UUPLH 1997 dengan berbagai peraturan organiknya. Hal yang sama juga telah dijadikan sebagai landasan penting bagi sistem pembangunan yang dijalankan oleh negara-negara, sebagaimana dirumuskan melalui Konferensi Stockholm 1972 maupun KTT Rio 1992. Mengenai instrumen analisis dampak lingkungan, ditegaskan supaya diberlakukan terhadap kegiatan yang membahayakan lingkungan. Prinsip 17 Deklarasi Rio mengatakan: "Environment impact assessment, as a national instrument, shall be undertaken for proposed aivities that are likely to have a significant adverse impact on the environment and are to a desicion of a competent national authority".<br />Suatu kaitan penting dari prinsip pembangunan berwawasan lingkungan adalah analisis atas sejauh mana dampak atau pengaruh-pengaruh yang timbul terhadap suatu kegiatan yang akan direncanakan. Prinsip demikian didasarkan pada sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).<br /><br />Analisis Dampak Lingkungan dalam istilah asing disebut dengan "Environmental Impact Analysis"; "Environmental Impact Statement"; "Environmental Impact Assessment" atau "Environmental Assessment and Statement".<br /><br />Prof. Otto Soemarwoto menggunakan istilah tersebut dengan Analisis Dampak Lingkungan, dan berkenaan dengan itu tetapi dalam tekanan lain, sebagai AMRIL (Analisis Manfaat dan Risiko Lingkungan). Prof. St. Munadjat Danusaputro mengistilahkannya dengan "Pernyataan Dampak Lingkungan" sebagai terjemahan dari Environmental Impact Statement.<br />Semua istilah di atas menunjuk pada pengertian bahwa setiap rencana aktivitas manusia, khususnya dalam kerangka pembangunan yang selalu membawa dampak dan perubahan terhadap lingkungan perlu dikaji (dianalisis) lebih dahulu secara seksama. Berdasarkan kajian ini, akan dapat diidentifikasi dampak-dampak yang timbul, baik yang bermanfaat maupun yang merugikan bagi kehidupan manusia.<br /><br />Istilah Amdal berkaitan dengan aspek-aspek yang bukan saja bersifat teknis, tetapi juga aspek hukum dan aspek administratif. Dalam hubungan itu, supaya lebih jelas dipahami, kiranya dapat diberikan pengertian mengenai Amdal. UUPLH 1997 memberikan pengertian Amdal demikian<br /><br />"Analisis mengenai dampak lingkungan adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan 6agi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan"<br /><br />Selain istilah Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) ada pula yang disebut an Andal (Analisis Dampak Lingkungan). Dalam bahasa Inggris, Amdal diistilahkan dari Environmental Impact Assessment (EIA), sedangkan Andal berasal dari istili Environmental Impact Statement (EIS). Dalam bahasa Belanda masing-masing disebut dengan milieu-effectrapportage (ME) Dan melieueffect rapport (MER). pengertian Andal, dapat dilihat dalam PP No 27 Tahun 1999, yang di dalam Pasal 1 butir 4 mengatakan:<br />"Analisis dampak lingkungan hidup (Andal) adalah penelaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana dan/atau kegiatan";<br />Jika kita simak, maka Amdal dapat diartikan sebagai suatu instrumen pengambil keputusan tentang rencana penyelenggaraan usaha yang berkenaan denga pengelolaan dampak besar dan penting serta merupakan public policy yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang untuk mempertahankan lingkungan berkelanjutan. Andal adalah suatu mekanisme penerapan atau pelaksanaan dari a Amdal yang ditetapkan atas suatu rencana kegiatan konkrit atau atas suatu rencana proyek tertentu, yang menurut Rangkuti disebut sebagai komponen studi kelayakan berupa dokumen<br />Jadi ringkasnya Amdal merupakan sistem hukum lingkungan yang diambil secara nasional (sifatnya macropolicy), sementara Andal adalah melaksanakan apa yang telah ditentukan Amdal (melakukan kajian cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting) atas suatu rencana kegiatan. Sifatnya di sini adalah sebagai micro policy terhadap proyek tertentu.<br /><br />c. Amdal bersifat Mandatory<br />Sistem Amdal dikenal pertama kali ketika sistem ini dimasukkan menjadi keputusan hukum dalam bidang lingkungan di Amerika Serikat pada tahun 1970 dengan nama NEPA (National Environmental Policy Act). NEPA 1970 ini berangkat dari kenyataan bahwa kerusakan lingkungan kian memuncak tatkala pola industrialisasi Amerika Serikat semakin meningkat, dan karenanya setiap proyek yang berskala besar diharuskan untuk melalui proses Amdal terlebih dahulu.<br />Bahkan semua kegiatan yang dijalankan oleh Amerika Serikat di luar negeri termasuk di Indonesia, diharuskan untuk melakukan Amdal sesuai ketentuan NEPA, meskipun di negara-negara lain tidak mengenakan ketentuan Amdal. Misalnya, perusahaan Union Oil milik Amerika Serikat yang beroperasi di Balikpapan, sejak tahun 1970-an telah melaksanakan Amdal sebagaimana menurut ketentuan hukum lingkungan Amerika Serikat (5.102 (c) NEPA).<br />S.102 (c) NEPA 1969 menentukan bahwa setiap rencana kegiatan yanc diperkirakan mempengaruhi lingkungan (significantly affecting the quality of the human environment), diwajibkan melakukan prosedur Amdal. Menafsirkan dan menentukan significantly affecting dalam kenyataannya tidak mudah dilakukan oleh para hakim di Amerika, di mana hal ini tercermin dari ketidakseragaman interpretasi yang mereka ambil dalam kasus-kasus lingkungan.<br />Memang negara yang cukup maju dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan lingkungan Amdal adalah Amerika Serikat, dan bisa dicatat bahwa sistem huktam lingkungan negara ini ternyata telah mempengaruhi negara-negara lain untuk menerapkan hukum lingkungan, termasuk sistem Amdalnya.<br />Kecuali Amerika Serikat, Kanada juga merupakan sebagai negara yang cukup maju mempelopori dan menerapkan hukum lingkungan dan Amdal pada khususnya. Banyak mahasiswa asing yang belajar ke negara ini untuk menimba pengetahuan hukum lingkungan, seperti Australia dan Indonesia. Sekalipun Amdal di Kanada banyak menerapkan sistem dari Amerika Serikat, namun banyak metode yang spesifik dikembangkan Kanada dalam menata lingkungan yang patut dikenakan mekanisme Amdal.<br />Hukum melalui UUPLH telah mewajibkan diinternalkannya Amdal dalam kegiatan pembangunan sebagai implementasi pembangunan berwawasan lingkungan. Implikasi terpenting dari prinsip pembangunan berwawasan lingkungan ini dapat kita lihat melalui ketentuan-ketentuan pasal-pasal UUPLH 1997, yaitu pasal-pasal 3, 4, .5, 6, 7, 8,9,10,15,16,17,18,19,20,21,22,dan 23.<br />Apa yang diatur oleh pasal-pasal tersebut di atas di samping keberadaannya ada yang tidak memerlukan peraturan organik, ada juga yang membutuhkan peraturan organik, baik UU, PP, Keppres, Permen, Kepmen, SK Gub, SK Bupati/walikota dan seterusnya.<br />Di samping itu, ada pula yang sudah diatur sebelum UUPLH berlaku, sebagaimana menurut Pasal 50 UUPLH. Apabila demikian halnya, maka sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) terhadap setiap kegiatan yang oleh Pasal 15 UUPLH sebagai bersifat mandatory, secara konsepsional memiliki karakter hukum dalam tiga ha1<br /><br />Pertama :<br />Keterkaitan kaidah hukumnya dengan ketentuan hukum sektoral berbagai instansi yang bertanggung jawab dalam proses pengambilan keputusan mengenai naskah Amdal seperti bidang pengairan, kehutanan, industri, kesehatan, pertambangan, dan sebagainya.<br />Kedua :<br />Ketentuan hukum sektoral yang mengatur aspek lingkungan harus ditafsirkan dan disesuaikan dengan asas-asas dan kaidah hukum lingkungan dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUPLH. Hal demikian berarti bahwa ketentuan hukum sektoral tidak dapat diterima secara harafiah sebagai mana dalam rumusan hukum lama yang dibuat dalam keadaan yang berbeda jauh dengan keadaan sekarang dalam arti teknologi, ekonomi, sosial, budaya, dan tingkat risiko yang ditimbulkannya. Aspek-aspek Hukum Tentang Ketentuan Amdal dalam Pembangunan Industri, Kesulitan ini dapat diterobos dengan mengacu kepada UUPLH dan PP tentang Amdal, karena lebih menekankan pada pengertian asas-asas hukum lingkungan yang mengutamakan perlindungan ekosistem, daya dukung lingkungan sebagai penunjang bagi asas-asas hukum umum yang lazim untuk menguji dan menyesuaikan kaidah-kaidah hukum lama agar tidak bertentangan dengan rasa keadilan.<br />Ketiga :<br />Amdal sebagai bagian dari sistem hukum lingkungan, menurut koi pengelolaan lingkungan bersifat menyeluruh. Perubahan konsep pengaturan hukum sektoral ke dalam hukum pengelolaan yang bersifat ekologis dan menyeluruh dengan menekankan perhatian pada aspek sustainable development membawa perkembangan baru sistem hukum lingkungan. Sebab konsep hukum dalam arti ini memerlukan daya prediksi secara ilmiah (scientific prediction).<br /><br />d. Amdal sebagai Kewajiban Praaudit<br />Amdal harus meletakkan semua fakta di atas meja. Berbagai dampak negatif dan positif dari kegiatan pembangunan terhadap lingkungan perlu diketahui masyarakat dan pengambil keputusan agar bisa dipilih langkah tindak pembangunan secara bertanggung jawab.<br />Manfaatnya secara konkrit adalah bahwa Amdal dapat membantu para pengusaha memilih teknologi dan alat-alat produksi yang dapat menekan/memperkecil dampa negatif lingkungan. Menurut Emil Salim, walaupun Amdal memberikan kelengkapan informasi bagi pengambil keputusan, namun Amdal tidak memberi apriori penilaian bahwa suatu pembangunan adalah buruk atau baik. Penetapan buruk baiknya suatu proyek pembangunan setelah Amdal diketahui terletak di tangan pengambi keputusan.213<br />Dengan demikian, yang diharapkan dari Amdal terutama tentang kelengkapan data informasi, supaya diketahui apa yang menjadi akibat dari kegiatan pembangunan. Hal yang menentukan besar kecilnya dampak negatif ialah gambaran cita-cita mengenai kualitas lingkungan yang ingin dicapai. Sedangkan bobot penilaian terhadap bes kecilnya dampak dipengaruhi oleh mutu lingkungan yang akan dicapai.<br />Prof. Dr. Otto Soemarwoto mengatakan bahwa Amdal bersifat pra-audit, yaitu Amdal harus dilakukan sebelum suatu proyek dilaksanakan. Dan untuk teknisnya, Amdal hanya dapat dilakukan dengan memenuhi 2 syarat:Z<br />1) Ada suatu rencana kegiatan, dan<br />2) Ada garis dasar.<br /><br />Diketahuinya rencana kegiatan merupakan hal yang sangat penting, sebab apabila apabila kegiatan tidak diketahui, maka dampak yang mungkin timbul dari kegiatan tidk didak dapat diperkirakan, sdenagkan garis dasar (bas line) ialah keadaan lingkungan tanpa adanya proyek (aktivitas). Fungsi garis dasar di sini adalah sebagai acuan untuk mengukur dampak. Sedangkan dampak dalam sistem Amdal dikaitkan dengan dua jenis batasan. Pertama, perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum pembangunan dan yang diperkirakan akan ada setelah berlangsungnya pembangunan, batasan kedua yakni perbedaan antara kondisi lingkungan yang akan ada tanpa adanya pembangunan dan yang diperkirakan akan adanya (hadirnya) pembangunan tersebut. Batasan yang sama juga diberlakukan pada dampak lingkungan terhadap pembangunan.<br />Batasan yang diambil Scientific Commitee on Problem of the Environment (SCOPE), sebuah panitia internasional yang mempunyai tugas mempelajari masalah lingkungan, adalah batasan yang kedua. Batasan demikian dipergunakan pula oleh Prof. Otto Soemarwoto Dampak didefinisikan sebagai perbedaan kondisi lingkungan antara dengan dan tanpa adanya proyek. Definisi demikian tidak dijumpai baik dalam UUPLH 1982 maupun UUPLH 1997, begitu juga dalam PP Amdal no 29 Tahun -1986, PP Amdal No 51 Tahun 1993 maupun PP Amdal no 27 tahun 1999. Definisi yang dijumpai dalam ketiga PP tersebut adalah mengenai dampak besar dan penting.<br />Analisis Manfaat dan Risiko Lingkungan (AMRIL)<br /><br />Sebagai sistem analisis yang bersifat preaudit, Amdal tidak digunakan pada proyek-proyek yang telah jadi. Tetapi sangat disayangkan, sebagaimana menurut Prof. Otto, sistem ini dipergunakan juga pada proyek yang telah jadi.Bagi proyek-proyek yang telah jadi bukan berarti sistem analisis lingkungan sudah tertutup, tetapi untuk itu digunakan metode analisis yang lain. Prof. Otto menunjuk dan memperkenalkan Analisis Manfaat dan Risiko Lingkungan (Amril) tentang garis dasar (term of reference) yang merupakan titik acuan untuk mengukur dampak, yaitu ngkungan yang diperkirakan akan ada tanpa adanya proyek.<br />Risiko lingkungan diartikan sebagai suatu proses dalam lingkungan yang memiliki probabilitas tertentu. Menurut Otto, sistem Amril dapat digunakan sebagai bagian dari Amdal atau terlepas darinya.21 $ Rasio penggunaan Amdal ialah bahwa di dalam Amdal banyak perkiraan yang mengandung ketidakpastian, di mana di kemudian hari perkiraan yang dibuat melalui Amdal ternyata tidak benar. Jadi pada proyek yang dah operasional Amdal dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menganalisis pak yang telah dialami oleh lingkungan.<br />Analisis ini digunakan baik untuk mengkaji suatu dampak/perubahan maupui kondisi lingkungan tertentu. Melalui Amril ini, baik dampak negatif berupa risiko lingkungan, maupun dampak positif berupa manfaat lingkungan secara eksplisit telah dinyatakan sedemikian rupa sehingga kedua bentuk dampak yang akan mendapat perhatian/pengkajian yang sama.<br />Amril juga harus memenuhi 2 syarat, yaitu harus diketahui rencana kegiatan dan adanya garis dasac Yang membuat Amril lebih luwes dari Amdal adalah bahwa AMRIL tidak semata-mata mengkaji kepentingan lingkungan saja dari proyek pembangunan tetapi juga kepentingan pembangunan (proyek) tersebut terhadap faktor lingkungan Jadi jelaslah di sini bahwa AMRIL mengkaji 2 sasaran sekaligus, yaitu faktor lingkungan hidup terhadap proyek dan faktor proyek terhadap lingkungan itu.<br />Lebih dari pada itu, kalau Amdal hanya dapat digunakan untuk rencana proyek secara dini (baca: proyek belum jadi), maka Amril dapat mengkaji proyek- proyek yang sudah jadi.<br /><br />d. Kategori Kegiatan Yang Menimbulkan Dampak Penting<br /> 1. Dasar Hukum<br />Pasal 15 UUPLH 1997 menetapkan bahwa setiap rencana kegiatan yang mungkin dapat menimbulkan dampak besar dan penting, diwajibkan untuk memiliki Amdal. Hal ini berarti bahwa tidak setiap kegiatan atau usaha harus memperoleh Amdal, tetapi hanya terbatas pada rencana kegiatan yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting, sehingga tercipta pola selektif. Pertanyaannya ialah bagaimana menentukan bahwa sebuah rencana kegiatan mungkin menimbulkan dampak besar dan penting.<br />Sebelum lebih jauh membahas pertanyaan demikian, patut kiranya dikaji lebih dahulu apa yang dimaksud dengan dampak besar dan dampak penting. PP No 27 Tahun 1999 tampaknya hanya memberikan pengertian dalam satu rangkaian pengertian kepada kedua jenis dampak tersebut dan tidak membedakannya atas dampak besar dan dampak penting. Dampak besar dan penting diartikan sebagai berikut:<br />"Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan"<br />Pengaturan mengenai rencana usaha atau kegiatan yang menimbulkan dam besar dan penting, begitu juga mengenai tata cara penyusunan dan penilaian An diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 15 ayat 2). Peraturan Pemerintah ( yang dimaksud di atas adalah PP No 27 Tahun 1999 tentang Amdal, yang diundangkan dalam LN No 59. Sebelum berlaku PP No 27 Tahun 1999, ketentuan mengenai Amdal terdapat dalam PP No 51 Tahun 1993 (LN No 3538). PP No 51 Tahun 1993 ini mengantikan PP No 29 Tahun 1986 dengan LN No 42.<br />Dengan demikian sejak berlakunya UUPLH untuk pertama kalinya pada tahun 1982 hingga kemudian UUPLH 1997, telah berlaku tiga PP tentang Amdal, di mana dua dari PP tersebut yakni PP No 29 Tahun 1986 dan PP No 51 Tahun 1993 dibuat ketika negara masih menggunakan UU No 4 Tahun 1982, sementara PP No 27 Tahun 1999 dibuat setelah negara menggunakan UU No 23 Tahun 1997.<br />Prinsip Amdal dalam UUPLH 1997 lebih berbeda dengan UUPLH 1982, karena izin operasi dapat dikeluarkan setelah Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dilaksanakan, suatu sistem yang lain dari sebelumnya dimana banyak rencana kegiatan (proyek) yang telah dilengkapi dengan Amdal, namun tidak ditindaklanjuti. Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) UUPLH dinyatakan antara lain:<br />"Bagi usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha dan kegiatan".<br />2. Aktivitas yang Menimbulkan Dampak<br />Karena itu, secara yuridis dikatakan bahwa izin tidak akan mungkin diberikan jika Amdal tidak lebih dahulu dilakukan, karena "apabila suatu rencana kegiatan diwajibkan melaksanakan analisis dampak lingkungan (Andal), maka persetujuan atas analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tersebut harus diajukan bersama dengan permohonan izin melakukan kegiatan".<br />Amdal merupakan bagian dari kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan, di mana hasil suatu analisis digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Apabila kita menyimak penjelasan PP No 27 Tahun 1999 ini, studi kelayakan bagi suatu kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting meliputi tiga komponen:<br />a. analisis teknis;<br />b. analisis ekonomis-finansial;<br />c. analisis mengenai dampak lingkungan.<br /><br />Analisis mengenai dampak lingkungan sudah harus disusun dan mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab sebelum kegiatan konstruksi usaha dan kegiatan tersebut dilaksanakan. Dampak besar dan penting telah disebutkan dalam penjelasan Pasal 15 UUPLH. Kriteria yang dipakai untuk mengukur dampak penting dan besar tersebut adalah:<br />a. Jumlah manusia yang akan terkena;<br />b. wilayah penyebaran dampak;<br />c. intensitas dampak dan lamanya dampakerlangsung;<br />d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena;<br />e. sifat kumulatif dampak tersebut;<br />f. berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak.<br /><br />Kriteria yang diberikan pasal tersebut hanyalah sebagian dari kriteria yang ada. Selanjutnya timbul pertanyaan, kegiatan apa saja yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting tersebut?<br /><br />Aktivitas yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan meliputi beberapa kegiatan, berupa:<br />a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;<br />b. eksploitasi sumber-sumber yang terbarui maupun tak terbarui;<br />c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemboi pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta kemerosotan sumber-sumber alam dalam pemanfaatannya;<br />d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;<br />e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi konservasi sumber daya alam dan atau perlindungan cagar budaya;<br />f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik; g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;<br />g. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup;<br />h. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan atau mempengaruhi pertahanan negara.<br /><br /> 3. Interpretasi, Konsekuensi, dan Kekuasaan Sektoral<br />Pengkategorian kegiatan tersebut di atas didasarkan pada pengalaman dan tingkat perkembangan iptek yang menimbulkan dampak bagi lingkungan, jadi bukan bersifa limitatif dan kategori demikian juga dapat berubah sesuai perkembangan iptek. Misalnya, dalam kegiatan pembuatan jalan, bendungan, jalan kereta api, dan pembukaan hutan; kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan; pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan energi yang tidak diikuti dengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakaiannya. Demikian pula dalam hal kegiatan yang menimbulkan perubahan struktur tata nilai, pandangan atau cara hidup masyarakat setempat; kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan konservasi alam atau pencemaran benda cagar budaya dan sebagainya.<br /></span><br /></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-44022354925559830062010-03-27T19:33:00.000-07:002010-04-11T00:10:56.019-07:00PENGANTAR HUKUM LINGKUNGAN<div style="text-align: justify;font-family:times;color:white"><br />PENGANTAR HUKUM LINGKUNGAN<br />Bahan Bacaan : <br />1. Penegakan Hukum Lingkungan (Prof. Jur Andi Hamzah)<br />2. Aspek-aspek Hukum Lingkungan (M Taufik Makarao, SH.MH)<br />3. Hukum Tata Lingkungan (Koesnadi Hardjasoemantri)<br /><br />A. Pengertian Hukum Lingkungan<br />Dalam literatur berbahasa Inggris hukum lingkungan disebut environmental law. Orang Belanda menyebutnya milieurecht, sedangkan Jerman menyebutnya umweltrecht, Prancis menamainya droit de environment. Malaysia dengan bahasa Melayu memberi nama hukum alam sekitar, suatu istilah berbau harfiah. Semua istilah pelbagai bahasa bermaksud untuk menunjukkan bagian hukum yang bersangkutan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran, pengurasan, dan perusakan (verontreiniging, uitputting en aantasting) lingkungan (fisik).<span class="fullpost"><br />Jadi, pengertian hukum lingkungan di sini hanya meliputi lingkungan fisik saja dan tidak menyangkut lingkungan sosial. Misalnya tidak meliputi pencemaran kebudayaan Bali oleh turis asing yang membanjiri daerah itu. Akan tetapi, masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial, seperti pertumbuhan penduduk, migrasi, dan tingkah laku sosial dalam memproduksi, mengonsumsi, dan rekreasi. Jadi, permasalahannya tidak semata-mata menyangkut ilmu alam, tetapi juga berkaitan dengan gejala sosial.<br />Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh ulah manusia kerusakan lingkungan atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan juga oleh bencana alam yang kadang-kadang sangat dahsyat, misalnya meletusnya Gunung Krakatau, gempa bumi yang memporak-porandakan lingkungan di Pulau Flores tahun 1992 dan gempa bumi yang menimpa kota Baru di Iran 26 Desember 2003 yang menewaskan lebih dari 50.000 jiwa dan yang luka-luka tidak terhitung. Pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi gelombang tsunami yang meluluhlantakkan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menewaskan ratusan ribu orang. <br />Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari segi menurunnya kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan ketenteraman manusia. Nilai lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai lingkungan karena pemanfaatan tertentu oleh umat manusia. Menurut Drupsteen, masalah lingkungan merupakan kemunduran kualitas lingkungan. Atau dengan kata lain, bahwa masalah lingkungan yang menyangkut gangguan terhadap lingkungan antara manusia dan lingkungan bentuknya berupa pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan.<br />Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat.<br />Jadi, hukum lingkungan mempunyai dua dimensi. Yang pertama adalah ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, semuanya bertujuan supaya anggota masyarakat diimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hu kum lingkungan yang tujuannya memecahkan masalah lingkungan. Yang kedua, adalah dimensi yang memberi hak, kewajiban, dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan.<br /><br />B. Hukum Lingkungan Adalah Hukum Fungsional Yang Menempati Titik Silang Pelbagai Bidang Hukum Klasik<br />Dalam ruang lingkup yang paling luas, hukum lingkungan menyangkut hukum internasional (publik dan privat) dan hukum nasional. Termasuk hukum lingkungan internasional adalah perjanjian bilateral antarnegara, perjanjian regional karena semuanya adalah sumber hukum yang supranasional.<br />Pencemaran dan perusakan lingkungan tidak hanya menjadi masalah nasional, tetapi telah menjadi masalah antarnegara, regional, dan global. Dunia semakin sempit, hubungan antarnegara bertambah dekat dan makin tergantung satu sama lain. Pencemaran pun semakin luas, kadang-kadang melintasi batas-batas negara dalam bentuk pencemaran air sungai, emisi udara, kebakaran hutan, pencemaran minyak di laut, dan seterusnya.<br />Pembuangan limbah berbahaya misalnya di hulu Sungai Rijn akan memberi dampak langsung bagi Jerman dan Belanda bahkan negara-negara yang berpantai di laut utara. Kebakaran hutan di Serawak akan mudah merembet ke Kalimantan Barat dan sebaliknya. Semua ini memerlukan pengaturan khusus yang bersifat supranasional. Bahkan kenyataan bocornya ozon, membangunkan setiap negara untuk turut serta menanggulanginya dengan konferensi dan konvensi internasional.<br />Dalam ruang nasional, hukum lingkungan menempati titik silang pelbagai bagian hukum klasik, yaitu hukum publik dan privat. Termasuk hukum publik adalah hukum pidana, hukum pemerintahan (administratif), hukum pajak, hukum tata negara, bahkan menurut pendapat penulis hukum agraria pun berkaitan dengan hukum lingkungan. Kaitannya dengan UUD 1945 dan hukum tata negara, dapat ditunjuk Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan ini telah dijabarkan ke dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, bahkan telah ditambah dengan dimensi baru, yaitu ruang angkasa, di samping bumi dan air. Dengan demikian, pemberian hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, clan lain-lain harus juga memerhatikan kepentingan lingkungan. Kalau tanah itu dirusak atau dipergunakan yang mengakibatkan pencemaran atau rusaknya lingkungan hidup, hak itu dapat dicabut.<br />Kaitannya dengan hukum perdata dalam hak dan kewajiban, pertanggungjawaban, ganti kerugian, perbuatan melanggar hukum dan hukum kontrak. Penegakan hukum lingkungan pun akan menjadi titik silang penggunaan instrumen hukum tersebut, terutama instrumen hukum pemerintahan atau administratif, perdata dan hukum pidana.<br />Hukum lingkungan merupakan hukum fungsional, karena bertujuan untuk menanggulangi pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan sehingga tercipta lingkungan yang baik, sehat, indah, dan nyaman bagi seluruh rakyat. Untuk fungsi itu mempunyai instrtnnen seperti disebutkan sebelumnya yang dipergunakan secara selektif dan kalau perlu secara simultan.<br />Oleh karena itu, di Indonesia penegakan hukum lingkungan juga melibatkan pelbagai instansi pemerintah sekaligus, seperti polisi, jaksa, pemerintah daerah, pemerintah pusat terutama Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, clan Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, laboratorium kriminal, bahkan swasta seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat), dan lain-lain.<br />Kerja sama antarinstansi tersebut harus serasi, terkoordinasi, clan terpadu. Inilah yang membedakan dengan bidang hukum (klasik) yang lain.Karena dapat ditegakkan secara serempak, dan dapat juga sendiri-sendiri. Penciptaan hukum lingkungan perlu pula memperhatikan segi yang berkaitan antarbidang hukum yang satu dengan yang lain, bahkan bagian-bigian sektoral di dalam hukum lingkungan sendiri.<br />Faktor lain yang turut menentukan terciptanya lingkungan yang baik, adalah pendidikan, kesadaran hukum, teknologi, dan yang tidak kurang pentingnya adalah keuangan yang memadai untuk membiayai proyek pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan usaha meningkatkan mutu dan keindahan lingkungan. Usaha penegakan hukum lingkungan tidak menjadi tugas pemerintah saja, tetapi seluruh anggota masyarakat harus ikut serta, bahkan harus dimulai dari rumah tangga dan diri sendiri.<br />Bagi Indonesia yang sedang giat membangun segala segi kehidupan, menggali seluruh sumber daya alam hayati dan nonhayati yang akan habis dan yang masih dapat diperbarui perlu hati-hati, hemat, dan selektif dalam mengelola lingkungan tersebut.<br />Pembangunan dapat terus dipacu dengan memperhatikan lingkungan jangan sampai merosot mutunya apalagi rusak. Bagi sumber yang akan habis, misalnya minyak bumi yang segera habis sesudah abad ke-20 ini, perlu diusahakan segera sumber penggantinya. Pembangunan yang berwawasan lingkungan ini sudah dikenal secara global dengan nama sustainable development (pembangunan berkelanjutan atau berkesinambungan).<br />Bukan saja pemerintah, seluruh warga masyarakat tidak hanya memerhatikan semboyan ini, tetapi harus benar-benar mempraktikkannya. Baik negara maju maupun berkembang sama-sama menghadapi masalah lingkungan yang semakin gawat keadaannya.<br />Perbedaannya adalah kalau negara maju menghadapi masalah lingkungan karena kelewat maju (over development). Adapun negara berkembang menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan yang semakin meningkat dengan kemajuan di bidang industri, juga menghadapi masalah kemiskinan yang menjadi faktor penghalang terbesar dalam penanggulangan masalah lingkungan. Kekurangan dana, pertambahan penduduk, kurangnya sarana dan prasarana ditambah dengan kurangnya perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan serta kurang terampilnya penegak hukum menambah masalah.<br />Demikianlah sehingga mendiang Perdana Menteri Rajiv Gandhi menyatakan dengan terus terang:<br />In the name of growing more food and providing more comfort we have denuded our forests. In the name of industrial growth, we have polluted the rivers and seas, heated up the globe through the accumulation of carbon dioxide, and even depleted the ozone layers that shield the planet from harmful mic radiation. Ecological degradation (dengan alasan menanam Iebih banyak bahan makanan dan memperoleh kenikmatan lebih banyak, kita telah mcnggunduli hutan-huta kita. Dengan alasan pertumbuhan industri, kita telah mencemari sungai dan laut, meningkatnya panas bumi dengan akumulasi karbon dioksida bahkan membocori lapisan ozon yang melindungi bumi dari radiasi yang merusak. Degradasi ekologis memberi dampak kepada negara berkembang lebih mendasar daripada negara maju.)<br /><br />Menurut pendapat penulis, koreksi diri seperti dilakukan oleh Rajiv Gandhi ini perlu dihayati oleh pemimpin Indonesia. Kritikan negara maju bahwa kita telah menguras dan merusak hutan tropis seharusnya dijawab denan himbauan agar dicari dana internasional yang lebih besar untuk penanggulangan pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan yarng sudah mendunia bukannya dengan balik menuduh bahwa negara-negai majulah yang lebih dahulu melakukan perusakan lingkungan. Jawaba seperti itu seakan-akan seperti maling teriak maling.<br />Perlu diyakinkan oleh negara-negara maju, bahwa kemiskinan men pakan sumber pencemar terbesar. Kemiskinan disebabkan oleh penjajah-, yang berabad-abad dan menjadi kewajiban moral negara-negara bekas penjajah untuk membayar utangnya dengan turut membiayai pemberatasan kemiskinan dan penanggulangan pencemaran. Bukan saja industri yang telah menguras hutan, tetapi juga petani miskin yang disebut petani berpindah-pindah telah pula merusak hutan secara luas. Penebangan liar tidak terkendali di hutan-hutan di luar Pulau Jawa yang menjadi sumber bahan bangunan di pusat-pusat pembangunan di Pulau Jawa, perlu ditanggulangi. Memang kemiskinan sendiri merupakan sumber penceman terbesar seperti dikatakan Indira Gandhi:<br />How we can speak to those who live in villages and in slums abo keeping the oceans, the river and the air clean, when their own liv are contaminated? Are not poverty and need the greatest polluters (Bagaimana kita dapat berbicara kepada mereka yang hidup di des desa dan daerah kumuh mengenai menjaga agar laut, sungai, dan uda tetap bersih apabila hidup mereka sendiri telah tercemar? Bukank kemiskinan dan kebutuhan hidup merupakan pencemar terbesar?)<br /><br />Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 memakai istilah lingkung hidup. Ini tidak berarti lingkungannya yang hidup, tetapi manusia dan binatang yang hidup di dalam lingkungan. Lingkungan tidak terdiri atas makhluk hidup dan tumbuhan saja, tetapi juga yang tidak hidup seperti gunung, sungai, lembah, danau, telaga, hutan, dan sebagainya.<br />Istilah lingkungan hidup maksudnya lingkungan tempat hidup manusia sebagai padanan istilah human environment, istilah yang dipakai oleh Konferensi Lingkungan di Stockholm, yang bernama Declaration of theUnited Nations Conference on the Human Environment (1972). Di dalam proklamasi butir 1 dikatakan:<br />Man is both creature and moulder of his environment, which gives him physical sustenance and affords him the opportunity for intellectual, moral, social, and spiritual growth. In the long and tortuous evolution of the human race on his planet stage has been reached when, through the rapid acceleration of science and technology. Man has acquired the power to transform his environment in countless ways and on unprecedented scale. Both aspects of mans environment, the natural and manmade, essencial to him well being and to the enjoyment of basic human rights even the right to life itself.<br /><br />Jadi, lingkungan (hidup) perlu dipertahankan demi untuk menikmati iak-hak dasar manusia, bahkan hak untuk hidup sendiri. Walaupun baru ahun tujuh puluhan orang ramai membicarakan, menulis, mendiskusikan, bahkan mengembangkan studi tentang lingkungan, karena mulai sadar tkan bahaya besar yang mengancam kelestarian lingkungan yang aman Ian sehat, tidaklah berarti bahwa sebelumnya tidak ada sama sekali petgaturan yang menyangkut lingkungan. Masalah lingkungan sebenarnya udah ada sejak kehidupan manusia ada di planet ini.<br />Usaha manusia untuk menjaga lingkungan hidupnya sudah ada sejak .dahulu. Bahkan lebih dari 1300 tahun yang lampau, Tuhan telah mempeingatkan melalui Alquran agar manusia menjaga lingkungannya setelah diciptakan-Nya alam semesta beserta isinya. Hal ini tercantum di dalam urah antara lain surah Al-A'raaf, Al-Mu'minin, An-Nuur, Al-Furqaan, Ar.uum, Al-Faathir, Yaasin, dan Az-Zukhruf.<br />Penciptaan peraturan oleh manusia sudah ada berabad-abad di antara angsa beradab. Schaffmeister, seorang guru besar hukum pidana di akultas Hukum Leiden menulis bahwa sejak zaman Romawi bahkan di alam masyarakat mana pun juga telah ada aturan untuk melindungi air iinum. Orang Romawi mengancam pidana denda sangat berat bagi pen;maran yang disengaja terhadap air minum, bahkan dengan pidana mati igi orang yang melakukan peracunan sumber air di zaman abad perte;ahan. Pada tahun 1504 di Napels orang-orang yang membuang sampah ;mbarangan dipidana mendayung perahu atau disuruh menyapu dijalanan.<br />Raja Jerman Friedrich Wilhelm I memerintahkan tentaranya untuk meIcmpar sampah melalui jendela ke dalam kamar orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Begitu pula hutan-hutan dilindungi seperti di Swiss dibuat peraturan dalam tahun 1480 untuk melindungi hutan. Dalam pcrundang-undangan hutan itu sudah terdapat pemikiran modern. Untuk sctiap pohon yang ditebang harus ditanami pohon baru dalam jumlah bcrlipat ganda.<br />Dalam abad pertengahan, pencuri hasil hutan diancam pidana sangat bcngis di antaranya dipancung atau dipotong tangannya. Di daerah lain bisa diusir ke luar kota sambil digantungi pohon yang telah dirusak di lehernya. Pencemaran lingkungan juga bukan masalah baru. Pencemaran udara sudah terjadi di dalam tahun 1640. William Alfred meminta ganti kerugian sebesar 40 pound pada pengadilan Inggris karena tetangganya mengganggu dengan bau kandang babi, sehingga ia tidak dapat menggunakan tanahnya dengan baik. Pada tahun 1307 Raja Inggris memproklamirkan larangan membakar batu bara di London. Pada tahun 1757 dalam perkara R versus White & Co. terdakwa dipidana karena ia menyebabkan sejumlah gangguan dengan mengeluarkan asap ke udara yang mencemari seluruh rakyat kcrajaan (Inggris). Dalam perkara R versus Meddley & Co. pada tahun 1834 dakwaan kepada perusahaan gas juga kepada ketua, wakil ketua, dan direktur yang secara pribadi bertanggung jawab atas perbuatan kriminal itu. Begitu pula kepada pengawas dan ahli gas ditangkap dan didenda. Dakwaan berupa gangguan yang menyebabkan gas masuk ke Sungai Thames yang menyebabkan ikan-ikan mati dan sejumlah nelayan diberhcntikan begitu pula air sungai itu tidak dapat diminum.<br />Di Amerika Serikat lebih dari 20 kota telah mempunyai undang-undtmg pengawasan asap sebelum tahun 1912. Pada umumnya daerah kota tClah mempunyai peraturan pengawasan ketat tentang asap sebelum tahun 1960.<br />Kalau dahulu masalah pencemaran dan perusakan lingkungan merunitkan masalah lokal, sekarang menjadi masalah nasional bahkan internayional. Tingkat pencemaran dan perusakan juga jauh lebih hebat karena kcmajuan teknologi industri.<br />Pertambahan penduduk yang semakin hari semakin menggusur daerah pertanian dan hutan produktif untuk dijadikan permukiman. Urbanisasi ke kota-kota semakin menghemat di seluruh dunia yang pada akhirnya memperluas wilayah perkotaan yang juga memberi dampak sangat buruk bagi wilayah sekitar kota-kota.<br />Perlombaan mengejar kemakmuran antarnegara semakin seru yang pada gilirannya menguras sumber-sumber daya alam hayati dan nonhayati. Penciptaan perundang-undangan lingkungan tersendat terutama di negara-negara berkembang, karena bagaimanapun juga penciptaan peraturan yang ketat akan berarti memperlambat laju pembangunan yang menggebu. Gejala baru ini nyata sekali menimpa Indonesia. Undang-undang dan peraturan pelaksanaan UULH tahun 1982, tidak muncul setelah ditunggu empat belas tahun. Ini gejala yang tidak menggembirakan.<br />Masalah pengaturan lingkungan tidak hanya menjadi urusan nasional, tetapi telah menjadi masalah antarnegara bahkan internasional. Hal ini dapat disimpulkan dari Deklarasi Den Haag (Declaration of the Haque, 1989) yang menyatakan, sebagai berikut.<br />Therefore we consider that, faced with of a problem the solution to which has three salient features, namely that it is vital, urgent and global, we are in a situation that calls not only for implementation of existing principles but also for a new approach, through the development of a new principles of international law including new and more effective decision making and enforcement mechanism.(Oleh karena itu, kami memandang bahwa dalam menghadapi masalah, pemecahannya mempunyai tiga wajah yang menjulang yakni yang vital, penting, dan global, kami berada dalam situasi untuk tidak hanya mengimplementasikan prinsip-prinsip yang ada, tetapi juga untuk pendekatan baru melalui pengembangan prinsip-prinsip baru hukum internasional meliputi pengambilan keputusan yang baru dan lebih efektif dan mekanisme penegakan hukum).<br /><br /><br /><br /></span></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-74380837531210975482010-03-25T01:54:00.000-07:002010-04-02T08:17:02.109-07:00KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA<div style="text-align: justify;">KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA<br /><br />1. Pendahuluan<br /><br />Di dalam menjalankan bisnis,, seringkali orang melupakan betapa pentingnya kontrak yang harus dibuat sebelum bisnis itu sendiri berjalan di kemudin hari. Kita ketahui bahwa budaya (culture) tiap bangsa dalam menjalankan bisnis memang diakui berbeda-beda Ada bangsa yang senang berbisnis lebih mempercayai bahasa secara lisan namun ada bangsa yang senang dengan cara tertulis. Namun kecenderungan sekarang ini, baik di indonesia maupun di dunia internasional, kerja sama bisnis di antara para pihak bangsa dirasaka lebih mempunyai kepastian hukum bisa dengan suatu kontrak secara tertulis. sebelum kontrak dibuat, biasanya akan didahului dengan pembicaraan pendahuluan seterusnya pembicaraan berikutnya (negosiai/komunikasi) untuk mematangkan kemungkinan yang terjadi, sehinngga kontrak yang akan ditandatangani telah betul-betul matang (lengkap dan jelas). Sekalipun demikian selengkap-lengkapnya suatu kontrak (perjanjian), selalu saja ada kkurangan-kekurangan di sanasini. barangkali benar bila ada ungkapan yang berkata, "nobody is perfect" (tidak ada seorang pun yang sempurna). Demikian Pula halnya dengan si pembuat kontrak, selalu ada pihakpihak yang beritikad tidak baik, "teqoeder trouzu", yang mengakibatkan terjadinya sengketa para pihak yang membuat kontrak.<br /><span class=”fullpost”><br /> Dengan adanya sengketa dalam bisnis tentunya harus diselesaikan dengan segera, agar bisnis yang telah berjalan tidak mengalami kerugiaqn besar. Menurut jalur hukum, ada 2 (dua) kemungkinan/cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya, yaitu pertama, jalur pengadilan, dan kedua, jalur arbitrase (perwasitan). Namun ada pula yang menambahkan cara penye1esaian sengketa dengan cara yang ketiga yaitu melalui jalur negosiasi (perundingan). Kedua jalur hukum ini sudah sering dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, maupun cara negosiasi seperti yang lazim dipergunakan <br /><br /> 2. Sahnya Suatu Kontrak <br /><br /> Sebelum bisnis berjalan, biasanya akan dibuat kontrak atau perjanjian secara tertulis, yang akan dipakai sebagai dasar jalannya bisnis yang akan dilaksanakan Dalam setiap kontrak yang dibuat, tidak bisa tidak, terlebih dahulu harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar kontrak yang aakan atau telah dibuat secara hukum sah dan dapat dipertanggung jawabkan. Adapun syarat-syarat sahnya kontrak tersebut ada sebagai berikut: <br /> a. adanya kata sepakat di antara para pihak; <br /> b. adanya kecakapan tertentu; <br /> c. adanya suatu hal tertentu; <br /> d. adanya suatu sebab yang halal. <br /><br /> Mengenai syarat kata sepakat dan kecakapan tertentu dinamakan sebagai syarat-syarat subjektif, karena kedua syarat tertentu mengenai subjeknya atau orang-orangnya yang mengadakan kontrak (perjanjian). Sedangkan syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal, dinamakan sebagai syarat-syarat objektif, karena kedua syarat tersebut isinya mengenai objek perjanjian dari perbuatan hukum yang dilakukan. <br /> Adanya kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari kontrak. Bila A menghendaki suatu, tentu B juga menyetujui apa yang dikehendaki oleh A. <br /> Dengan perkataan lain, mereka saling menghendaki sesuatu ang sama secara timbal balik. Dalam kontrak juga dipenuhi syarat bahwa mereka yang mengadakannya haruslah cakap menurut hukum. Apa yang (maksud dengan cakap menurut hukum pada asasnya adalah tiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya. <br /> Ketentuan mengenai seseorang yang sudah dewasa nampaknya berbeda menurut ketentuan yang satu dengan tentuan yang lainnya. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), seseorang dikatakan sudah dewasa adalah saat usia 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. angkan menurut Undang-undang No.l tahun 1974 tentang Perkawinan, kedewasaan seseorang adalah saat berusia 19 hun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi wanita. <br /> Acuan hukum yang dapat kita pakai adalah KUHPerdata, karena ketentuan ini masih berlaku secara umum. Sedangkan ketentuan lainnya hanya berlaku secara khusus. Hal ini tidak berarti asas lex specialis derngat lex generalis menjadi tidak berlaku. Sebab yang dimaksudkan di sini adalah kedewasaan dalam arti umum. <br /> Dalam KUHPerdata juga disebutkan adanya 3 (tiga) kelompok orang yang tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah seperti dimaksud dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu: <br /> a. orang-orang yang belum dewasa; <br /> b. orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan; dan <br /> c. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. <br /> Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua) maksud, yaitu pertama, maksud yang dilihat dari sudut rasa keadilan, yaitu perlunya orang yang membuat perjanjian mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut. Dan kedua, maksud yang dilihat dari sudut ketertiban hukum, yang berarti orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya. Artinya orang tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas harta kekayaannya. <br /> Orang yang tidak sehat pikirannya tentunya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang harus dipikulnya. Demikian pula dengan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, kedudukannya sama dengan orang yang belum dewasa (walaupun kenyataannya sudah dewasa). Khusus untuk golongan ketiga, orang-orang perempuan yang telah bersuami, kenyataannya sekarang ini dalam praktek sudah tidak berlaku lagi. <br /> Hal ini dapat dilihat dari sikap Mahkamah Agung (MA) dengan Surat Edarannya Nomor 03/1963 tanggal 4 Agustus 1963, yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, yang menjelaskan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa izin dan bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi. <br /> Mengenai syarat ketiga, suatu hal tertentu, artinya apa yang telah diperjanjian dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si terhutang jika terjadi sengketa. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Sedangkan mengenai barang yang diperjanjikan itu harus ada atau sudah ada di tangan si terutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. <br /> Selanjutnya mengenai syarat keempat yang mengharuskan adanya suatu sebab yang halal, dimaksudkan tidak lain pada isi perjanjian itu sendiri. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab (causa) yang halal atau dibuat dengan suatu causa yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun causa yang tidak diperbolehkan ialah causa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. <br /> Dalam hal tidak dipenuhinya syarat objektif, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perjanjian. Tujuan para pihak untuk melahirkan suatu perjanjian adalah gagal. <br /> Sedangkan dalam hal tidak dipenuhinya syarat subjektif, perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Dengan perkataan lain, perjanjian yang dibuat tetap mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atau atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan. <br /><br /> 3. Kebebasan Berkontrak dan Masalahnya <br /><br /> Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia bisnis (usaha) adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Wahana yang lazim dipakai untuk <br /> berusaha seperti Firma, CV, maupun PT, pada dasarnya merupakan hasil perjanjian antara dua orang atau lebih. Oleh karena itu perlu diketahui adanya 3 (tiga) asas perjanjian dan kekecualiannya. Ketiga asas perjanjian tersebut adalah: <br /> a. asas kebebasan berkontrak, <br /> b. asas kekuatan mengikat, dan <br /> c. asas bahwa perjanjian hanya melahirkan ikatan antara para pihak yang membuatnya. <br /><br /> Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi dari perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja sudah cukup, dan apabila dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah dimaksud sekadar sebagai alat pembuktian semata saja. Sedangkan mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan. <br /> Namun demikian ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum atau notaris dan PPAT, misalnya akta perjanjian menghibahkan saham, akta pendirian PT, dan lain-lain. Agar perjanjian hibah tersebut sah, pembuat undang-undang sengaja mengharuskan dipatuhinya bentuk akta otentik guna melindungi kepentingan para pihak terhadap perbuatan dengan buru-buru yang dapat merugikan mereka sendiri. Dan untuk pendirian PT diwajibkan guna melindungi kepentingan pihak ketiga seperti dimaksud dalam UU PT No. Tahun 1995.(yg telah diperbaharui oleh UU No. 35/2007) Dalam asas kebebasan berkontrak, pembuat undang yang memberikan asas ini kepada para pihak yang 'i sekaligus memberikan kekuatan hukum yang mengikat kepada apa yang telah mereka perjanjian (pacta sunt servanda),seperti yang dimaksud Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata. Perlu diingat bahwa hanya perjanjian yang sah saja yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang cacad karena tidak adanya sebab yang halal atau karena tidak ada kata sepakat, tidak punyai kekuatan hukum yang mengikat. <br /><br /> a. Hukum Kebiasaan <br /> Seperti kita ketahui bersama, bahwa salah satu fungsi adalah untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat untuk mengarahkan suatu masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan. Tetapi dalam kenyataannya seringkali masalah hukum tertinggal oleh kebutuhan masyarakat itu sendiri. masalah ini dapat dilihat pada negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia. <br /> Untuk mengantisipasi masalah ini, ada 2 (dua) jalan dapat dilakukan, yaitu <br /> 1 Pertama, dengan membuat undang-undang dan peraturan-peraturan yang baru untuk mengisi kekosongan hukum maupun untuk mengganti undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi. <br /> 2 Kedua, dengan mengakui hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan yang dimaksud dalam ini adalah hukum kebiasaan yang tumbuh dalam rangkaian keputusan-keputusan hakim yang tetap dalam perkara yang atau hukum kebiasaan yang telah dikembangkan dalam praktek para praktisi, seperti notaris, pengacara dalam hukum kontrak sebagai suatu sumber hukum. <br /><br /> Namun demikian adanya keleluasaan yang diperoleh para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak, telah banyak dimanfaatkan oleh para pihak yang terkait untuk mengisi kekosongan hukum yang timbul. Hal ini dapat terlihat dalam kontrak atau akta notaris yang dalam klausula-klausula perjanjiannya sebenarnya belum ada pengaturannya dalam perundang-undangan nasional. <br /> Sebagai contoh dapat kita lihat dengan adanya penentuan suku bunga bank dengan standard SIBOR atau LIBOR yang sudah menjadi hal yang biasa dalam suatu kontrak atau akta notaris untuk pengambilan kredit dalam mata uang dollar di Indonesia. Begitu pula dengan perjanjian pemberian agunan dalam bentuk penyerahan tagihan piutang, yang lazim dikenal di negara Anglo Saxon, juga sudah dipergunakan dalam praktek perbankan, walau belum ada pengaturannya dalam perundang-undangan kita. <br /> Agar asas kebebasan berkontrak dapat berfungsi sebagai pengisi kekosongan hukum, peran profesi hukum sangat diperlukan sekali. Peran mereka diperlukan dalam mengusahakan suatu penilaian terhadap klausula-klausula yang akan dimasukkan dalam kontrak, sehingga tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. <br /> Penggunaan hukum kebiasaan yang berlaku dalam praktek bisnis sehari-hari tentunya tetap dapat digunakan, karena memiliki landasan konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan ZND 19465, yaitu bahwa di samping terdapat LJW sebagai hukum -dasar yang tertulis, juga terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu hukum kebiasaan. <br /><br /> b. Masalah Kontrak <br /> Sebagaimana lazimnya dalam pembuatan suatu kontrak tentunya akan dimulai dengan hal-hal yang bersifat fundamental. Para pihak biasanya akan melakukan pembicaraan satu sama lain. Misalnya seorang pengusaha lokal dengan mitra usahanya (baik pihak asing maupun pihak lokal). pembicaraan-pembicaraan ini dimaksudkan untuk mengumpul informasi sebanyak mungkin untuk menampung hal-hal saja yang nantinya akan dituangkan dalam kontrak. <br /> Sebuah kontrak mestinya dibuat secara detil dan komprehensif, dan tidak mengandung perumusan-perumusan yang mengundang keraguan. Sebab kalau umpamanya dalam suatu kontrak tidak secara jelas didefinisikan sesuatu yang dimaksud, bisa jadi akan menimbulkan persoalan-persoalan Jika ingin melakukan joint venture dengan mitra usaha untuk mendirikan sebuah pabrik, perlu diperhatikan pihak mana yang nantinya akan menguasai perusahaan. Karena kadang-kadang pihak asing menguasai perusahaan tersebut sampai 80% dan pihak lokal hanya 20%. Hal ini misalnya bisa berakibat pihak asinglah yang memasukkan Presiden direktur perusahaan atau finance director. Bahkan jadi mereka (pihak asing) yang akan mengimpor bahan produksi sampai kepada masalah pemasarannya. <br /> Bila kita lihat sebuah kontrak, baik yang bertaraf nasional maupun yang bertaraf internasional, lazimnya akan dicantumkan aspek pemecahan masalah (dispute resolution). Karena bagaimanapun bagusnya sebuah kontrak tidak bisa dijamin akan terhindar dari adanya sengketa pada masa-masa mendatang. Permasalahan dapat timbul karena biasanya pihak asing enggan menggunakan hukum Indonesia, sebab khawatir akan dirugikan kalau memilih pengadilan (litigasi) di Indonesia. Permasalahan lain dalam sebuah -kontrak yang harus dibahas adalah jika sebuah kontrak telah dirumuskan dengan konsep standard. <br /> Konsep standard pihak asing maupun konsep standard pihak lokal berbeda, sehingga perlu dilakukan pembahasan bersama. Dalam sebuah kontrak standard, secara umum pasti memiliki standard yang sama, yaitu adanya judul kontral (Heading), subjek dan objek, domisili, tujuan pembuatan kontrak, dan susunan pengurus. <br /> Dalam praktek, kebanyakan keberatan timbul dari salah satu pihak atas isi kontrak yang menyangkut susunan pengurus perusahaan, seperti presiden direktur dan direktur-direkturnya, tetapi bisa juga karena masalah keuangannya. Permasalahan-permasalahan lain yang cukup penting adalah penggunaan bahasa hukum yang harus baik dan benar, serta mudah dipahami kalangan non hukum, baik penggunaan dalam bahasa Inggris maupun penggunaan dalam Bahasa Indonesia, yang sebisa mungkin harus dihindari kesan bahasa yang complicated dan membingunkan. <br /> Perlu kiranya direnungkan apa yang dikemukakan oleh salah seorang pakar hukum bisnis, DR. Prajudi Atmosudirdjo, saat mengadakan Seminar Lokakarya Business Law. Beliau mengemukakan betapa pentingnya memahami kontrak dalam suatu bisnis. Sebab banyak BUMN yang mengalami kerugian miliaran rupiah dari kesepakatan kontrak kerjasama yang dilakukan, akibat para pemimpinnya tidak memahami seluk beluk kontrak dalam bisnis (Bisnis Indonesia, 16 Nopember 1993). <br /><br /> 4. Anatomi Suatu Kontrak <br /><br /> Setiap akta perjanjian/kontrak,baik yang dibuat di bawah tangan maupun akta otentik biasanya akan terdiri dari bagianbagian sebagai berikut: <br /> a. Judul; <br /> • Judul kontrak di atas berbunyi Kontrak Sewa menyewa Rumah” <br /> b. Kepala; <br /> • Yang dimaksud dengan Kepala Akta adalah Tulisan yang berbunyi “ Pada hari ini, Senin, tanggal 30 maret 2010 di Jakarta” <br /> c. Komparisi <br /> • Yang dimaksud dengan Komparisi atau para pihak adalah penyebutan para pihak dalam akta, yaitu mulai dari nomor 1 Tuan Ali Hamid smapai dengan nomor 2 Tuan Slamet Sugeng. Tetapi dalam komparisi bisa saja disebut lebih dari dua orang, yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak yang akan membuat akta dimaksud <br /> d. Sebab/dasar <br /> • Yang dimaksud dengan Sebab/Dasar dalam suatu akta harus jelas disebutkan. Singkatnya dalam suatu perjanjian harus disebutkan dasar identitas barang, dasar kepemilikannya, kemudian disusul dengan kesepakatan kedua belah pihak seperti contoh dimulai dengan kata “bahwa pihak pertama adalah pemilik dari satu unit rumah tinggal ………dan seterusnya” sampai kalimat akhir sebelum dimulai Pasal 1 <br /> e. Syarat-syarat <br /> • Mengenai syarat dalam suatu akta perjanjian dapat dibagi 3 syarat yaitu: <br /> 1. Syarat esensialia, yaitu suatu syarat yang harus ada dalam perjanjian, kalau syarat ini tidak ada, maka perjanjian tersebut cacad/tidak sempurna, dalam perjanjian sewe menyewa rumah yang menjadi syarat esensialia yaitu barang/rumah dan harga barang/ harga sewa. Jadi hal tersebut menjadi mutlak adanya, tampa barang/rumah tersebut, maka tidak ada barang/rumah yangd isewakan.atau dalam jual beli harus ada barang dan harga barang tersebut, bila tidak ada bukan merupakan suatu jual beli. <br /> 2. Syarat Naturalia , yaitu syarat yang biasa dicantumkan dalam perjanjian, apabila syarat ini tidak ada, maka perjanjian akan cacat tetapi tetap sah. Syarat naturalia mengenai suatu perjanjian terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan kebiasaan. Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa di atas, bila tidak diatur syarat bahwa kalau menyewa memasang pompa air listrik ia boleh mengambil pompa air jika ia meninggalkan rumah setelah masa sewa berakhir. Tetapi dalam hal ini berlaku pasal 1567 KUHPerdata yang mengatur bahwa pompa air boleh dibongkar dan dibawa penyewa. <br /> 3. Syarat Aksidentalia, adalah merupakan syarat yang bersifat khusus. Syarat ini biasanya tidak mutlak dan tidak biasa, tetapi apabila para pihak menganggap bagian tersebut perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam akta, contohnya diwajibkan pihak penyewa menyampaikan fotocopy kuitansi listrik dan telepon serta kuitansi air pam setiap 2 bulan sekali, atau selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum penyerahan rumah (habis masa kontrak), atau pihak pertama diwajibkan memberitahukan kepada pihak kedua 2 bulan sebelum berakhir kontrak bahwa sewa menyewa rumah tidak dapat/dapat diperpanjang dengan nilai sama atau naik (rupiah), tidak boleh dirubah warna catnya atau kondisi kamar, dan lain-lain <br /> f. Penutup, dan <br /> • Penutup suatu akta dibawah tangan akan dimulai dengan kalimat “Demikianlah akta ini dibuat……………dan seterusnya, sedangkan akta notaris dimulai dengan kalimat Demikianlah akta ini dibuat dalam minuta……………..dan seterusnya <br /> g. Tanda tangan para pihak terkait <br /> • Yang terakhir harus ada dalam suatu akta adalah adanya tandatangan dari para pihak beserta saksi-saksinya. Dengan membubuhkan tanda tamgam berarti para pihak telah menyetujui atau mengikat dirinya dalam kontrak dan akan melaksanakan kontrak yang telah dibuat. <br /><br /> Untuk memudahkan melihat masing-masing anatomi suatu kontrak, dapat dilihat contoh sebuah kontrak tang sewa menyewa rumah seperti di bawah ini: <br /><br /> KONTRAK SEWA-MENYEWA RUMAH <br /><br /> Pada hari ini, Senin tanggal 30 Maret 2010 di Jakarta: <br /><br /> 1. Tuan Ali Hamid, swasta, bertempat tinggal di Jakarta Timur, Jl. Nanas Nomor 2 Rt. 11 Rw. Ol Cipinang Muara; selanjutnya disebut juga Pihak Pertama. <br /><br /> 2. Tuan Slamet Sugeng, swasta, bertempat tinggal di Banyumas, Jawa Tengah, Bawal Merah Nomor 6; selanjutnya disebut juga Pihak Kedua; <br /><br /><br /> • Bahwa Pihak Pertama adalah pemilik dari : ......................... <br /><br /> Satu unit rumah tinggal berdinding tembok, berlantai teraso, beratap genteng, luas bangunan 170 m2, lembar 10 m, panjang 17 m, berdiri di atas tanah hak Pihak Pertama, terletak di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Barat, Kecamatan Grogol Petamburan, Kelurahan Jatipulo, setempat terkenal sebagai persil Jalan Dahlia No. 1; pemilikan mana berdasarkan Surat Keputusan Walikota Jakarta Barat No. xx tgl. 1 Maret 1977. <br /> • Bahwa Pihak Pertama dengan akta ini telah menyewakan kepada Pihak Kedua yang menerangkan telah menyewa dari Pihak Pertama satu unit rumah yang dimaksud di atas, berikut segala fasilitasnya antara lain listrik dari <br /><br /> Dan seterusnya………………………………………………………………. <br /><br /> 5. Penyelesaian Sengketa Kontrak <br /><br /> Hampir setiap hari kita mendengar adanya kegiatan bisnis dan melakukan transaksi yang dilakukan oleh para usahawan baik itu yang dilakukan di dalam satu negara maupun yang dilakukan antar negara. Kegiatan bisnis ini tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan para pihak sesuai dengan asas kesepakatan. Dalam hukum perdata, kesepakatan yang telah disetujui para pihak tentunya akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat 1 KLTHPerdata). <br /> Namun demikian apa yang telah mereka sepakati itu, kerapkali menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka dua jalan yang dapat ditempuh, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui jalur musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai alternatif lain yaitu melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase (Perwasitan). <br /> Bila kita melakukan suatu bisnis dengan melakukan suatu transaksi dengan pihak lain atau dalam suatu kontrak yang telah ditandatangani bersama, maka dalam kontrak yang telah ditandatangani bersama itu biasanya selalu ada disebutkan dalam suatu pasal tersendiri yang menyatakan cara bagaimana melakukan suatu penyelesaian atas suatu perselisihan atau sengketa yang timbul. <br /><br /> a. Jalur Pengadilan <br /><br /> Dalam dunia bisnis, hubungan yang terjadi di antara para pihak termasuk dalam ikatan hubungan perdata.. Oleh karena itu apabila terjadi sengketa dari sebuah-kontrak ( breach of contract ), akan diselesaikan secara perdata: Penyelesaian kasus ini tentunya harus didahului dengan adanya surat gugatan ke pengadilan di wilayah hukum tergugat berada. <br /> Proses di pengadilan ini pada umumnya akan diselesaikan seesaan melalui usaha perdamaian oleh Hakim Pengadilan Perdata. Perdamaian bisa dilakukan di luar pengadilan. Kalau hal ini bisa dicapai, maka akibatnya gugatan akan dicabut oleh penggugat dengan atau tanpa persetujuan tergugat. Tetapi perdamaian pun dapat diselesaikan di muka pengadilan. Kemungkinan ini diadakan atas anjuran hakim. Kalau damai dapat diselesaikan para pihak,pihak sewaktu sid bjl angeraan, akan dibuatkan akta perdamaian, dalam hal mana kedua belah pihak dihukum untuk mentaati persetujuan yang dibuat. Akta perdamaian ini mempunyai kekuatan huku <br /> m yang sama <br /> dengan suatu vonis hakim. <br /> Apabila jalan perdamaian tidak dapat diselesaikan oleh para pihak, proses penyelesaian selanjutnya biasanya akan memakan waktu yang vanjang, Sebab ti ga tingkatan <br /> proses <br /> ` pengadilan minimal akan dijalani untuk sampai pada proses i"final, yaitl.l mulai dari gugatan ke Pedil N ngaanegeri, proses banding ke Pengadilan Tinggi dan tekhi <br /> rar proses kasasi ke <br /> Mahkamah Agung. Kondisi demikian saat iniih <br /> mas sering <br /> `terjadi di Indonesia. Artinya proses pengadilan yan g diharapkan menurut undang-undang dilaksanakan secara sedh <br /> erana, ringan <br /> ',an cepat, belum dapat terwujud. <br /> 'B. Jalur Arbitrase <br /> Alternatif lain yang biasanya dan serin dilkk gauan oleh kalangan pengusaha untuk menyelesaikan sengketa yang kerjadi saat ini adalah melalui lembagbi <br /> a artrase. Sebab <br /> >enyelesaian melalui lembabi <br /> ga artrase ini mempunyai arakteristik sendiri yang bag- dunia usah <br /> a sangat dibutuhkan <br /> eberadaannya, Tetapi banyak pula kaum usahawan yang elum mengetahui seluk beluk pemakaian lb <br /> emaga arbitrase, <br /> dahal menurut sejarahnya arbitrase dibentuk oleh kl aangan 1tsahawan sendiri untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa Yang timbul., <br /><br /><br /> Sebelum mengetahui kegunaan lembaga arbitrase, ada baiknya kita ketahui dahulu apa pengertian arbitrase dan bagaimana ketentuan yang mengaturnya. Kata Arbitrase <br /> sebenarnya berasal dari bahasa latin arbitrare, yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang dimaksud tidaklah berarti tidak mengindahkan norma-norma hukum dan semata-mata hanya bersandarkan kebijaksanaan saja. <br /> Lembaga Arbitrase tidak lain merupakan suatu jalur musyawarah yang melibatkan pihak ketiga sebagai wasitnya. Dengan perkataan lain, Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian <br /> perselisihan dengan bantuan pihak ketiga, bukan hakim, walaupun dalarn pelaksanaan putusannya harus dengan bantuan hakim. . <br /> Frank Elkouri and Edna Elkouri dalam bukunya How Arbitration Works, 1974, telah mendefinisikan Arbitrase sebagai berikut : "Arbitration is a simple proceeding voluntarily chosen <br /> by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agreed in advance to accept as final and binding." <br /> Dengan kata lain, arbitrase adalah proses penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk <br /> kepada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh para hakim yang mereka pilih atau tunjuk. <br /> Dari definisi di atas jelas bahwa dasar hukum arbitrase adalah bahwa menurut hukum dianggap wajar apabila dua orang atau pihak yang terlibat dalam suatu sengketa <br /> mengadakan persetujuan dan mereka menunjuk seorang pihak ketiga yang mereka berikan wewenang untuk memutus sengketa. Mereka pun berjanji untuk tunduk kepada putusan yang akan diberikan oleh pihak ketiga tersebut. <br /> 54 <br /> Apabila salah satu pihak kemudian enggan memberikan ntuannya untuk pengambilan keputusan atau tidak mentaati eputusan yang telah diambil oleh orang yang mereka berikan `-wenantkk <br /> g unu sengeta tersebut, pihak itu dianggap lakka b <br /> u n reach of contttl <br /> rac aau meanggar perjanjian. <br /> Adapun landasan hukum mengapa kita boleh enggunakan lembaga arbitrase, dapat dilihat dalam Pasal 5 s.d. Pasal 651 RV (Reglement op de Rechtsvordering = raturan Hukum Acar Pdt) d dl <br /> aeraaanaam memori penjelasan 3 Ayat (1) Udd N <br /> nang-unango. 14 Tahun 1970 tentan kok-pokok Kekuasaan Kehakiman. g <br /> Pasai 615 RV menyebutkan bahwa diperkenankan da siapa saja yang terlibat dalam suatu sengketa yang genai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk <br /> ;epaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa ~but kepada set bb <br /> orang aaueerapa orang wasit. Sedangkan_ ory penjelasan Pl 3 A 1 W <br /> asayat No. 14 Tahun 1970 iyebutkan bahwa, "Penyelesaian perkara di luar pengadilan dasar perdit <br /> amaan aau melalui wasit (arbitrase) teta p <br /> rbolehkan". <br /> Apakah setiap sengketa yang terjadi dapat diselesaikan Iui jalur arbitrase? Jawabnya tentu tidak ! 5ebab seperti disebutkan di atas bahwa hanya sengketa dalam dunia <br /> is saja yang termasuk. dalam ruang lingkup penyelesaian `arbitrase stilh <br /> eper, masaa perdagangan, perindustrian dan `gan Sedkky <br /> .angan sengeta perdata lainna seperti, masalah w, pengangkatan anak, perumahan, perburuhan dan -lain, tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase. Bila kita lihat satu contoh pasal dalam kontrak, balk trak yang berbahasa Indonesia maupun bahasa asing, umnya terdapat klausul hukum mengenai cara penyelesaian 'g akan dilkukllibaan meau aritrase dengan judul "Governing <br /> Law and Settlement of Disputes." Misalnya dengan klasula "This agreement shall be governed by and construed in accordance with the laws of the Republic of Indonesia." <br /> Dalam pemecahan masalahnya atau settlement of disputes, misalnya akan disebutkan sebagai berikut : "Any dispute not settled by amicable agreement shall be finally settled by <br /> Arbitration under the rules of conciliation and arbitration of the International Chamber of commerce which arbitration shall be conducted in the English language in Tokyo, Japan. Arbitration may be commenced by any interested party hereto by the giving of written notice of commencement of arbitration to each of the other parties hereto." <br /> Arbitration shall be conducted by a panel of 3 (three) arbitrators appointed in accordance with the provisions of the abovementioned rules. Awards rendered in any arbitration hereunder shall be final and conclisive and judment thereon may be entered into in any court having jurisdiction for enforcement thereof. There shall be no appeal to any court from awards rendered hereunder. Awards rendered hereunder shall apportion the costs of the arbitration concerned. " <br /> Para pihak dalam perjanjian yang menghendaki agar penyelesaian sengketa yang timbul akan diselesaikan dengan arbitrase, dapat mempergunakan salah satu dari dua cara yang dapat membuka jalan timbulnya perwasitan, yaitu: <br /> a. Dengan mencantumkan klausul dalam perjanjian pokok, yang berisi. bahwa penyelesaian sengketa yang mungkin timbul akan diselesaikan dengan peradilan wasit. Cara ini disebut dengan "pactum de compromittendo." b. Dengan suatu perjanjian tersendiri, di luar perjanjian pokok. Perjanjian ini dibuat aecara khusus bila telah timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok. Surat perjanjian semacam ini disebut "akta kompromis", <br /> 56 <br /> seperti dimaksudkan Pasal 618 RV. Akta kompromis ini ditulis dalam suatu akta dan ditandatangani oleh para pihak. Kalau para pihak tidak dapat menandatangani, akta kompromis itu harus dibuat di muka notaris dan saksi-saksi. Akta kompromis tersebut berisi pokok pokok dari perselisihan, nama dan tempat tinggal para pihak, demikian pula nama dan tempat tinggal wasit atau para wasit, yang jumlahnya selalu ganjil. <br /><br /> Dengan menggunakan lembaga arbitrase dalam penyelesaian suatu sengketa, minimal ada 3 (tiga) keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu: <br /> Waktu yang cepat <br /> Bagi dunia bisnis, waktu untuk menyelesaikan suatu masalah atau sengketa merupakan sesuaku yang sangat berharga. Sedangkan jalan melalui pengadilan sangat tidak menguntung.kan, karena menggugat di muka Pengadilan Perdata merupakan jalan yang sangat panjang. Putusan dari Pengadilan Negeri belum merupakan kekuatan hukum yang mengikat, sebab masih ada tingkatan banding ke Pengadilan Tinggi serta kasasi bagi mereka, yang merasa belum puas atas putusan tingkat Pengadilan Negeri. <br /> Proses ini tentunya akan memakan waktu yang lama sekali. Belum lagi adanya tunggakan perkara, yang menyebabkan semakin lamanya proses penyelesaian perkara di pengadilan. Oleh karena itu alternatif lembaga arbitrase merupakari suatu sarana yang sesuai bagi dunia bisnis. <br /> Adanya orang-orang yang ahIi <br /> Dengan lembaga arbitrase, para pihak dapat menunjuk ahli-ahli (experts) yang serba mengetahui tentang masalah <br /><br /> 3). Rahasia para pihak terjamin <br /> Dalam prakteknya ada dua macam arbitrase, yaitu arbitrase Ad-Hoc/voluntair dan arbitrase sebagai Permanent Body Arbitration. Arbitrase Ad-Hoc/voluntair adalah suatu <br /> rnajelis wasit (arbiter) atau wasit tunggal yang di dalarn menjalankan tugasnya hanya sekali saja, setelah itu bubarlah majelis arbiter atau wasit tunggal itu. Selain tidak mempunyai peraturan atau prosedur tentang tata cara pengangkatan arbiter, mereka juga tidak mempunyai peraturan atau prosedur yang mengatur bagaimana tata cara pemeriksaan sengketa. <br /> Sedangkan arbitrase sebagai permanent body arbitration, adalah suatu badan arbitrase yang mempunyai peraturan atau prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa. Contohnya <br /> adalah BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia; London Arbitration, American Arbitration, ICC Arbitration (International Chamber of Commerce Arbitration), dan lain-lain. <br /> 58 <br /> yang menjadi sengketa. Dengan demikian putusan yang akan diambilnya akan didukung oleh pengetahuan yang mendalam tentang hal-hal yang dipersengketakan. Dalam arbitrase, selain ahli-ahli hukum, juga selalu terdapat ahli lain dalam berbagai bidang; misalnya ahli perbankan, asuransi, pemborongan, perkapalan, perburuhan dan lain-lain. <br /> Bahwa pemeriksaan maupun pemutusan sengketa oleh suatu majelis arbitrase selalu dilakukan dengan pintu tertutup, sehingga rahasia para pihak yang bersengkeka akan tersimpan baik-baik dan tidak akan diketahui umum. Bila suatu perusahaan diketahui oleh masyarakat bahwa perusahaan tersebut mempunyai banyak utang dan dituntut di muka pengadilan, akan merugikan nama baik perusahaan tersebut. Selain itu, berlainan dengan putusan badan pengadilan, putusan "arbitrase tidak pernah dipublikasikan dalarn majalah. <br /> Mengingat begitu pentingnya lembaga arbitrase, para pengusaha kita pun tidak mau ketinggalan di dalarn lttemanfaatkan lembaga arbikrase ini. Apalagi setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Convention on The Recognition d Enforcement of Foreign Arbitrase Awards (Suatu konvensi tang pengakuan dan pelaksanan putusan-putusan perwasitan ing yang telah dikenal dengan sebutan New York Convention 58) dengan Keppres No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 981, dan Convention on the Settlement Disputes between States <br /> National of other state (suatu konvensi tentang penyelesaian elisihan antara negara dengan warga negara asing mengenai nanaman modal, yang lebih dikenal dengan.sebutan World nk Convention). <br /> Konvensi ini telah disetujui oleh pemerintah dengan dang-undang Nomor 5 Tahun 1968. Pada pengusaha nesia pun yang menjalin kerjasama hubungan bisnis gan pihak asing teristimewa dalarn rangka menarik anam modal asing masuk ke Indonesia, telah berusaha anfaatkan lembaga ini. Sebagai konsekuensinya maka dari hukum internasional Indonesia telah terikat dengan New k Convention 1958 sejak ratifikasi tersebut. Sebagai tambahan wa New York Convention ini juga memakai asas reciprocity <br /> timbal balik), artinya putusan arbitrase asing ini dapat ksanakan oleh Indonesia bila di negara contracting state nya juga hal serupa dapat dilaksanakan. <br /> BANI dan Konven$i Internasional <br /><br /> Pada mulanya BANI didirikan atas prakarsa dari para gusaha (KADIN), yang bertujuan untuk memberikan yelesaian yang adil dan cepat dalarn sengketa perdata ngenai soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang ifat nasional maupun internasional. Karena seperti kita <br /><br /><br /> ketahui adanya sengketa antara para pengusaha biasanya berkisar para perbedaan penafsiran atau pelaksanaan suatu perjanjian dagang, sehingga adanya peradilan perwasitan menjadi mutlak. <br /> Selain berwenang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perdata, BANI juga berwenang untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) tanpa adanya suatu sengketa, kalau diminta oleh para pihak dalam perjanjian. <br /> Misalnya dalam suatu perjanjian dagang yang telah dibuat oleh para pihak, ternyata kemud.ian di belakang hari terdapat hal-hal yang kurang jelas, beberapa ketentuan yang tidak dibuat, keadaan baru yang tadinya tidak nampak, sehingga perjanjian, perlu disesuaikan dengan keadaan yang sudah berubah itu, dan para pihak tidak mampu menyelesaikan hal-hai tersebut, mereka dapat mempergunakan jasa BANI. Putusan BANI demikian merupakan suatu pendapat yang mengikat yang wajib ditaati oleh para pihak. <br /> Mengenai hal klausula arbitrase, umumnya BANI menyarankan kepada para pihak yang ingin menggunakan arbitrase BANI agar mencantumkan dalam perjanjian mereka klausula standard sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur BANI oieh arbiter yang ditunjuk menurut peraturan tersebut." Yang dalam bahasa Inggris sering dinyatakan sebagai berikut: "All disputes arising from this contract shall be finally settled under the rules of arbitration of the BANI by arbitrations appointed in accordance with the said rules. " <br /> Jika dalam klausula perjanjian yang telah dibuat ditentukan akan diselesaikan oleh arbitrase menurut peraturan BANI, maka aturannya adalah sebagai berikut: <br /> 60 <br /> Ptndaftaran ke BANI <br /> Pemohon membuat surat permohorian yang memuat ttoma lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan)kedua pihak, uraian singkat tentang duduknya perkara, apa yang dituntut. Kemudian dilampirkan naskah/akie perjanjian yang memuat klausula arbitrase. Jika dilakukan aleh kuasa, maka surat kuasa tersebut harus dilampirkan. Pemohon dapat menunjuk seorang arbiter atau menyerahkan penunjukkan arbiter kepada ketua BANI. <br /> Pemeriksaan sengketa menurut ketentuan BANI <br /> Ketua BANI menyampaikan salinan surat permohonan kepada si termohon, disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari. Dalam hal para pihak telah menunjuk arbiter mereka, ketua BANI menunjuk seorang arbiter yang akan menjadi ketua majelis arbitrase yang akan memeriksa sengketanya. <br /> Bila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, ketua BANI akan rnenunjuk (membentuk) suatu team yang terdiri atas tiga orang arbiter. Bila perkara dianggap mudah, ketua BA1VI dapat menunjuk seorang arbiter tunggal untuk memeriksa dan memutus perkara. Majelis arbiter atau arbiter tunggal akan memeriksa dan memutus sengketa atas narna BANI. <br /> Penyerahan Jawaban termohon kepada pemohon dan memerintahkan; kedua belah pihak menghadap di sidang arbitrase <br /> Termohon dalam jawabannya dapat mengajukan tuntutan balasan (counter-claim). Bila pemohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap meskipun telah dipanggil secara patut. majelis arbitrase akan menggugurkan permohonan arbitrase. Apabila termohon yang tidak datang, tuntutan (claim) pemohon akan dikabulkan. <br /> 4). Bila kedua belah pihak datang, majelis mengusahakan perdamain <br /> Jika berhasil, majelis membuatkan suatu akte perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk.memenuhi perdamaiar± tersebut. Bila tidak berhasil, pemeriksaan diteruskan ke pokok sengketa. Kedua belah pihak dipersilahkan menjelaskan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang perlu. Bila dianggap perlu, majelis dapat memanggil saksi atau ahli untuk didengar keterangannya (saksi atau ahli dapat disumpah terlebih dahulu). Perneriksaan ini dilakukan dalam pintu tertutup. Pemohon dapat mencabut permohonannya, selama belum dijatuhkan putusan. Bila sudah ada jawaban dari termohon, pencabutan diperbolehkan dengan persetujuan terrnohon. <br /> Apa yang mendasari keir,ginan para pihak untuk menggunakan jalur arbitrase dalam menyelesaikan sengketa bisnis mereka, akan lebih jelas bila kita melihat bahwa pada dasarnya sudah merupakan rahasia umum di mana tidak ada suatu perusahaan (suatu pihakpun) yang ingin diketahui adanya rahasia atau bisnis mereka dan adanya kasus yang terjadi di dalam perusahaannya. Sebab jika sarnpai diketahui oleh masyarakat, mereka akan segan dan tidak mau melakukan transaksi atau mengadakan kontrak hubungan bisnis. <br /> Belakangan ini masalah pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia menjadi pembicaraan yang cukup hangat. Karena ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, karena telah menyinggung kedaulatan negara yang harus dijaga keutuhannya secara bulat. Namun bila sudah ada <br /> persetujuan antara para pihak yang bersangkutan untuk mengizinkan pelaksanaan putusan wasit di wilayah negaranya, maka hal itu bukanlah suatu pelanggaran terhadap kedaulatan negara. <br /> Adanya keraguan di dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut, pada tanggal 1 Maret 1990 Mahkamah Agung telah rnengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PEIZMA) <br /> 'No. 1 Tahun 1990, yang intinya menyebutkan bahwa putusan '-rbitrase asing dapat dilaksanakan (dieksekusi) di Indonesia engan terlebih dahulu didaftarkan di Pengadilan Negeri akarta Pusat dan kemudian dikirimkan ke Mahkamah Agung '~ tuk mendapatkan keputusan izin eksekusi (exequator). <br /> Yang dimaksudkan dengan putusan arbitrase asing alah putusan yang dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase aupun arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik <br /> 'onesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun 'biter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik 'onesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing, <br /> g berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. tahun 1981 Lembaran Negara Tahun 1981 No. 40 tanggal !Aguskus 1981 (Pasal 2 Perma 1 Tahun 1990). <br /> Lebih ditegaskan lagi bahwa putusan arbitrase asing at dilaksanakan di Indonesia, bila memenuhi syarat seperti butkan dalam Pasal 3 Perrna 1 tahun 1990, yaitu: <br /> Putusan itu dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan Putusan arbitrase asing. Pelaksanaannya sendiri didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas); <br /> 2). Putu.san tersebut terbatas pada ketentuan hukum Indonesia yang termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang; <br /> 3). Putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum; <br /> 4). Putusan tersebut dapat dilaksanakan setelah memperoleh exequatur dari Mahkamah Agung. <br /> Dengan semakin giatnya kita melakukan bisnis dengan pihak asing dalam rangka menarik modal asing ke Indonesia, dan berkaitan dengan adanya paket-paket deregulasi yang telah "digulirkan" oleh pemerintah dalam usaha bisnis yang semakin terbuka, mau tidak mau kita harus siap menghadapi sengketa yang sewaktu-waktu dapat timbul dan mencari jalan keluarnya dengan menggunakan lembaga arbitrase ini. <br /> Konvensi Internasionat Mengenai Arbitrase <br /> Berkaitan dengan masalah putusan arbitrase asing seperti telah dikemukakan di atas, perlu kita ketahui bahwa pada bulan Juni 1958, PBB telah mengadakan Konperensi <br /> tentang Arbitrase Perdagangan Internasional di New York dan telah ditandatangani sebuah konvensi mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan-putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) yang terkenal sebagai The 1958 New York Convention. Konvensi ini, telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia dan disahkan dengan Keppres RI No.34 Tahun 1981. <br /> Kemudian pada tahun 1968 telah ditandatangani pula suatu konvensi yang disebut "Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and National of Other States" (konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dengan warga negara asing mengenai penanaman modal). Konvensi ini telah diratifikasi oleh pemerintah dan telah dikukuhkan dengan W No. 5 tahun 1968. Pasal 3 UU <br /> No. 5/1968 dimaksud memberikan suatu peraturan untuk pelaksanaan putusan arbitrase, yang antaia lain menentukan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase memerlukan izin tertulis dari Mahkamah Agung untuk melaksanakan putusan tersebut. <br /> Kemudian pada tahun 1976 PBB telah menerima sebuah resolusi untuk mempergunakan "uncitral arbitration rules", yaitu peraturan perwasitan yang bertujuan untuk memberi peraturan <br /> mengenai perwasitan yang dapat diterima oleh segala pihak dalam melakukan perwasitan antara warga-warga negara yang I listem hukum dan sosialnya tidak sama. Pemerintah RI sudah ,$nenandatangani resolusi tersebut. <br /> Dengan adanya lembaga arbitrase, maka putusan yang lah ditetapkannya tidak boleh lagi dimajukan ke pengadilan rdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata perihal kesepakatan para <br /> hak, dan konvensi New York 1958 tentang Pelaksanaan dan ngakuan Putusan Arbikrase Luar IVegeri. Sebagai peIaksanaan Pih lanjut tentang pelaksanaan putusan arbitrase ini telah ttur lebih lanjut oleh PERMA No. 1 tahun 1990 tanggal <br /> Maret 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan bitrase, seperti telah disebutkan di atas. <br /> 65 <br /> 63 <br /></span></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-22092991906815746582010-03-15T03:08:00.000-07:002010-04-10T21:05:44.518-07:00PERADILAN SEMU SIDANG KETIGA<div style="text-align: justify;">SIDANG KETIGA<br />ACARA PEMERIKSAAN TANGGAPAN PENUNTUT UMUM TERHADAP SURAT EKSPSI DARI DAKWAAN/PENASEHAT HUKUM<br /><br />Panitera:<br />Para Hadirin dipersilahkan berdiri, karena Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang. Majelis Hakim dipersilahkan memasuki Ruang Sidang (Masuk dan duduk dikursi yang telah disediakan)<br />Panitera:<br />mempersilahkan hadirin untuk duduk kembali.”Hadirin dipersilahkan untuk duduk kembali”<br /><span class="full post"><br />1 Hakim Ketua Sidang (HKS) Pada hari ini…….tanggal.membuka sidng perkara pidana nomor………dibukadan terbuka untuk umum<br />2 HKS Saudara penuntut umum mempersilahkan terdakwa masuk ruangan (Penasehat Hukum sudah masuk lebih dahulu untuk sidang kedua dan seterusnya)<br />3 JPU Saudara terdakwa silahkan masuk ruangan (terdakwa dikawal oleh petugas)<br />4 Terdakwa Terdakwa masuk ruangan dan duduk ditempat yang tersedia<br />5 HKS Saudara Terdakwa apa sudah siap mengikuti sidang. Apakah saudara sehat-sehat hari ini ?<br />6 Terdakwa Saya sudah siap mengikuti sidang dan saya dalam kondisi sehat yang mulia/ Pak Ketua.<br />7 HKS Saudara Penuntut Umum Apakah saudara sudah siap dengan tangapan atas surat eksepsi terdakwa/PH. Dipersilahkan saudara menyampaikan surat tanggapan atas epsepsi tsb. dan membaca di muka sidang ini<br />8 JPU Penuntut Umum Menyampaikan surat tanggapan atas eksepsi terdakwa/PH kepada hakim ketua sidang, dan Hakim ketua Sidang menyampaikan masing-masing kepada kedua orang hakim anggota dan Penashat Hukum. Sesudah itu Penntut umum berdiridan membaca Surat tanggapan atas surat Eksepsi Penasehat Hukum<br />9 Sudah Habis Membaca surat tanggapan atas Eksepsi dari terdakwa/PH oleh Penuntut Umum<br />10 HKS Setelah selesai membaca tanggapan atas eksepsi dari terdakwa/ph oleh saudara Penuntut Umum, maka ditentukan sidang pada minggu depan acara surat jawaban dari Penasehat Hukum. Dengan demikin sidang ditutup dengan ketokan palu dua kali<br />11 JPU Mohon kesempatan untuk terdakwa pada kesempatan sidang yang akan datang menyampaikan surat jawaban<br />12 PH Saya bersedia menyampaikan surat jawaban pada sidag yang akan datang<br />13 HKS Jadi acara sidang pada sidang yang akan datang, pembacaan surat jawaban.Saudara Penuntut Umum supaya menghadirkan terdakwa, Saudara Penasehat Hukum supaya hadir, dan pernyataan ini sebagai udangan bagi saudara-saudara. Dengan demikian sidang hari ini ditutup dan Hakim Ketua Sidang mengetok dua kali palunya.<br />14 Panietra Para Hadirin dipersilahkan berdiri, karena Majelis Hakim akan meningalkan ruang sidang. Majelis Hakim dipersilahkan meninggalkan Ruang Sidang</div></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-17168193977685010522010-03-14T19:22:00.000-07:002010-04-10T21:06:22.021-07:00PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA<a href="http://setanon.blogspot.com/2010/03/pertimbangan-hakim-dalam-menjatuhkan.html">setanon: PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA</a><br /><br /><span class=”fullpost”><br /><br /><br /></span><br /><br />http://setanon.blogspot.com/2010/03/perlindungan-khusus-terhadap-anak_11.htmlsetanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-35744874594539355632010-03-13T08:45:00.000-08:002010-04-11T00:07:22.245-07:00peradilan semu sidang ke II<span class=”fullpost”><br /><br /><br /></span><br /><br /><br />SIDANG KEDUA<br />ACARA PEMERIKSAAN DAN PEMBACAAN SURAT EKSPSI <br />DARI DAKWAAN/PENASEHAT HUKUM<br /><br /><br />Eksepsi adalah<br /><br /> Suatu pernyataan dari pihak terdakwa/Penasehat Hukum dengan maksud bahwa Hakim/Majelis Hakim tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pidana hal ini disebabkan:<br />- Tempat kejadian perkara di luar PN yang men\gadili perkara pidana ini.<br />- Perkara pidana ini sudah pernah diperiksa dan dilaksanakan eksekusinya ne bis in idem.<br />- Perkara pidana yang diperiksa ini bahan perkara pidana ada tetapi perkara perdata.<br /> Berkaitan dengan Hakim/ JPU menyangkut kedudukan dapat diajukan teguran sebagai berikut:<br />- Hakiim Ketua Sidang/Hakim Anggauta ada hubungan darah dengan terdakwa wajib mengundurkan diri untuk menangani perkara ini.<br /><br /><br /><br />Sesudah para penyaksi, penonton persidangan, sudah duduk di ruangan sidang, Hakim majelis baru memasuki ruangan sidang, menurut tata tertib, maka para hadirin (yg berada di dalam ruangan sidang) harus berdiri untuk menghormati hakim majelis yang memasuki ruangan, dan juga pada saat hakim majelis meninggalkan ruangan sidang.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Panitera: <br /> Para Hadirin dipersilahkan berdiri, karena Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang. Majelis Hakim dipersilahkan memasuki Ruang Sidang (Masuk dan duduk dikursi yang telah disediakan)<br />Panitera: <br />mempersilahkan hadirin untuk duduk kembali.”Hadirin dipersilahkan untuk duduk kembali”<br /><br />1 Hakim Ketua Sidang (HKS) Pada hari ini…….tanggal.membuka sidng perkara pidana nomor………dibukadan terbuka untuk umum<br />2 HKS Saudara penuntut umum mempersilahkan terdakwa masuk ruangan (Penasehat Hukum sudah masuk lebih dahulu untuk sidang kedua dan seterusnya)<br />3 JPU Saudara terdakwa silahkan masuk ruangan (terdakwa dikawal oleh petugas)<br />4 Terdakwa Terdakwa masuk ruangan dan duduk ditempat yang tersedia<br />5 HKS Saudara erdakwa sudah siap mengikuti sidang. Apakah saudara sehat-sehat hari ini ?<br />6 Terdakwa Saya sudah siap mengikuti sidang dan saya daam kondisi sehat yang mulia/ Pak Ketua.<br />7 HKS Saudara Penasehat Hukum Apakah saudara sudah siap dengan surat eksepsi. Dipersilahkan saudara menyampaikan surat epsepsi dan membaca di muka sidang ini<br />8 PH Penasehat Hukum Menyampaikan surat eksepsi kpada hakim ketua sidang, dan Hakim ketua Sidang menyampaikan masing-masing kepada kedua orang hakim anggota dan Penuntut Umum. Sesudah itu Pnasehat Hukum berdiridan membaca Surat Eksepsi Penasehat Hukum<br />9 Pasca Membaca Eksepsi oleh Penasehat Hukum<br />10 HKS Saudara Penuntut Umum ada yang perlu ditanya<br />11 JPU Mohon kesempatan untuk terdakwa pada kesempatan sidang yang akan datang menyampaikan surat jawaban<br />12 PH Saya bersedia menyampaikan surat jawaban pada sidag yang akan datang<br />13 HKS Jadi acara sidang pada sidang yang akan datang, pembacaan surat jawaban.<br />Saudara Penuntut Umum supaya menghadirkan terdakwa, Saudara Penasehat Hukum supaya hadir, dan pernyataan ini sebagai udangan bagi saudara-saudara. Dengan demikian sidang hari ini ditutup dan Hakim Ketua Sidang mengetok dua kali palunya.<br />14 Panietra Para Hadirin dipersilahkan berdiri, karena Majelis Hakim akan meningalkan ruang sidang. Majelis Hakim dipersilahkan meninggalkan Ruang Sidangsetanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-68950328351353042172010-03-13T07:27:00.000-08:002010-04-10T21:08:02.149-07:00Peradilan Semu Sidang I<div style="text-align: justify;">SIDANG PERTAMA<br />ACARA PEMERIKSAAN TERDAKWA<br />DAN PEMBACAAN SURAT DAKWAAN<br /><br />Panitera:<br /> Para Hadirin dipersilahkan berdiri, karena Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang.<br /> Majelis Hakim dipersilahkan memasuki Ruang Sidang (Masuk dan duduk dikursi yang telah disediakan)<br />Panitera: <br /> mempersilahkan hadirin untuk duduk kembali.<br /> ”Hadirin dipersilahkan untuk duduk kembali”<br /><br /><span class="fullpost"><br />Situasi sidang : Hakim Ketua sidang dan Hakim Anggota sudah duduk ditempat masing-masing. Panitera Pengganti dan Penuntut Umum sudah duduk pada tempatnya masing-masing.<br /><br />Para pengunjung-penyaksi Sudah duduk ditempat yang tersedia<br /><br />1. Hakim Ketua sidang membuka sidang :<br /><br />Pada hari ini............. tanggal....... ......,perkara pidana no.......... . tahun ........... dibuka dan terbuka untuk umum, dan mengetok palu tiga kali, tanda sidang sudah dimulai.<br />2. Hakim Ketua Sidang <br />Saudara Penuntut Umum dipersilakan menghadirkan terdakwa. Penuntut Umum<br />3. Penuntut Umum<br /> Saudara terdakwa dan Penasehat Hukum silakan masuk ruang sidang.<br />4. Terdakwa/Penasehat Hukum <br />Terdakwa/Penasehat hukum masuk ruang Hukum dan duduk ditempat yang tersedia.<br />5. Hakim Ketua Sidang <br /> Saudara terdakwa sudah tahu apa sebab dipanggil kemari ? Apa sebab saudara memertukan Penasehat Hukum ?<br />6. Terdakwa<br />Saya tahu apa sebab dipanggil kemari. Saya memerlukan Penasehat Hukum dan ini Bapak Penasehat Hukum.<br />7. Hakim Ketua Sidang<br />Apakah saudara terdakwa sekarang dalam keadaan sehat-sehat.<br />8. Terdakwa<br />: Saya sekarang berada dalam keadaan sehat¬sehat yang mulia<br />9. Hakim Ketua Sidang<br />: Saudara Penasehat Hukum, apakah saudara mempunyai identitas sebagai pengacara/ advokat ? dan dalam menangani kasus ini Apakah saudara sudah ada surat kuasa khusus dari terdakwa?<br />10. Penasehat Hukum<br />Pengacara/advokat menyerahkan tanda pengacara/advokat. Surat kuasa khusus sudah diserahkan dan ada dalam berkas perkara.<br />11. Hakim Anggota (kiri & Hakim Anggota (sebelah kanan)<br />dan Penuntut Umum Memperhatikan dialog ini dan mana yang perlu mereka dapat bertanya.<br />12. Hakim Anggota (kiri & Kanan)<br /> Dapat menegur terdakwa jika ia memberikan jawaban berbelit-belit<br /><br />13. Hakim Ketua Sidang<br />Menanyakan identitas terdakwa. Benarkah nama saudara seperti ini (Hakim Kehia sidang membaca identitas terdakwa dengan singkat) apakah benar ini. Saudara terdakwa<br />14. Terdakwa :<br /> Benar yang muliah /Pak ketua<br />15. Hakim Ketua Sidang;<br />Silahakan saudara hakim anggota (yg duduk disebelah kanannya ) bertanya<br />16. Hakim Anggota (sebelah kanan)<br />Apakah saudara terdakwa benar melakukan perbuatan melawan hukum ? Apakah saudara melakukan ……………………………………………… ?<br />17. Hakim Ketua Sidang;<br />Silahakan saudara hakim anggota (yg duduk disebelah kirinya ) bertanya<br />18. Hakim anggota (sebelah kiri)<br />Apakah saudara terdakwa benar melakukan perbuatan ………… ? Apakah saudara melakukan ……………………………………………?<br />19. Terdakwa<br />(Bisa dijawab benar atau tidak benar sambil memberikan uraian permasalahan secara singkat oleh terdakwa<br />Saya tidak mengerti pertanyaan pertama & Pertanyaan kedua, memang saya : melakukan …………………………………………………………?<br /><br />(Tanya jawab ini bias panjang, bias menjadi ringkas, tergantung dari apakah terdakwa merasa melakukan perbuatan tersebut atau tidak, disinilah mencari kebenaran materiil terhadap fakta-fakta yang ada)<br /><br />20. Hakim ketua Sidang<br />: Saya Persilakan saudara Penuntut Umum untuk bertanya kepada saudara terdakwa.<br />21. Penuntut Umum<br />Terima kasih yang mulia/ Pak Ketua, atas kesempatan yang diberikan kepada kami.<br />Bertanya kepada saudara terdakwa, umumnya berkaitan dengan hasil pemeriksaan di BAP. Untuk mempertegas dan memberi keyakinan kepada Majelis Hakim bahwa saudara terdakwa benar melakukan apa yang didakwakannya.<br />22. Terdakwa<br />Memberikan jawaban atas pertanyaan penuntut umum<br />23. Hakim Ketua Sidang<br />Saya persilahkan kepada saudara penasehat hukum untuk bertanya<br />24. Penasehat Hukum<br /> Apakah saudara terdakwa sudah menjawab dengan benar dan tepat ?<br /><br />25. Terdakwa<br /> Saya sudah menjawab benar dan tepat<br />26. Hakim ketua Sidang<br />Sekarang diberi kesempatan waktu kepasa saudara penuntut umum untuk membaca surat dakwaan<br />27. Penuntut Umum<br />Penuntut Umum mulai membaca Surat Dakwaanya seraya berdiri dari tempat duduknya<br />28. Hakim Ketua Sidang<br />Sesudah surat dakwaan dibaca oleh penuntut umum, maka hakim ketua sidang bertanya :<br />Apakah saudara terdakwa mengerti akan sis surat dakaan tersebut ?<br />29. Terdakwa<br />Saya mengerti isi surat dakwaan yang dibacakan oleh Bapak penuntut<br />Umum<br />30. Hakim ketua Sidang<br />Sekarang sidang ditutup, maka sidang berikutnya kewajiban saudara terdakwa, apakah saudara terdakwa/Penasehat Hukum bersedia menyampaikan EKSEPSINYA<br />31. Terdakwa/Penasehat Hukum<br /> Minggu Depan kami akan menyampaikan eksepsi dimuka sidang<br /><br />32. Hakim Ketua Sidang.<br />Minggu Depan acara sidang, penasehat hokum akan membaca surat eksepsinya, maka dengan upaya saudara penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa, Saudara penasehat Hukum Supaya dating tepat waktu dan ini sebagai undangan . Hakim Ketua Sidang menutup sidang dengan mengetok palu dua kali.<br /><br />Panitera:<br /> Para Hadirin dipersilahkan berdiri, karena Majelis Hakim akan meningalkan ruang sidang.<br /> Majelis Hakim dipersilahkan meninggalkan Ruang Sidang<br /><br /></div><br /></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-60635387821727266082010-03-11T20:47:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.496-07:00PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK<div style="text-align: justify;">**0 Bambang Sukamto, SH.MH.<br />*) Indra Saputra, SH<br /><br />PENDAHULUAN<br /><br />A. Latar Belakang Masalah<br />Manusia merupakan makhluk yang diciptakan penuh dengan keindahan. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan penuh kesempurnaan dibanding makhlukNya yang lain. Kesempurnaan tersebut telah menjadi hal yang umum di kehidupan sosial manusia dalam menjalankan aktifitasnya. Kesempurnaan manusia menjadi lebih baik manakala manusia tersebut hidup dengan membina rumah tangga dan disertai dengan adanya anak-anak yang menghiasi sebuah keluarga.<br />Anak merupakan kebahagiaan tersendiri dalam kehidupan manusia yang sempurna. <br /><span class="fullpost"> Anak merupakan penyejuk jiwa dan pelipur lara dikala orang tua jenuh. Adakalanya anak menjadi idaman dalam setiap keluarga yang dinanti-nanti kehadirannya. Oleh karena itu Islam sangat menghormati kedudukan anak, bahkan dikatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan itu dalam keadaan suci.<br />Setiap kali memperingati Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli, setiap bayangan akan tertuju pada keceriaan anak Indonesia yang tengah bebas bermain di alam terbuka, atau mendapat hiburan di obyek wisata yang indah. Pada tanggal tersebut, seakan-akan anak-anak Indonesia telah menemukan dunia yang ceria.<br />Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa yang memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Agar kelak mereka dapat memikul tanggung jawab, maka mereka berhak mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Mereka juga berhak mendapatkan hak-haknya, serta dilindungi dan disejahterakan. Karenanya segala bentuk kekerasan pada anak harus dicegah dan diatasi.<br />Jika kita mendengar dan memperhatikan secara seksama, sebenarnya kekerasan terhadap anak sangatlah mengerikan. Mungkin karena itu, kita lebih sering menutup mata. Namun sejauh kita menghindar, sedekat itu pula kenyataan yang terus terjadi pada anak-anak di Indonesia. <br />Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks (beraneka ragam). Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitanya malah diwarnai oleh data kelam dan menyedihkan, yaitu anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.<br />Kekerasan terhadap anak banyak terjadi dalam bentuk kekerasan fisik dan seksual. Padahal kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak. Karenanya, perlakuan yang salah terhadap anak (child abuse) bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse); dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural. <br />Kekerasan struktural merupakan kekerasan sistematik dan tidak tampak, namun secara destruktif melahirkan kemiskinan, kematian, dan penderitaan luar biasa, luas, dan berjangka panjang terhadap anak. Kekerasan struktural, yang sering disebut sebagai system abuse, dapat berupa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), control represif, praktik ekonomi monopolistik dan eksploitatif yang merugikan negara, dan pada gilirannya akan menciptakan kondisi sosial ekonomi yang melahirkan dan menyuburkan akar kemiskinan dan kekerasan sosial terhadap anak. Salah satu contoh potret kekerasan struktural adalah perdagangan anak (child trafficking).<br />Kekerasan terhadap anak bisa terjadi dimana saja dan dalam situasi maupun kondisi yang tidak terduga sebelumnya. Orang terdekat seperti orang tua ataupun saudara bisa menjadi pelaku utama dalam tindak kekerasan terhadap anak. Kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental, umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap anak. Lemahnya penegakan hukum dan praktik budaya, bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan terhadap anak. Misalnya saja hukuman badan (corporal punishment) pada masyarakat tertentu adalah bentuk kekerasan terhadap anak seringkali lepas dari jeratan hukum dan secara budaya diterima sebagai hal yang wajar dilakukan terhadap anak. Anak yang pernah menerima kekerasan, kemungkinan akan melakukan hal yang sama kepada anaknya kelak. Begitupun yang sering melakukan perlakuan salah atau kekerasan terhadap anaknya, cenderung melakukan hal serupa pula pada istrinya. <br />Sebagai generasi penerus bangsa, anak selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhannya secara memadai. Sebaliknya, mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari siapapun atau pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindak kekerasan dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh, dan dididik dengan sebaik-baiknya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara wajar. Hal ini tentu perlu dilakukan, supaya di kemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang (the lost generation).<br />Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut Pasal 5 undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu:<br />1. Kekerasan fisik (physical abuse)<br />Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. kekerasan fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya. Contohnya dapat berupa pemukulan, penyiksaan, dan penganiayaan dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu.<br />2. Kekerasan psikis (psychological abuse)<br />Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh kekerasan psikis yaitu penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor.<br />3. Kekerasan seksual (sexual abuse)<br />Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak dengan orang yang dewasa (pemaksaan, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan seksual juga merupakan setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.<br />4. Penelantaran Rumah Tangga<br />Penelantaran rumah tangga dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak merupakan sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat. Contohnya, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik, tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis, dan status sosialnya. <br />Kebijakan dan program perlindungan anak yang bisa berdimensi global, nasional maupun lokal, dapat berperan sebagai piranti kelembagaan dalam melindungi anak dari tindakan kekerasan. Kebijakan adalah desain besar (grand design) yang ditujukan untuk merespon isu atau masalah tertentu secara sistematis, melembaga, dan berkelanjutan. Kebijakan berfungsi sebagai pedoman yang akan diimplementasikan oleh program aksi. Program aksi merupakan beragam tindakan (course of action) yang lebih aplikatif, berjangka waktu dan berwilayah geografis jelas.<br />Indonesia telah mempunyai perangkat hukum untuk melindungi anak. Namun demikian, perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan politik dan legislasi (kewajiban negara). Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga merupakan bagian dari tanggung jawab orang tua dan kepedulian masyarakat. Tanpa partisipasi dari masyarakat, pendekatan legal formal saja ternyata tidak cukup efektif melindungi anak.<br />Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perlindungan Khusus Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />B. Identifikasi Masalah<br />1. Pembatasan Masalah<br />Mengingat permasalahan yang timbul dari kekerasan terhadap anak cukup banyak, maka peneliti membatasi permasalahan dalam tulisan ini hanya menyangkut pada kekerasan terhadap anak.<br /> 2. Rumusan Masalah<br />a. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak di dalam keluarga ?<br />b. Bagaimanakah perlindungan terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002?<br />c. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak dalam keluarga?<br /><br />C. Tujuan Penelitian<br />1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak dalam keluarga.<br />2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap anak korban kekerasan dalam keluarga menurut Undang-Undang N0. 23 Tahun 2002.<br />3. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak dalam keluarga.<br /><br />D. Kegunaan Penelitian<br />1. Dapat memperluas wawasan pengetahuan peneliti dalam ilmu hukum, khususnya hukum mengenai perlindungan anak.<br />2. Untuk memperluas informasi mengenai perlindungan anak yang dijamin oleh UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.<br />3. Merupakan suatu nilai tambah dalam bidang ilmu pengetahuan yang berguna di lingkungan Universitas khususnya dan di Masyarakat pada umumnya. <br /><br />E. Kerangka Pemikiran<br />1. Kerangka Teoritis<br />a. Pengertian Perlindungan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :<br />Adalah tempat berlindung atau hal (perbuatan) memperlindungi<br />b. Pengertian Anak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :<br />Adalah manusia yang masih kecil atau yang lebih kecil daripada yang lain<br />c. Pengertian Hukum Menurut Emmanuel Kant Kant :<br />Hukum adalah keseluruhan kondisi-kondisi di masa terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum tentang kemerdekaan<br /><br />d. Pengertian Hukum Menurut Oxford English Dictionary :<br />Hukum adalah kumpulan aturan, perundang-undangan atau hukum kebiasan di mana suatu Negara atau masyarakat mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya<br />e. Pengertian Korban Menurut Arif Gosita :<br />Korban adalah menjadi korban, menderita kerugian (mental, fisik, sosial), oleh sebab tindakan yang aktif atau pasif orang lain atau kelompok (swasta atau Pemerintah), baik secara langsung maupun tidak langsung<br />f. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Richard. J. Gelles :<br />Kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak<br />g. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Barker :<br />Kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak<br />h. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) :<br />Kekerasan terhadap anak adalah perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya jauh lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnnya berada di bawah tanggung jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan bahkan cacat.<br />2. Kerangka Konseptual<br />a. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 :<br />Pasal 27 Ayat (2) : Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.<br />Pasal 28 (b) Ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.<br /><br /><br />b. Menurut Pasal 4 Undang –Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak :<br />“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.<br />c. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia :<br />Pasal 52 :<br />(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.<br />(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungannya.<br />Pasal 58<br />(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.<br />d. Menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga :<br /> “Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :<br /> a). kekerasan fisik;<br /> b). kekerasan psikis;<br /> c). kekerasan seksual; atau<br /> d). penelantaran rumah tangga.<br /><br />F. Metodologi Penelitian<br />Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif , artinya penelitian ini merujuk pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan hakim, serta doktrin-doktrin yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.<br />Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif analitis untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai fakta dan permasalahan yang berhubungan dengan objek penelitian.<br />Sedangkan tekhnik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan topik yang dibahas, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, jurnal, koran, majalah, dan internet serta melalui studi lapangan.<br /><br /><br />G. Lokasi dan Lama Penelitian<br />Untuk mendapatkan bahan-bahan dan data-data dalam penelitian agar menjadi lengkap, maka data-data dikumpulkan dari perpustakaan, lembaga-lembaga yang terkait dengan objek penelitian yang berlokasi di Jakarta. Waktu yang di perlukan untuk penelitian serta penyusunan penelitian ini memerlukan waktu selama + 6 bulan.<br /><br /><br /><br /><br />HASIL PENELITIAN<br /><br />A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga<br />Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Menurut Suharto bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti :<br />1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa.<br />2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.<br />3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.<br />4. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (Unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.<br />5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.<br />6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.<br />7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatkan faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme control sosial yang stabil.<br /><br />Adapun penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, yaitu:<br />1. Pola asuh orang tua yang salah<br />Ardanti Ratna Widyastuti pada Psikolog perkembangan mengatakan :<br />“banyak orang tua yang berlaku kasar memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak-anak mereka. Sesungguhnya yang benar adalah bahwa pada saat itu anak sedang diberikan pelajaran kekerasan oleh orangtuanya. Karena esensinya, anak-anak adalah peniru ulung, anak-anak akan berperilaku sama jika mereka menghadapi situasi serupa. Fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata rantai yang tidak terputus, dimana setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi “budaya kekerasan”. Jadi, bila pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan kekerasan, boleh jadi 20-30 tahun kedepan masyarakat kita akan lebih buruk lagi dari apa yang kita saksikan saat ini.”<br />Agresi psikologis itu, katanya, bisa membuat anak menjadi lebih sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk, karena berbagai faktor. Bisa jadi anak jadi kurang percaya diri, atau sebaliknya, menjadi pemberontak. Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah jika mereka melakukan hal yang sama terhadap anak mereka kelak, rantai kekerasan itu akan terus berlanjut.<br />Child abuse jika dilakukan terus menerus akan menyebabkan anak menderita gangguan psikologis. Semua tindakan kekerasan terhadap anak akan direkam dalam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya.<br />Anak bukan milik orang tua seutuhnya, anak hanyalah titipan Sang Pencipta. Maka hargailah anak dengan keterbatasannya sebagai individu yang utuh, bukan dianggap sebagai orang dewasa yang kecil.<br />2. Tekanan ekonomi<br />Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari tahun ke tahun, melonjaknya Tarif Dasar Listrik (TDL), harga barang-barang keburutuhan yang tak terjangkau, biaya pendidikan mahal, akses pelayanan kesehatan yang minim, merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat menengah kebawah. Hingga akhirnya, ketidakberdayaan mereka dalam mengatasi kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat itu, menyebabkan mereka mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan dan kekecewaannya kepada orang terdekatnya yaitu anak. Bahkan yang lebih parah, jika kemiskinan ekonomi disertai dengan kemiskinan akidah, hal-hal keji yang lain dapat dengan mudah mereka lakukan. Misalnya dengan membunuh sang anak dengan tujuan menjual organ tubuhnya, menjualnya untuk dijadikan pekerja seks dan lain-lain.<br />3. Belum efektifnya perlindungan hukum bagi anak<br />Meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak sudah berlaku selama enam tahun, tetapi kekerasan terhadap anak tidak menyusut atau bahkan semakin terus terjadi (merajalela) terutama kekerasan seksual yang terus menghiasi media massa. Entah karena ketidaktahuan atau karena keengganan mereka, penegak hukum masih saja belum mau menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak dan lebih memilih Kitab Undang-undang Hukum Pidana.<br />Sementara itu, Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu faktor orang tua/keluarga, faktor lingkungan sosial/komunitas, dan faktor anak sendiri.<br />1. Faktor orang tua/keluarga<br />Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak di antaranya :<br />a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak :<br />1) Kepatuhan anak kepada orang tua.<br />2) Hubungan asimetris.<br />b. Dibesarkan dengan penganiayaan.<br />c. Gangguan mental.<br />d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun.<br />e. Pecandu minuman keras dan obat.<br /><br /><br />2. Faktor lingkungan sosial/komunitas<br />Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran pada anak di antaranya :<br />a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis.<br />b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah.<br />c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.<br />d. Status wanita yang dipandang rendah.<br />e. Sistem keluarga patriarkal.<br />f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.<br />3. Faktor anak itu sendiri<br />a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya.<br />b. Perilaku menyimpang pada anak.<br />Sedangkan Richard J. Gelles mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor : personal, sosial dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori utama, yaitu: <br />1. Pewarisan kekerasan antar generasi.<br />Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan pada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orang tua. Tetapi, sebagian besar anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya.<br />2. Stres sosial<br />Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup : pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than-average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan (proverty). Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya memiliki waktu yang lebih mudah untuk menyembunyikan tindakan kekerasan karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial dibandingkan dengan keluarga miskin. Selain itu, pekerja sosial, dokter, dan sebagainya yang melaporkan tindakan kekerasan secara subyektif lebih sering memberikan label kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan kekerasan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya.<br />Penggunaan alkohol dan narkoba di antara orang tua yang melakukan tindakan kekerasan mungkin memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti : kelemahan mental, atau kecacatan perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orang tua dan meningkatkan resiko tindakan kekerasan.<br />3. Isolasi sosial dan keterlibatan masyarakat bawah<br />Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat. Kekurangan keterlibatan sosial ini menghilangkan sistem dukungan dari orang tua yang bertindak keras, yang akan membantu mereka mengatasi stres keluarga atau sosial dengan lebih baik. Lagi pula, kurangnya kontak dengan masyarakat menjadikan para orang tua ini kurang memungkinkan mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar-standar masyarakat.<br />4. Struktur keluarga<br />Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Karena keluarga dengan orang tua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan tindakan kekerasan terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang tanpa masalah.<br />Terjadinya kekerasan terhadap anak tentu saja menimbulkan efek dimasa yang akan datang bagi anak-anak yang mengalaminya. Rusmil mengemukakan bahwa anak-anak yang menderita kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan penelantaran menghadapi risiko sebagai berikut:<br />1. Usia yang lebih pendek.<br />2. Kesehatan fisik dan mental yang buruk.<br />3. Masalah pendidikan (termasuk dropt-out dari sekolah).<br />4. Kemampuan yang terbatas sebagai orang tua kelak.<br />5. Menjadi gelandangan.<br />Sementara itu, menurut Suharto dari Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyimpulkan bahwa kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di kemudian hari, antara lain :<br />1. Cacat tubuh permanen.<br />2. Kegagalan belajar.<br />3. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian.<br />4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain.<br />5. Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain.<br />6. Agresif dan kadang-kadang melakukan tindakan kriminal.<br />7. Menjadi penganiaya ketika dewasa.<br />8. Menggunakan obat-obatan atau alkohol.<br />9. Kematian.<br /> Sedangkan Richard J. Gelles menjelaskan bahwa konsekuensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat yang luas (far-reaching). Luka-luka fisik, seperti : memar-memar (bruises), goresan-goresan (scrapes), dan luka bakar (burns) hingga kerusakan otak (brain damage), cacat permanen (permanent disabilities), dan kematian (death). Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup, seperti : rasa harga diri rendah (a lowered sense of self-worth), ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya (an inability to relate to peers), masa perhatian tereduksi (reduced attention span), dan gangguan belajar (learning disorders). Dalam beberapa kasus, kekerasan dapat mengakibatkan gangguan-gangguan kejiwaan (psychiatric disorders), seperti : depresi (depression), kecemasan berlebihan (excessive anxiety), atau gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder), dan juga bertambahnya risiko bunuh diri (suicide).<br /> Efek tindakan kekerasan pada anak, menurut penjelasan Moore dan Fentini Nugroho yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik sangat besar. Hal ini terungkapnya bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah memenuhi keinginan orang tuanya (parental extension), mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri (chronically low self-esteem); ada pula yang sulit menjalani relasi dengan individu lain; dan yang tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya (self-hate) karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya, dan rasa benci terhadap dirinya sendiri ini menimbulkan tindakan untuk menyakiti diri sendiri seperti bunuh diri dan sebagainya.<br /> Selain akibat psikologis tersebut, Moore juga menemukan adanya kekerasan fisik, seperti perkembangan tubuh yang kurang normal, juga rusaknya sistem syaraf, dan sebagainya.<br /> Dari uraian tersebut terlihat bahwa dampak dari tindakan kekerasan terhadap anak begitu mengenaskan. Mungkin belum banyak orang menyadari bahwa pemukulan yang bersifat fisik dapat menyebabkan kerusakan emosional anak.<br /> Berkaitan dengan hal tersebut, Hofeller dan La Rossa dalam Fentini Nugroho menjelaskan tentang efek kekerasan terhadap psikologis anak. Diungkapkan bahwa anak-anak yang masih kecil sering susah tidur dan bangun di tengah malam menjerit ketakutan. Mereka juga ada yang menderita psikosomatik, misalnya asma. Beberapa anak ada pula yang demikian sedih, sehingga sering muntah setelah makan dan berat badannya turun drastis. Ketika mereka semakin besar, anak laki-laki cenderung menjadi sangat agresif dan bermusuhan dengan orang lain; sementara anak perempuan sering mengalami kemunduran dan menarik diri ke dalam dunia fantasinya sendiri.<br /> Namun, dampak yang paling menyedihkan adalah bahwa anak perempuan kemudian merasa semua anak pria itu menyakiti (dan menyebabkan beberapa di antaranya menjadi pria), sedangkan anak laki-laki kemudian percaya bahwa laki-laki mempunyai hak untuk memukul istrinya.<br /> Anak-anak memang selalu peka. Sering orang tua tidak menyadari bahwa apa yang terjadi di antara mereka begitu mempengaruhi anak. Sering dikatakan, anak merupakan cermin dari apa yang terjadi dalam suatu rumah tangga. Jika suasana keluarga sehat dan bahagia, maka wajah anak begitu ceria dan berseri. Sebaliknya jika mereka murung dan sedih, biasanya telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan orang tuanya. Sebagai wadah penyuluhan yang baik, di mana anak belajar untuk pertama kalinya mengenal nilai-nilai dan cara bertingkah laku, perilaku orang tua sering mempengaruhi perilaku anak-anaknya kelak. Jika kekerasan begitu dominan, tidaklah mengherankan jika anak-anak kemudian melakukannya dan bahkan terbawa sampai ia dewasa. Karena kekerasan begitu sering terjadi dalam keluarganya, maka ia menganggap hal itu sebagai hal yang “normal” dan sudah seharusnya.<br /><br />B. Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.<br />Masalah perlindungan anak adalah sesuatu yang kompleks dan menimbulkan berbagai macam permasalahan lebih lanjut, yang tidak selalu dapat diatasi secara perseorangan, tetapi harus secara bersama-sama, dan penyelesaiannya menjadi tanggung bersama.<br /><br />Menurut Arif Gosita yang dimaksud perlindungan anak adalah :<br />“Perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi”<br />Lebih lanjut menurut Arif Gosita apabila kita ingin mengetahui ada terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena mana yang relevan, yang mempunyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.<br />Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya dari orang-orang yang seharusnya menjadi contoh atau bahkan panutan dalam kehidupan sehari-harinya.<br />Dalam pasal 13 dijelaskan bahwa menjadi hak bagi setiap anak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan yang diskriminasi, eksploitasi (ekonomi maupun seksual), penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. Perlindungan yang diberikan pada anak pada dasarnya bertujuan menjamin hak-hak anak dalam rumah tangga.<br />Pasal 20 menyatakan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.<br />Perlindungan anak merupakan kewajiban universal. Artinya menjadi kewajiban bagi setiap orang dalam mengupayakan perlindungan anak sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan anak adalah usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapaun perlindungan anak merupakan wujud adanya keadilan dalam suatu masyarakat.<br />Adapun bentuk perlindungan yang dilakukan oleh Negara dan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak dengan memberikan dukungan sarana dan prasarana. Lain halnya dengan tanggung jawab dan kewajiban masyarakat yang diberikan dalam mengupayakan perlindungan terhadap anak yaitu dengan peran serta dalam penyelenggaraan perlindungan anak.<br />Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah bersifat umum. Artinya bahwa kewajiban yang dipikul oleh pemerintah hanya terbatas pada penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab pemerintah diperluas kembali melalui Pasal 59 yang memuat secara rinci mengenai perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Perlindungan khusus yang dimaksud adalah :<br />1. Anak dalam situasi darurat;<br />2. Anak yang berhadapan dengan hukum;<br />3. Anak dari kelompok minoritas an terisolasi;<br />4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;<br />5. Anak yang diperdagangkan;<br />6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza);<br />7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan;<br />8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental;<br />9. Anak yang menyandang cacat; dan<br />10. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.<br />Di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 juga sudah dibentuk suatu komisi dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak beserta tugas-tugasnya atau sesuai dalam Pasal 74 yang berbunyi : “Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat Independen”. Artinya bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang terlepas dari intervensi maupun tekanan luar dalam menjalankan tugasnya, sehingga tanggung jawab yang diberikan hanya kepada Presiden sebagai lembaga yang mengesahkan keberadaanya.<br />Adapun tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia menurut pasal 76:<br />a. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.<br />b. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.<br /> Dalam UU No. 23 Tahun 2002 juga terdapat sanksi-sanksi atau ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan terhadap anak sebagaimana tercantum dalam pasal 77 : yaitu, diskriminasi dan penelantaran. Tindakan tersebut merupakan bagian dari kejahatan terhadap anak yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Diskriminasi dan penelantaran menyebabkan hak-hak anak baik berupa materiil maupun moril terganggu, sehingga perkembangannya pun juga ikut terhambat. Hak materiil disini adalah dapat berupa hak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti ; kesehatan, pendidikan, bermain, dll. Sedangkan hak moril adalah yang berhubungan dengan mental dan kejiwaan anak. Kerugian yang dialami anak sudah sepatutnya dilindungi dan dijaga. Oleh karena itu kewajiban yang paling besar ada pada pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan.<br />Sedangkan bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 78.<br />Anak dalam situasi darurat yang tercantum dalam pasal 60 terdiri atas : anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata.<br />Dalam pasal 79 tentang pengangkatan anak, setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).<br />Pengangkatan anak sebagaimana tercantum dalam pasal 39 adalah hanya dapat dilakukan atau harus semata-mata demi kepentingan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya serta pengangkatan anak oleh warga negara asing adalah sebagai upaya terakhir.<br />Pasal 80 mengatur mengenai bentuk kekejaman, kekerasan atau mengancam dengan kekerasan terhadap anak diancam pidana penjara dan pidana denda. Penjara terdiri dari 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan hingga 10 (sepuluh) tahun jika mengakibatkan kematian pada anak. Sedangkan denda Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) hingga Rp 200.000.000.- (dua retus juta rupiah). Pidana bertambah sepertiga jika yang melakukan kekerasan tersebut adalah orangtua kandungnya. Pasal di atas menyiratkan bahwa kekerasan dapat pula dilakukan oleh orang-orang terdekat, bahkan pelakunya adalah orang tua kandungnya sendiri. Apabila orang tua kandung telah salah dalam menerapkan nilai-nilai kehidupan terhadap anak, maka sudah sepatutnya hukuman yang dijatuhkan ditambah. Hal tersebut dikarenakan orang tua kandung merupakan tumpuan terakhir kehidupan anak.<br />Dalam hal anak yang mengalami kekerasan seksual maupun ancaman kekerasan seksual serta memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).<br />Hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain sebagaimana tercantum dalam pasal 81.<br />Pasal 82 juga diatur ketentuan yang sama seperti halnya pasal 81 namun kejahatan yang dilakukan berbeda. Di dalam pasal 82 kejahatan yang diatur adalah kajahatan atau perbuatan cabul.<br />Ketentuan pidana di atas merupakan lex specialis dari Pasal 290 ke-3 KUHP yang mengatur kejahatan kesusilaan yang menyatakan bahwa perbuatan jahat yang diawali dengan bujukan pada korban yang belum berumur 15 (lima belas) tahun diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Kejahatan tersebut dapat berupa paksaan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan baik dengannya atau dengan orang lain. Cara yang dilakukan yaitu baik di awali dengan kebohongan atau bujukan untuk melakukan perbuatan tersebut.<br />Kejahatan dalam bentuk perdagangan anak atau biasa dikenal dengan sebutan trafficking. Trafficking merupakan eksploitasi anak untuk dijadikan komoditi dalam lalu lintas perdagangan. Sehingga kebebasan anak terbelenggu, hak dan kewajibannya dirampas untuk tidak dapat menikmati kebebasannya. Trafficking merupakan perbuatan jahat yang sangat keji yang dapat merusak harapan dan masa depan anak. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 83.<br />Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Trafficking, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dapat lebih spesifik, fokus dan dalam menjatuhkan sebuah sanksi atau hukuman bisa sesuai dengan perbuatan yang dilakukan karena undang-undang ini memang khusus mengatur masalah Trafficking.<br />Perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia sehingga harus diberantas. Perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.<br />Dalam hal setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jarimgan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).<br />Sedangkan bagi setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana penjara 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Dan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 84 dan pasal 85.<br />Dalam pasal 84 dan pasal 85 haruslah ada pihak-pihak yang melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain, pengambilan organ dan jaringan tubuh anak, jual beli organ, dan penelitian kesehatan yang menggunakan anak tanpa memperhatikan kesehatan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Pihak-pihak yang dimaksud adalah Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua itu sendiri, sebagaimana tercantum dalam pasal 47.<br />Dalam hal berkeyakinan atau memeluk agama, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tesebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 86.<br />Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Setiap anak juga mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Yang menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya adalah Negara, pemerintah, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial. Perlindungan anak tersebut meliputi pembinaan, pembimbingan dan pengamalan ajaran agama bagi anak. Hal ini tercantum dalam pasal 42 dan pasal 43.<br />Pasal 87 menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).<br />Untuk kepentingan militer setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa sebagaimana diatur dalam pasal 63. Sedangkan perlindungan yang tercantum dalam pasal 15 meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis. Langsung dan tidak langsung yang dimaksud adalah yang melibatkan anak ke dalam suatu masalah atau persoalan yang seharusnya belum dilakukan oleh anak.<br />Dalam pasal 88 menyatakan setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).<br />Perlakuan eksploitasi misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.<br />Dalam Pasal 89 tentang narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya, setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).<br />Sedangkan bagi setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,produksi atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 89.<br />Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan Undang-Undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat.<br />Namun dalam Undang-undang narkotika dan Undang-undang Psikotropika tersebut tidak tercantum atau mengatur adanya ketentuan tentang anak yang terlibat masalah narkotika dan psikotropika atau hanya mengatur secara umum. Untuk itu Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sangat dibutuhkan atau diperlukan dalam menentukan hukuman pidana bagi setiap orang yang melibatkan anak dalam masalah narkotika dan zat adiktif lainnya atau sebagaimana telah diatur dalam pasal 89 Undang-Undang No.23 Tahun 2002.<br />Sebenarnya narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya sangat bermanfaat dan diperlukan untuk ilmu pengetahuan, pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya anak-anak atau generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.<br />Untuk itu Negara, pemerintah, keluarga dan para orang tua harus lebih baik dalam rangka peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan membarantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya demi melindungi anak-anak atau generasi muda di masa mendatang.<br />Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.<br />Dan pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 90 Undang-undang No.23 Tahun 2002.<br />Sanksi pidana merupakan kewajiban dan kewenangan Negara dalam mengatur tata kehidupan masyarakat yang adil, merata dan seimbang. Menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Peornomo bahwa tujuan pidana adalah :<br />“ Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nesatapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh Negara atau lembaga Negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukanlah suatu tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pmbinaan (treatment).” Perlu diketahui bahwa Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi dengan bentuk pidana dan denda merupakan bentuk postif yaitu dengan penetapan premi (ganjaran) kepada pelaku kejahatan.<br />Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terdiri dari 13 Pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan delik terhadap anak. Ancaman pidana yang diatur oleh Undang-undang No 23 Tahun 2002 terdiri dari pidana penjara dan pidana denda. Ancaman pidana penjara dan pidana denda pada Undang-undang No 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa delik yang ada merupakan delik kejahatan yang diatur pada Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pada ketentuan pidana Undang-undang No 23 tahun 2002 mengatur pidana penjara paling rendah 3 (tiga) tahun (Pasal 80 ayat 1) dan paling tinggi 20 adalah pidana mati atau penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 89). Ketentuan Pidana Undang-undang No 23 Tahun 2002 mengatur bahwa minimum umum selama 3 (tiga) tahun dan maksimum umum dengan pidana mati penjara seumur hidup atau selama 20 (dua puluh) tahun. Menurut Pasal 12 KUHP ayat (1) menjelaskan bahwa hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau sementara. Sedang ayat (2) menjelaskan bahwa penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut. Ketentuan pidana denda yang diatur undang-undang No 23 Tahun 2002 yaitu :<br />Pasal 80 ayat (1) :<br />Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah).<br />Pasal 89 ayat (1) :<br />Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).<br />Pasal di atas menjelaskan bahwa pidana denda paling sedikit/rendah yaitu Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah) dan paling tinggi adalah Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pasal 80 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) jika dikaitkan dengan aturan mengenai pidana denda KUHP yaitu pada Pasal 30 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa bahyaknya denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.<br />Menurut Soesilo pengertian denda adalah :<br />“Denda adalah hukuman yang dikenakan kepada kekayaan.”<br />Pengertian sekurang-kurangnya dua puluh lima sen pada Pasal 30 ayat (1) KUHP menerangkan bahwa minimum umum pidana denda adalah dua puluh lima sen. Pasal 30 ayat (1) tidak menjelaskan batas akhir/limit dari pidana denda. Jika dikaitkan dengan Pasal 89 ayat (1) undang-undang 23 Tahun 2002 yang menyebutkan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) adalah sah saja, bahkan apabila Undang-undang menentukan melebihi dari ketentuan pasal 89 ayat (1) boleh saja. Hal ini dikarenakan tidak adanya batas/limit dari pidana denda.<br /><br /><br />C. Pandangan Hukum Islam Mengenai Kekerasan Terhadap Anak Dalam Keluarga.<br />Islam telah memberikan teladan yang sangat mengagumkan dalam mendidik anak melalui Rasul yang mulia, Muhammad SAW. Beliau mengutamakan kelemah lembutan.<br />Dalam sebuah hadis diriwayatkan:<br />“Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Sa’idah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul”. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, “Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air.”<br />Dalam riwayat lain dikemukakan:<br />Suatu hari Rasul sedang memimpin shalat berjamaah dengan para Sahabatnya, Salah satu sujud dalam shalat yang dia lakukan cukup lama waktunya sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah shalat berjamaah selesai, salah seorang Sahabat bertanya, “Mengapa begitu lama Rasul bersujud?” Jawab Rasul, “Di atas punggungku sedang bermain cucuku Hasan dan Husain. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun dari punggungku, baru aku cukupkan sujudku.”<br />Dari hadis di atas memberi pelajaran bagi orangtua agar dalam melakukan pendidikan mengedepankan sikap lemah-lembut serta penuh cinta, kasih dan sayang. Perlakuan keras kepada anak akan membawa pengaruh buruk yang luar biasa pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut antara lain anak akan “pandai” berperilaku kasar kepada yang lain, pemarah, tumpul hati nuraninya (menghambat perkembangan moral anak, merusak kesehatan jiwa anak), anak dapat terlibat perbuatan kriminal, anak gemar melalukan teror dan ancaman (anak akan mencari target untuk melampiaskan rasa dendamnya), anak menjadi pembohong, anak jadi rendah diri, menimbulkan kelainan perilaku seksual, mengganggu pertumbuhan otak anak, terhambat prestasinya di sekolah, sering ngompol, takut, tidak mau makan dan lain-lain.<br />Dengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mazni ra. yang berkata, “Aku pernah diutus ibuku dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, ‘Wahai Penipu’.”<br />Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik. Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya dapat bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.<br />Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses. Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang harmonis dengan anak.<br />Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suri teladan.<br />Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda:<br /><br />Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).<br />Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman.<br />Kebolehan memukul bukan berarti menjadi keharusan atau kewajiban untuk memukul. Maksudnya adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya).<br />Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).<br />Menelantarkan dan mensia-siakan anak sangat dilarang agama, Allah swt berfirman dalam Surah Al-An’am ayat 140).<br /><br />Artinya : Sesungguhnya Rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka, Karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mereka mengharamkan apa yang Allah Telah rezki-kan pada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka Telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.<br />Anak merupakan amanah Allah untuk diasuh, dididik dan dibimbing menjadi anak yang saleh dan salehah. Rasulullah SAW. adalah orang yang sangat perhatian pada anak-anak dan cucu-cucunya dengan memberikan curahan kasih sayang kepada mereka. Pernah suatu saat beliau mencium cucunya, Hasan bin Ali RA. Waktu itu ada Arab Baduwi bernama al-Aqra’ bin Habis at-Tamimi. Dia menegur, “Sesungguhnya saya mempunyai sepuluh orang anak, tetapi sama sekali tidak seorang pun di antara mereka yang pernah saya cium”. Rasulullah memandang orang itu dengan pandangan tidak setuju, lalu beliau berkata: “Aku tidak dapat menjamin kamu bila Allah mencabut rasa belas-kasihan dari hati kamu. Hai Habis, siapa yang tidak mempunyai rasa belas kasihan, dia tidak akan mendapat rahmat. <br />Oleh karena itu, ada beberapa kewajiban kita terhadap anak. Pertama, memberikan kasih sayang dan perlindungan. Kasih sayang bukan berarti memberikan kecukupan materi tetapi lebih penting dari itu adalah mendengarkan suara dan tuntutan mereka serta mendampinginya dalam proses tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa.<br />Kedua, memberikan keteladanan dan pendidikan yang baik. Sebagian orang meyakini bahwa pendidikan untuk anak hendaknya dimulai sejak berada di dalam kandungan. Seorang ibu yang hamil dianjurkan untuk banyak membaca ayat-ayat al-Qur’an. Maksudnya adalah orang tua harus senantiasa memberikan keteladanan tentang perilaku yang baik dan pesan-pesan moral. Jadi cara menyampaikan pesan kebaikan kepada anak adalah bukan sekadar dengan menyuruh, tapi lebih baik dengan contoh perbuatan.<br />Dalam hadits disebutkan, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Rafi’: “Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya ialah mengajarkannya menulis, berenang dan memanah, dan janganlah anak itu diberi selain rizki yang halal.” Dalam riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas: “Dekatlah kamu pada anak-anak dan perbaikilah budi pekerti mereka.”<br />Sepintas lalu, fokus hadits tersebut adalah hanya orang tua kandung. Padahal lebih luas dari itu. Orang tua di sini adalah seluruh komponen masyarakat. Khususnya pemerintah atau negara, adalah orang tua yang harus memberikan keteladanan yang baik, memberikan perlindungan, dan menjamin bagi pola kehidupan anak yang nyaman, membahagiakan dan mencerdaskan. Ini berarti, negara bertanggung jawab penuh menjamin hak-hak dasar anak, seperti tempat tinggal yang baik, akses pendidikan dan kesehatan murah, serta perlindungan hukum.<br />Setiap tindakan dan kebijakan yang menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan anak merupakan pelanggaran terhadap ajaran agama. Salah satu dari al-dharuriyyat al-khams (lima hak dasar manusia) adalah hifdz an-nasl (perlindungan generasi). Di sini, seluruh komponen masyarakat berhak menuntut negara agar memberikan kebijakan yang memberikan kenyamanan bagi tumbuhnya generasi yang bahagia, cerdas, sehat, dan mumpuni. Yaitu menuntut jaminan perlindungan hukum, pendidikan yang murah, sarana kesehatan yang berpihak pada rakyat banyak, dan lingkungan sosial yang kondusif.<br /><br />BAB V<br />PENUTUP<br /><br />A. Kesimpulan<br />1. Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan beberapa faktor yang melatar belakanginya, umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat. Terjadinya kekerasan terhadap anak tentu saja menimbulkan efek bagi anak-anak yang mengalaminya atau kekerasan dapat menyebabkan anak kehilangan hal-hal yang paling mendasar dalam kehidupannya dan pada gilirannya berdampak sangat serius pada kehidupan anak di masa yang akan datang.<br />2. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mampu memberikan perlindungan kepada anak-anak yang mengalami kekerasan atau perlakuan yang tidak sewajarnya dari orang-orang yang seharusnya menjadi contoh atau bahkan panutan dalam kehidupan sehari-harinya. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Bagi setiap orang yang melanggar peraturan harus dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan perbuatannya karena semua kepentingan haruslah semata-mata demi kebaikan anak.<br />3. Pandangan Hukum Islam mengenai kekerasan terhadap anak adalah tergantung dari kekerasan yang terjadi. Karena Islam juga “membolehkan” melakukan tindakan fisik tapi dengan tujuan disiplin bukan kekerasan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan karena anak merupakan amanah Allah untuk diasuh, dididik dan dibimbing menjadi anak yang saleh dan salehah. Menelantarkan dan mensia-siakan anak juga sangat dilarang oleh agama Islam.<br /><br />B. Saran<br />Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka dan bisa sangat mengkhawatirkan kehidupannya di masa mendatang. Untuk itu kita harus lebih mengoptimalkan Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang yang terkait lainnya, dimana dalam pelaksanaannya harus lebih ditingkatkan dan terus diawasi agar tercapai atau sesuai dengan yang diharapkan bangsa Indonesia. Hukum Islam juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan atau dalam menindaklanjuti masalah kekerasan terhadap anak. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam tapi bukan berarti semua tindakan bisa dilakukan mengatasnamakan agama Islam karena Negara kita bukan Negara Islam tetapi Negara hukum yang mempunyai peraturan-peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.<br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Literatur<br />An Nawawi. Irsyadul Aulad. Kairo : Dar el Fikr<br />Abdul hadi asy-Syal, al-Islam wa bina’ al-Mujtama’ al-fadhil.<br />Abu Dawud. Sunan Abu Dawud. Jakarta : An Najm. 2000<br />Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, Bandung : Nuansa, 2006<br />Ibnu Majah, Ahmad dan al-Bukhari. Al-Adab al-Mufrad<br />Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum. Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis. Jakarta : Chandra Pratama. 1996<br />Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo. 1989<br />Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana. Dasar Aturan Umum. Jakarta : Ghalia. 1988<br />Bambang Poernomo. Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi Jakarta : Ghalia. 1990<br />Direktorat Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan Kekerasan Terhadap Anak (KTA) di Rumah Sakit, Jakarta : 2005<br />Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Kerja sama APTIK dengan PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.<br />Hadikusuma, Hilman. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum Bandung : Mandar Maju, 1995.<br />Hofeller dan La Rossa . Kekerasan Terhadap Anak dalam Kehidupan Sosial. Jakarta : Rieka Cipta. 1990<br />Irwanto, Fentini Nugroho dan Johanna Debora Imelda, Perdagangan Anak di Indonesia : Internasional Labour Organisation (ILO), Jakarta : 2001<br />Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. 1999<br />Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia. 2000<br />Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali Press, 1986.<br />Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1988.<br />Suharto. Pembangunan, Kebijakasanaan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung : Lembaga Pembangunan Sekolah. 1997<br />R. Soesilo. Komentar KUHP. Jakarta : Politea. 1978<br />Ronny, Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983<br />Rusmil. Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Anak. Makalah disampaikan pada seminar sehari penanggulangan korban kekerasan pada wanita dan anak. Januari 2006<br />Perundang-undangan<br />Undang – undang Dasar 1945 amandemen 4<br />Kitab Undang-undang Hukum Pidan (KUHP)<br />Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)<br />Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan<br />Undang-undang N0.5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika<br />Undang-undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika<br />Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia<br />Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,<br />Undang-undang No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga<br />Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang<br />Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam<br />Suharto, Edi. Kebijakan dan Program Perlindungan Anak Berbasis Komunitas Lokal, makalah yang disampaikan pada “Sosialisasi UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam konteks Pembangunan Pro-Anak”, Tegal : 2004<br />Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. 1990<br />Situs<br />M. Khoidin, Hukum Perlindungan Anak Era Industri 2, http://www.bisnis.com. 2007<br />Taofik Andi Rachman, Stop Kekerasan Terhadap Anak, http://www.GEMA.com. 2007<br />Forum Kebebasan Anak. www.tabalong.go.id. 2006<br />Anak Indonesia. www.wordpress.com. 2005<br />Pendidikan Anak Usia Dini. http://heilraff.blogspot.com. 2004<br />Kepribadian Anak. http://www.kuis-bola.blogspot.com. 2005<br />Anak dan Sosial. http://www.dwp.or.id. 2007<br />M Lutfi. My Blog_ Stop, Kekerasan Pada Anak.html. 2006<br />YKAI. Fenomena Kekerasan Pada Anak.html 2007<br />Richard J Gelles. Child Abuse. Encyclopedia Article Encarta. http://Encarta.msn.com/encyclopedia. Juli 2004</div></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-46163120493597613392010-03-11T20:22:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.521-07:00PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA<div style="text-align: justify;">Peneliti:<br />**) Bambang Sukamto, SH.MH<br />*) Ikbal Maherdika, SH.<br /><br />BAB I<br /><br />A.. Latar Belakang<br />Kejahatan seksual (sexual crime) terhadap anak-anak di bawah umur terjadi di banyak negara. Menurut peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menurut Rohman, kejahatan seksual terhadap anak-anak terjadi di negara-negara di Asia Tenggara, seperti Filipina, Thailand, Sri Lanka, Malaysia, dan di Indonesia.<span class="fullpost"><br />Dari beberapa kasus yang terungkap di Indonesia, diketahui aktivitas penyimpangan seksual ini terkait dengan kondisi ekonomi korban. Anak-anak praremaja yang berpotensi sebagai korban pada awalnya mendapat perlakuan ekonomis yang memuaskan dari pelaku yang umumnya adalah pria dewasa. Penyimpangan seksual dengan korban anak-anak seperti ini biasa disebut pedofilia.<br />Pelaku pedofilia umumnya tidak merasa cemas atau depresi, meski dalam banyak kasus ada juga yang kemudian merasa bersalah atau malu karena seringnya melakukan kegiatan seksual tidak normal. Pelaku rata-rata tidak merasa sakit atau menyadari kelainan seksual yang diderita, meskipun secara sosial aktivitas tersebut sering menimbulkan konflik di masyarakat.<br />Perilaku seks menyimpang dengan sesama jenis sebenarnya sudah terjadi pada zaman Nabi Luth ketika ia menetap di salah satu dusun di Palestina, namanya Saduum. Nabi Luth tinggal di dusun itu setelah berpisah dengan pamannya, Nabi Ibrahim. Nama Saduum sangat terkenal sebagai pusat kejahatan, pada masa itu. Setiap warga dusun berlomba dalam dunia kejahatan. Tindakan kriminalitas seperti perampokan, pembunuhan, perkosaan, menjadi kebiasaan mereka. Dan, yang paling menonjol adalah perilaku kaum pria melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis karena mereka menilai betapa buruknya perempuan.<br />Dalam kehidupan sehari-hari, pria Saddum tidak tertarik kepada perempuan sebagai lawan jenisnya. Mereka membiasakan diri melakukan hubungan seksual dengan sesama pria dalam menyalurkan nafsu birahinya dan melepas syahwatnya. Hubungan seks sesama pria itulah salah satu tindak kejahatan yang membuat Saduum terkenal dan menjadi catatan dalam kehidupan manusia sampai sekarang yang disebut homoseksual.<br />Homoseksual adalah ketertarikan melakukan hubungan seks dengan sesama jenis (pria dengan pria), sedangkan sesama wanita disebut lesbian. Ekspresi para pelaku homoseksual tidak selalu aktif bertindak sebagai pria dalam hubungan seksnya tetapi kadang-kadang bertindak sebagai pria kadang-kadang pula bertindak sebagai wanita.<br />Dalam kegiatan seks para homoseksual memperoleh kepuasan seksual dengan cara melakukan hubungan melalui anus (dubur). Kegiatan seks seperti ini dikenal dengan sebutan sodomi atau sexual analism. Penggunaan kata sodomi mengacu pada nama Kampung Saduum (Sodom dalam Bahasa Ibrani) yang tenar di masa Nabi Luth.<br /> Kecenderungan sehari-hari di Indonesia sekarang ini, penggunaan kata homoseksual lebih ditujukan kepada kegiatan seksual sejenis antarpria berusia dewasa. Sedangkan pria dewasa yang melakukan penyimpangan seksual dengan objek anak-anak dikenal dengan sebutan pedofilia. Dalam tatanan hukum di Indonesia penyimpangan seksual terhadap anak-anak termasuk dalam tindak pidana kejahatan seksual dan melanggar hukum. Aktivitas seksual pada dua kelompok tersebut (homoseksual dan pedofilia) kerap dibarengi terjadinya sodomi (hubungan seksual melalui anus/dubur).<br /> Pelaku pedofilia (pedofil) jelas amoral dan merusak kehidupan masa depan anak-anak yang menjadi korbannya. Kejahatan seksual ini selain melanggar norma dan agama juga merupakan tindakan atau perbuatan yang melanggar undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia sehingga bisa dipidanakan ke pengadilan. Dalam perundang-undangan dan ketentuan hukum di Indonesia dijelaskan bahwa kehidupan anak-anak di bawah usia 18 tahun menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat. Pemerintah menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan anak-anak.<br />Beberapa ahli forensik, psikolog, maupun psikiater, menyimpulkan bahwa pelaku pedofilia menderita gangguan kejiwaan. Pedofil mengalami kegagalan hubungan seksual dengan pasangan yang sebaya sehingga melakukan hubungan seksual dengan anak-anak untuk menunjukkan keperkasaannya sebagai seorang pria. Pedofil mengalami frustrasi untuk berhubungan secara memadai dengan pasangannya sebagai partner orang dewasa sehingga mengalihkan kegiatan seksualnya kepada anak-anak sebagai penggantinya. Pedofil memperdaya anak-anak yang tidak berani melawan keinginannya baik dengan cara membujuk ataupun memaksa. Pedofil melakukan hubungan seksual berulang kali. <br /> Perbuatan pelaku pedofilia mengakibatkan korban harus menanggung berbagai penderitaan baik secara fisik maupun psikis. Korban memiliki masa depan yang suram, mengalami kerusakan anggota tubuh, menanggung malu dalam hidup bermasyarakat atau dengan lingkungan, tercekam rasa ketakutan sehingga trauma akan seks sepanjang masa.<br />Kasus pedofilia masih menjadi fenomena yang perlu dicermati. Beberapa kasus pedofilia terjadi di Indonesia dan korbannya anak-anak berusia antara tujuh tahun sampai dengan 18 tahun. Kasus pedofilia mencuat di Indonesia khususnya Jakarta, ketika beberapa anak berjenis kelamin pria ditemukan tewas mengenaskan mulai 28 April 1994 hingga 26 Juli 1996.<br /> Semuanya korban pedofilia itu anak jalanan. Mereka tidak hanya menjadi korban sodomi, tetapi pada beberapa tubuhnya terdapat luka bekas bacokan senjata tajam dan luka memar. Mereka ditemukan menjadi mayat di semak-semak di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur dan eks Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Setelah beberapa korban berjatuhan, pelakunya diketahui bernama Siswanto alias Robot Gedek. Pria tunawisma resmi menjadi tersangka tanggal 27 Juli 1996.<br /> Kasus pedofilia terbaru yang menjadi sorotan publik dan menarik perhatian Peneliti adalah kasus pedofilia yang terjadi di wilayah Tebet, Jakarta Selatan. Pelakunya adalah Peter W.Smith, pria kelahiran London 13 Maret 1958, berkewarganegaraan ganda (London dan Australia), pekerjaan Guru Bahasa Inggris beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan. Korbannya berjumlah tujuh anak berusia di bawah umur berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.<br /> Catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kejahatan terhadap anak yang terjadi di Indonesia sangat tinggi. Komisi Nasional Perlindungan Anak mengategorikan tiga jenis kejahatan dalam bentuk kekerasan terhadap anak-anak yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan psikis. Dari 736 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2005, kekerasan seksual terhadap anak-anak menempati urutan pertama yakni 327 kasus atau 44,43%.<br /> Untuk membatasi maraknya kasus pedofilia di Indonesia, perlu adanya perundang-undangan atau ketentuan hukum yang memuat sanksi hukuman seberat-beratnya bagi pelaku pedofilia. Dalam hal ini aparat penegak hukum harus mampu menegakkan ketentuan secara tegas dan adil. Tegas berarti menerapkan sanksi hukum maksimal bagi pelaku sesuai perundang-undangan yang berlaku. Adil berarti tidak pandang bulu maksudnya tidak boleh memberi keistimewaan hukum dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku pedofila meski secara status sosial pelaku berasal dari golongan orang kaya atau menduduki jabatan penting. Sebab, kalau aparat penegak hukum melakukan ketidakadilan dalam penjatuhan hukuman dapat menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan semakin merebaknya kejahatan seksual terhadap anak-anak di Indonesia.<br /> Pemerintah berupaya mengatasi atau menekan terjadinya kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur dengan memberlakukan perundang-undangan dan atau berbagai kekentuan hukum yang memuat sanksi hukuman bagi pelaku. Antara lain: Undang Undang Dasar, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Keppres No.77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Undang undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.<br /> Kenyataan yang ada sekarang ini, meskipun pemerintah telah memberlakukan berbagai ketentuan hukum dengan sanksi hukuman fisik dan denda, masih belum menimbulkan efek jera pada masyarakat. Hal ini dikarenakan aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa dalam menjerat pelaku kejahatan seksual masih bervariasi menggunakan perundang-undangan yang ada. Begitu pula dengan hakim dalam menjatuhkan hukuman atau vonis. Walaupun aparat penegak hukum dalam menjerat ataupun menjatuhkan hukuman kepada pelaku pedofilia berdasarkan Undang Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tetapi sampai saat ini belum ada satu hakim pun di Indonesia yang memvonis terdakwa dengan hukuman maksimal sesuai undang-undang tersebut yakni hukuman penjara 15 (limabelas tahun) dan denda Rp 300 juta subsidair 6 (enam) bulan kurungan. <br /> Penjatuhan sanksi hukum oleh hakim (tunggal) atau majelis hakim terhadap pelaku pedofilia di Indonesia masih menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Hal ini sangat terkait dengan kondisi kehidupan korban akibat perbuatan pelaku pedofilia, baik secara fisik maupun psikis (mental). Berbagai persoalan itulah yang melatar belakangi Peneliti menyusun Penelitian ini dengan judul PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA. <br /><br />B. Identifikasi Masalah<br />1. Pembatasan Masalah<br />Berdasarkan latar belakang masalah dan alasan pemilihan judul di atas, Peneliti membatasi permasalahan hanya pada ketentuan hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku pedofilia.<br />2. Perumusan Masalah<br />Peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut:<br />a. Bagaimana proses penyidikan dan upaya paksa terhadap pelaku pedofilia? <br />b. Bagaimana penuntutan terhadap pelaku pedofilia?<br />c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pedofilia?<br />d. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pelaku pedofilia?<br />C. Tujuan Penelitian<br />Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai berikut:<br />1. Untuk mengetahui proses penyidikan dan upaya paksa terhadap pelaku pedofilia.<br />2. Untuk mengetahui penuntutan terhadap pelaku pedofilia.<br />3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pedofilia.<br />4. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap pelaku pedofilia.<br /><br /><br />D. Kegunaan Penelitian<br />Kegunaan Penelitian ini adalah sebagai berikut:<br />1. Diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai proses penyidikan dan upaya paksa terhadap pelaku pedofilia.<br /> 2 Diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai penuntutan terhadap pelaku pedofilia.<br />3. Diharapkan dapat memberikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku pedofilia.<br />4. Diharapkan dapat memberikan pemahaman pandangan hukum Islam terhadap pelaku pedofilia.<br /><br />E. Kerangka pemikiran<br /> 1. Kerangka Teoritis<br />Peneliti mengemukakan teori atau pendapat pakar yang berhubungan dengan masalah Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Terhadap Pelaku Pedofilia.<br /> a. Seksual<br />Berdasarkan Kamus Hukum, sex dalam bahasa Inggris diartikan dengan jenis kelamin. Jenis kelamin di sini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa'abah mengingatkan, "Membahas masalah seksualitas manusia tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksual telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu: a). seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang<br />sehat dan baik, dan b). seksualitas imoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat".<br /> Secara umum seksualitas manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: biologis (kenikmatan fisik dan keturunan), sosial (hubungan-hubungan seksual, berbagai aturan sosial dan berbagai bentuk sosial melalui mana seks biologis diwujudkan), dan subjektif (kesadaran individual dan bersama sebagai objek dari hasrat seksual. Pendapat itu mempertegas pengertian seksualitas dengan suatu bentuk hubungan biologis yang terikat pada aturan-aturan yang berlaku di tengah masyarakat.<br /> Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Dengan adanya kekerasan seksual maka ada penderitaan pada korbannya yang membutuhkan perhatian serius.<br /> Menurut Boyke Dian Nugraha, DSOG MARS, definisi seks bisa dilihat dari beberapa dimensi.<br /> - Dimensi Biologis, berkaitan dengan alat reproduksi. Di dalamnya termasuk pengetahuan mengenai hormon-hormon, menstruasi, masa subur, gairah seks, bagaimana menjaga kesehatan dan gangguan seperti PMS (penyakit menular seksual), dan bagaimana menfungsikannya secara optimal secara biologis.<br /> - Dimensi Faal, mencakup pengetahuan mengenai proses pembuahan, bagaimana ovum bertemu dengan sperma dan membentuk zigot dan seterusnya.<br /> - Dimensi Psikologis, seksualitas berkaitan dengan bagaimana kita menjalankan fungsi kita sebagai makhluk seksual dan identitas peran jenis. Mengapa pria dipandang lebih agresif daripada wanita?<br /> - Dimensi Medis, adalah pengetahuan mengenai penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seks, terjadinnya impotensi, nyeri, keputihan dan lain sebagainya.<br /> - Dimensi Sosial, seksualitas berkaitan dengan hubungan interpersonal (hubungan antarsesama manusia). Seringkali, hambatan interaksi ditimbulkan oleh kesenjangan peran jenis antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan idola asuh yang lebih memprioritaskan posisi laki-laki. Anggapan tersebut harus diluruskan karena jenis kelamin tidak menentukan mana yang lebih baik atau berkualitas.<br /> b. Anak<br /> Menurut Arif Gosita, anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun negara dan bangsa yang merupakan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha aspirasi bangsa Indonesia yang adil dan makmur spiritual dan material. Anak adalah modal pembangunan yang akan memelihara dan mempertahankan modal pembangunan serta mengembangkan hasil pembangunan fisik mental dan sosial bangsa.<br />Seto Mulyadi menyebut anak adalah modal dasar dalam keberlanjutan suatu bangsa dan negara di masa depan.<br /> c. Pedofilia<br /> 1). Menurut Sunaryo pedofilia adalah pemuasan seksual dengan objeknya anak, baik sejenis atau lawan jenis yang belum akil baligh.<br /> 2). Menurut Mun’im Idris, Ahli Forensik:<br />Pengidap pedofilia melakukan hubungan seksual dengan anak-anak untuk menunjukkan keperkasaannya sebagai seorang pria karena mengalami kegagalan hubungan seksual dengan pasangan sebaya.<br /> 3). H. Dadang Hawari, Psikiater:<br />Pengidap pedofilia adalah penderita kelainan jiwa yang melakukan penyimpangan seksual dan memiliki kecenderungan untuk mengulangi perbuatannya.<br />4). Yupiter Sulifan, Sarjana Psikologi:<br />Korban pedofilia bisa memiliki masa depan yang suram. Secara psikis: mengalami trauma akan seks, menanggung malu sepanjang masa. Secara fisik mengalami cedera.<br /><br /> 2. Kerangka Konseptual<br />a. Undang-Undang Dasar 1945. <br /> Pasal 28 B ayat (2) menyatakan :<br />Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.<br />b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />Pasal 1 butir 1 menyatakan :<br /> Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.<br />Pasal 1 butir 2 menyatakan :<br /> Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.<br /><br />c. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.<br /> Pasal 58 ayat (1) menyatakan :<br />Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya atau pihak lainnya manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.<br /><br />d. Keputusan Presiden RI Nomor 77 tahun 2003 tentang Keputusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.<br />Pasal 1 menyatakan : <br />Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah lembaga yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak.<br /><br />F. Metodelogi Penelitian<br />Dalam buku “Pengantar Pola Pikir Ilmiah Islami” yang dimaksud metode penelitian adalah salah satu cara rancangan penelitian berdasarkan sifat masalah. Meliputi sembilan kategori, yaitu: penelitian historis, deskriftif, perkembangan, kasus dan penelitian lapangan, korelasional, kausal komperatif, ekperimental, eksperimental semu, dan penelitian tindakan.<br /> Dalam penyusunan Penelitian sebagai karya tulis ilmiah, Peneliti menggunakan penelitan deskriptif yaitu suatu penelitian mengenai status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang.<br />Metode penelitian dalam hal ini adalah tata cara menyelenggarkan penelitian dengan pengumpulan data, fakta, dan informasi yang akurat dalam penyusunan Penelitian sebagai karya ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penelitian deskriptif ini, Peneliti menggunakan dua metode: Library Research dan Field Research.<br />a. Metode Library Research atau kepustakaan yaitu Peneliti mengumpulkan data-data dari berbagai buku, makalah, dan media massa.<br />b. Metode Field Research atau penelitian lapangan yaitu Peneliti mendatangi<br />objek penelitian dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait dalam pembahasan Penelitian ini.<br />G. Lokasi dan Lama Penelitian<br />Sehubungan dengan Penelitian ini maka Peneliti melakukan penelitian kepustakaan di perpustakaan Universitas Islam Jakarta (UIJ) Jalan Balai Rakyat, Jakarta Timur, dan beberapa perpustakaan di Jakarta, selama enam bulan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br />BAB II<br />HASIL PENELITIAN<br /><br />A. Kasus Posisi, Proses Penyidikan dan Upaya Paksa<br />1. Kasus Posisi<br /> Peter W.Smith berjenis kelamin laki-laki berusia 48 tahun, kelahiran London, agama Kristen, pekerjaan guru Bahasa Inggris, pendidikan sarjana, kewarganegaraan Inggris dan Australia, alamat Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7, Jakarta Selatan.<br /> Tersangka Peter W.Smith melakukan tindak pidana perbuatan cabul terhadap tujuh anak jalanan (pengamen) berjenis kelamin laki-laki sejak tahun 2003 hingga 31 Juli 2006 pukul 16.00 di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7, Jakarta Selatan. Ketujuh korban adalah Slamet Sandikah lahir Jakarta 25 Desember 1991, Rio Ruswan Iriansah lahir Manado 09 Februari 1989, Deni Mochamad lahir Medan 1991, Wawan Rahmat Kurniawan lahir Lampung 10 Oktober 1991, Arif Budiman alias Dani lahir Surabaya 01 Februari 1993, Wasja Jaya Kirana lahir Brebes 10 Desember 1989, dan Maryanto alias Yanto lahir Semarang 15 Januari 1990.<br /> Diadukan oleh Andri Cahyadi lahir Bekasi 15 Juni 1978 sukarelawan LSM Pemberdayaan Ekonomi Terpinggirkan (PEKAT), pengurus Yayasan Jakarta Centre For Street Children (JCSC) alamat Jalan Percetakan Negara XI A No.90-B RT 004/005 Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat sebagai orangtua asuh para korban mengadukan perbuatan cabul Peter W.Smith.<br /> Tersangka Peter W.Smith melakukan perbuatan cabul terhadap diri korban dengan cara tersangka menyuruh korban untuk membuka seluruh pakaiannya kemudian tersangka sendiri juga membuka seluruh pakaiannya selanjutnya tangan kiri tersangka memegang alat kelamin korban dan tangan kanan tersangka memegang alat kelaminnya sendiri sampai terjadi ejakulasi. Menurut para korban dan diakui juga oleh tersangka bahwa dalam melakukan perbuatan cabul selain dengan cara memegang alat kelamin, tersangka juga sering menyuruh para korban untuk melakukan ‘onani’ dan kemudian tersangka merekam dengan menggunakan handycam yang selanjutnya rekaman tersebut dimodifikasi lalu hasil modifikasi tersebut disimpan dalam bentuk kaset video dan DVD. Dan, setelah melakukan perbuatan cabul terhadap para korban tersangka memberi imbalan kepada setiap korban Rp 35.000 (tigapuluh limaribu rupiah) ditambah ongkos Rp 5.000 (limaribu rupiah). Sedangkan bagi korban yang bersedia direkam gambarnya saat melakukan ‘onani’, tersangka memberi imbalan setiap orang Rp 5.000 (limaribu rupiah).<br /> Atas perbuatan tersangka Peter W.Smith tersebut Andri Cahyadi, pengurus Yayasan Jakarta Centre For Street Children (JCSC) alamat Jalan Percetakan Negara XI A No.90-B RT 004/005 Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat selaku orangtua asuh dari para korban mengadukan kejadian tersebut ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polisi Republik Indonesia Daerah Metro Jaya dan sekitarnya (Polda Metro Jaya) dengan No.Pol.: LP/2939/VIII/2006/SPK Unit I, tanggal 02 Agustus 2006. Tersangka melanggar pasal 82 UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).<br /><br />2. Proses Penyidikan dan Upaya Paksa<br /> Penyidikan menurut UU RI No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 2, penyidikan adalah serangkaian penyidik dalam hal dan menurut cara yang undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Proses penyidikan hendaknya memenuhi ketentuan aspek: tindak pidana yang telah dilakukan, tempat tindak pidana dilakukan, alat tindak pidana dilakukan, cara tindak pidana dilakukan, dengan alat apa tindak pidana dilakukan, latar belakang sampai tindak pidana dilakukan, dan siapa pelaku tindak pidananya.<br /> <br /><br /><br />Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf (a), Penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut:<br /> 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.<br /> 2. Melakukan tindak pertama pada saat di tempat kejadian.<br /> 3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.<br /> 4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.<br /> 5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.<br /> 6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.<br /> 7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.<br /> 8. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksan perkara.<br /> 9. Mengadakan penghentian penyidikan.<br /> 10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.<br /><br /> a. Penyidikan<br />Dalam kasus Peter W.Smith, tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Tugas No.Pol.:SP.Gas/2436/VIII/2006/Dit. Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, Kompol Marhani, AKP Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho, untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus perbuatan cabul yang dilaporkan Andri Cahyadi atas tersangka Peter W.Smith.<br />Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan No.Pol.: SP.Sidik/2437/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Marhani, AKP Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho, untuk melakukan penyidikan tindak pidana perbuatan cabul yang dilakukan tersangka Peter W.Smith terhadap korban Rio dkk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />Penyidikan tersebut telah sesuai dengan Undang undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 1 yaitu: penyidik adalah Pejabat Polisi negara RI atau Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan.<br /><br />Dari hasil pemanggilan saksi-saksi didapat beberapa keterangan-keterangan yaitu:<br /> 1. Andri Cahyadi, menerangkan:<br /> Mengetahui anak-anak menjadi korban perbuatan cabul terdakwa Peter Smith tanggal 2 Agustus 2006 sekitar jam 14.00 WIB saat berada di Jakarta Center For Street Children (JCSC) di Jalan Percetakan Negara XI A No. 9 B Rt.004/005 Rawasari Cempaka Putih Jakarta Pusat ketika Deni dibonceng Dani dan Pian bahwa saksi korban Dani dan Pian melarikan diri dari rumah Peter Smith.<br /> 2. Slamet Sandikah, menerangkan:<br /> Terdakwa terakhir kali menyuruh saksi melakukan onani Senin 31 Juli 2006 sekitar pukul 16.00 WIB, saat itu saksi datang bersama dengan saksi Deni dan setelah melakukan perbuatan tersebut terdakwa memberi saksi Slamet uang Rp 76.000 (tujuhpuluh enam ribu rupiah).<br /> 3. Rio Ruswan Iriansah, menerangkan:<br /> Terdakwa menutup pintu kamar ketika saksi berada di dalam kamar kemudian membuka pakaian saksi dan terdakwa membuka celana panjangnya. Terdakwa dan saksi sama-sama telanjang, terdakwa mengoleskan lotion pada alat kelamin saksi. Menyuruh saksi memegang alat kelamin terdakwa dan terdakwa memegang alat kelamin saksi sampai terdakwa mengeluarkan sperma, kemudian memberikan uang Rp 35.000 (tigapuluh limaribu rupiah).<br /> 4.Wawan Rahmat Kurniawan, menerangkan :<br /> Saksi mengenal terdakwa karena diajak temannya Dedi Apriansyah (tidak mengetahui alamatnya) ke rumah terdakwa. Terdakwa menyuruh saksi masuk kamar di lantai dua. Terdakwa menyuruh saksi memijat punggung di tempat tidur dan membuka semua pakaian saksi sampai saksi telanjang bulat dan terdakwa juga membuka bajunya sendiri. Selama lebih kurang tiga menit sampai alat kemaluan saksi mengeluarkan sperma dan bergantian jari tangannya dimasukkan ke lubang dubur saksi. Terdakwa ingin memasukkan alat kelaminnya ke dalam lubang dubur saksi namun saksi berontak. Setelah terdakwa mengeluarkan sperma memberikan uang Rp 35.000 (tigapuluh lima ribu rupiah) lalu menyuruh saksi turun. Terdakwa memanggil saksi Dedi Apriansyah naik ke lantai dua.<br /> 5. Wasja Jaya Kirana, menerangkan:<br /> Di rumah terdakwa, saksi Wasja dan Slamet disuruh mandi dan menonton VCD porno, lalu dipanggil ke kamar terdakwa. Terdakwa menyuruh saksi mengunci pintu kamar dan membuka baju sambil menawarkan uang, dan terdakwa meraba-raba tubuh saksi lalu menyuruh saksi memijat punggungnya, terdakwa memegang alat kelamin saksi dengan tangan kanan dan tangan kirinya memegang alat kelaminnya sendiri. Terdakwa mengocok alat kelaminnya dan kelamin saksi hingga terdakwa mengeluarkan sperma dan memberi uang Rp 75.000 (tujuhpuluh lima ribu rupiah) untuk saksi Wasja dan Slamet.<br /><br /><br /> 6. Maryanto alias Yanto, menerangkan:<br />Sekitar tahun 2005 saat saksi Maryanto alias Yanto diajak Slamet ke rumah terdakwa. Terdakwa menyuruh saksi Maryanto mandi, masuk kamar dan membuka bajunya. Terdakwa menyuruh saksi melakukan onani, dengan cara salah satu tangan terdakwa memegang alat kemaluan saksi, tangan yang satu terdakwa memegang alat kelaminnya sendiri (bergantian memegangnya antara tangan kanan dan tangan kiri) sampai terdakwa dan saksi mengeluarkan sperma kemudian memberi uang Rp 30.000 (tigapuluh ribu rupiah) untuk saksi Maryanto dan Slamet.<br /> Pemanggilan saksi telah sesuai dengan ketentuan Pasal 112 ayat (1) undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dimana pada Pasal tersebut menyatakan:<br />“Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.<br />Pasal 1 butir 26 Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu: saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.<br /> b. Penangkapan<br />Dalam pasal 1 butir 21 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penangkapan berarti suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. <br /> Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan No.Pol.: SP.Kap/964/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Marhani, Kompol Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho, untuk melakukan penangkapan terhadap tersangka Peter W.Smith di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan. Terdakwa ditangkap dengan alasan: Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyidikan sementara diperoleh bukti yang cukup tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana Perbuatan Cabul, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 undang undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sehingga dapat dilakukan penangkapan.<br /> Penangkapan tersebut telah sesuai dengan Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 16 ayat 1 yaitu: untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. <br /> Menurut Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ada di dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Pasal 16 ayat (2) menyatakan: “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan”.<br /> Sedangkan dalam Pasal 17 disebutkan: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tidak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, maksudnya bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana dan diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan bukti permulaan yang cukup itu harus diperoleh sebelum penyidik melakukan penangkapan atau sebelum penyidik memerintahkan kepada penyelidik untuk melakukan penangkapan. Perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang –wenang, akan tetapi hanya dapat ditujukan kepada mereka yang betul-betul telah melakukan tindak pidana.<br /> Dalam Pasal 19 ayat (1) menyebutkan: “Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.”<br /> Jadi menurut Peneliti penangkapan tersebut telah memenuhi peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 17 dan 19. <br /> c. Penahanan<br /> Pasal 1 butir 21 Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menerangkan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.<br /> Tanggal 06 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penahanan No.Pol.: Sp. Han/ 419 /VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Eni Dwi Djajanti, dan Briptu<br />Yogi Warastuti melakukan penahanan terhadap tersangka Peter W.Smith di Rutan Biro Ops Polda Metro Jaya terhitung tanggal 06 Agustus 2006 sampai dengan 25 Agustus 2006.<br /> Pasal 21 ayat (1) menyatakan:<br />“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan keadaan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”<br /><br /> Terdakwa ditahan dengan alasan:<br /> 1. Bahwa tersangka dikhwatirkan akan melarikan diri atau<br />2. Akan merusak atau menghilangkan barang bukti dan<br />3. Atau mengulangi tindak pidana.<br /> <br /> Penahanan tersangka tersebut telah sesuai dengan Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 20 sampai dengan Pasal 31, dimana Pasal 20 ayat (1) menyatakan: “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan.<br /> <br /> <br /> Sedangkan dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a, menyatakan:<br />“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:<br /><br />a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.<br />Berdasarkan hasil pemeriksaan dan penyidikan sementara diperoleh bukti yang cukup tersangka diduga keras telah melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan. <br />Dalam Pasal 22 ayat (1) disebutkan: “Jenis penahanan dapat berupa:<br /> a. Penahanan rumah tahanan negara;<br /> b. Penahanan rumah;<br /> c. Penahanan kota.<br />Pasal 24 ayat (1) menyatakan: “Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.”<br />Berdasarkan surat perpanjangan penahanan Nomor: B-4354/O.1.4/Epp.1/08/2006 dari Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, melakukan perpanjangan penahanan terhadap Mr.Peter W. Smith dikarenakan tersangka pemeriksaan terhadap tersangka belum selesai, adapun masa perpanjangan penahanan tersangka dimulai dari tanggal 26 Agustus 2006 sampai dengan tanggal 4 Oktober 2006 di Rumah Tahanan Polda Metro jaya dimana perpanjangan penahanan tersebut telah sesuai dengan Pasal 24 ayat (2), yaitu;<br />“Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari”.<br /><br />d. Penggeledahan<br />Dijelaskan dalam pasal 1 angka 17 Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penggeledahan adalah tindakan ‘penyidik’ yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang.<br /> Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Surat Perintah Penggeledahan No.Pol.: SP.Dah/555/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH, AKP Marhani, Kompol Suparti, AKP Suherman, AKP Eni Dwi Djajanti, Bripka Agus Abudhorin, Briptu Yogi Warastuti, Briptu Maulina Priyanti, Briptu Sarria Mastuti, dan Briptu Hari Nugroho.<br /> Untuk melakukan penggeledahan rumah dan atau tempat tertutup lainnya di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan dan sekitarnya yang diduga sebagai tempat kejadian perkara/tempat persembunyian tersangka/tempat disembunyikan barang-barang bukti sehubungan dengan terjadinya tindak pidana perbuatan cabul sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 UU RI No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atas nama tersangka Peter W.Smith.<br /> Penggeledahan tersebut telah sesuai dengan peraturan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 32 yang berisi:<br />“Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”<br /> <br /> e. Penyitaan<br /> Pasal 1 butir 16 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, diterangkan bahwa definisi penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.<br /> Surat Tanggal 04 Agustus 2007, Direktur Reskrim Umum Polda Metro Jaya melalui Kasat IV/Renakta selaku penyidik: Achmad Rivai.N, SH, MM (Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 60040472) mengeluarkan Perintah Penyitaan No.Pol.: SP.Sita/1556/VIII/2006/Dit Reskrimum, memerintahkan Kompol Murnila SH dan AKP Eni Dwi Djajanti.<br /> Dari kasus ini Peneliti menyimpulkan bahwa:<br /> Tanggal 09 Agustus 2007, Berdasarkan Surat Perintah Penyitaan No.Pol.: SP.Sita/1556/VIII/2006/Dit Reskrimum, tanggal 04 Agustus 2007, Kompol Murnila SH, AKP Eni Dwi Djajanti, dan Briptu Yogi Warastuti, melakukan penyitaan barang bukti berupa:<br /><br /><br />1). 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC;<br />2). 1 (satu) Hard Driver merk Apple G4;<br />3). 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive);<br />4). 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer;<br />5). 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35;<br />6). 40 (empatpuluh) kaset Handycam Pornografi;<br />7). 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD Pornografi;<br />8). 4 (empat) lembar poster<br />9). 17 (tujuhbelas) keping VCD Pornografi<br />10). 7 (tujuh) botol lotion<br />11). 7 (tujuh) album foto;<br />12). 2 (dua) lembar kliping;<br /> 13). 1 (satu) disket warna hitam merk Imotion;<br /> Dalam melakukan penyitaan tersebut telah memenuhi ketentuan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,<br />Pasal 38 ayat (2) menyatakan:<br />“Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”<br /><br /><br /> Sedangkan menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pada Pasal 38 ayat (1) menyatakan sebagai berikut: “Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.”<br /> <br /><br /><br /> Dan dalam hal tertangkap tangan dijelaskan di dalam Pasal 40 yaitu:<br />“Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.”<br /> Untuk itu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Penetapan Nomor: 2108/Pen.Per.Sit/2006/PN Jak-Sel. Dilakukan penyitaan dengan alasan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dalam peristiwa Tindak Pidana Perbuatan cabul.<br /> Hal tersebut diatas telah sesuai dengan Pasal 39 ayat(1) huruf b, yang menyatakan: “Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: b. benda telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.<br /> Dari kasus diatas Peneliti dapat menyimpulkan bahwa:<br />1. Barang Bukti, terdiri dari:<br /> 1). 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC;<br /> 2). 1 (satu) Hard Driver merk Apple G4;<br /> 3). 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive);<br /> 4). 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer;<br /> 5). 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35;<br /> 6). 40 (empatpuluh) kaset Handycam Pornografi;<br /> 7). 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD Pornografi;<br /> 8). 4 (empat) lembar poster<br /> 9). 17 (tujuhbelas) keping VCD Pornografi<br /> 10). 7 (tujuh) botol lotion<br /> 11). 7 (tujuh) album foto;<br /> 12). 2 (dua) lembar kliping;<br /> 13). 1 (satu) disket warna hitam merk Imotion;<br /> Alasan penyitaan yaitu:<br />1. Karena penyitaan benda yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana Perbuatan Cabul sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dilakukan oleh tersangka Mr. Peter (Warga Negara Asing) terhadap korban RIO dan kawan-kawan yang terjadi pada bulan Mei 2006 di dekat Taman Tebet Timur Dalam Jakarta Selatan.<br />2. Melakukan pembungkusan dan atau penyegelan dan dilabel terhadap benda atau surat atau tulisan lain yang disita.<br /><br />B. Penuntutan Terhadap Pelaku Pedofilia<br /><br />Pasal 1 butir 7 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, diterangkan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.<br />Dalam melakukan penuntutan tersebut harus memenuhi ketentuan Undang undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam Pasal 137 menyatakan: “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.<br />Dalam Pasal 140 ayat 1 Undang Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan: “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.<br />Sedangkan dalam Pasal 143 ayat 1 Undang Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebutkan: “Penuntut umum melimpahkan ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.”<br />Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dalam Surat Dakwaan NO.REG.PERKARA: PDM-2144/JKT.SLT.10/2006, Jaksa Penuntut Umum Bayu Pramesti, SH., Jaksa Pratama Nip.230025243, mendakwa Peter W.Smith telah melakukan perbarengan beberapa tindak pidana perbuatan cabul di Jalan Tebet Timur Dalam X E No.7 Jakarta Selatan. Inti dari dakwaan, jaksa mendakwa terdakwa Peter W.Smith telah melakukan kegiatan seksual dengan anak-anak berjenis kelamin laki-laki. Terdakwa telah melakukan tindak pidana pencabulan melanggar Pasal 82 UU No.23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak junto Pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).<br /> Berdasarkan uraian diatas maka bentuk surat dakwaan ialah tunggal atau biasa, Peneliti melihat bahwa terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana pencabulan terhadap anak-anak dan tersangka hanya menyuruh para korban untuk melakukan ‘onani’ dan kemudian tersangka merekam dengan menggunakan handycam yang selanjutnya rekaman tersebut dimodifikasi lalu hasil modifikasi tersebut disimpan dalam bentuk kaset video dan DVD. Dimana tindakan terdakwa tersebut hanya mendapat keyakinan bahwa terdakwa hanya melanggar Pasal 82 Undang undang No.23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab undang Hukum Pidana) <br /> Akibat perbuatannya tersebut Jaksa Penuntut Umum, menuntut terdakwa pada sidang Tuntutan Pidana tanggal 31 Januari 2007, Jaksa Penuntut Umum meminta supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menuntut terdakwa dengan tuntutan sebagai berikut:<br /> a. Menyatakan terdakwa Peter W.Smith terbukti bersalah menurut hukum dan keyakinan melakukan tindak pidana melakukan perbarengan beberapa kejahatan pencabulan terhadap anak melanggar pasal 82 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 35 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).<br /> b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Peter W. Smith dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dikurangi masa penahanan denda sebesar Rp 60.000.000 (enampuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.<br /> c. Menyatakan barang bukti berupa:<br /> 1). 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC.<br /> 2). 1 (satu) Hard Driver merk Apple G 4.<br /> 3). 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive).<br /> 4). 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer.<br /> 5). 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35.<br /> Dirampas untuk negara.<br /><br /> 6). 40 (empatpuluh) kaset handycam pornografi.<br /> 7). 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD pornografi.<br /> 8). 4 (empat) lembar poster.<br /> 9). 17 (tujuhbelas) keping VCD pornografi.<br /> 10). 7 (tujuh) botol lotion.<br /> 11). 7 (tujuh) album foto.<br /> 12). 2 (dua) lembar kliping.<br /> 13). 1 (satu) disket warna hitam merk Imation.<br /> Dirampas untuk dimusnahkan.<br /><br /><br /><br /><br /> d. Menetapkan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara Rp1.000 (seribu rupiah).<br /> Demikian dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, terhadap terdakwa Peter W.Smith yang telah terbukti melakukan suatu tindak pidana pencabulan.<br />C. Pertimbangan dan Putusan Hakim<br /> Dalam penjatuhan hukuman terhadap terdakwa pelaku pedofilia Peter W.Smith, Majelis Hakim yang terdiri dari: Ketua H.Soedarmadji, SH.M.Hum, Hakim Anggota H.Wahjono, SH.M.Hum dan Aswan Nurcahyo, SH, dengan Panitera Pengganti Dugo Prayogo, SH, menyampaikan beberapa pertimbangan terkait dengan keterangan para saksi korban, dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maupun pembelaan tersangka. Majelis Hakim juga melakukan pemeriksaan.<br />Pasal 65 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut:<br /> 1. Barang siapa;<br /> 2. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul;<br /> 3. Melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri.<br /> Majelis berkeyakinan bahwa apa yang telah terbukti di atas adalah merupakan perbuatan terdakwa yang secara sah menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya yang akan dinyatakan pada amar putusan perkara ini;<br /> Sesuai jiwa dari Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kepada terdakwa oleh karena dinyatakan terbukti bersalah maka kepada terdakwa akan dihukum pula untuk membayar denda yang jumlahnya disesuaikan dengan kadar kesalahan terdakwa yang akan ditetapkan pada putusan ini dan akan dibebani biaya pemeriksaan perkara ini;<br /> Terhadap barang bukti, majelis sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum, karenanya terhadap barang-barang bukti termaksud akan ditetapkan sebagaimana tersebut dalam putusan ini. Masa penahanan terdakwa dalam rumah tahanan sebelum putusan dijatuhkan akan dikurangkan seluruhnya masa penahanan tersebut;<br /> Pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah semata-mata dijatuhkan begitu saja sebagai tindakan balas dendam atas kesalahan terdakwa tetapi akan lebih ditekankan pada segi tujuan pemidanaan itu sendiri yaitu sebagai pembinaan dan penyadaran agar terdakwa dapat memperbaiki perilakunya dikemudian hari guna lebih berhati-hati dan menjaga sikap serta perbuatannya untuk tidak mengulangi melakukan perbuatan yang serupa apalagi dilakukan di Indonesia yang agamis;<br /> Bagi masyarakat luas, pemidanaan tersebut diharapkan dapat memberikan peringatan untuk tidak meniru dan mencontoh perbuatan terdakwa demi keselamatan sendiri dan ketentraman di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara;<br /> Agar pidana yang dijatuhkan benar-benar memberikan rasa keadilan baik bagi terdakwa dan masyarakat luas, majelis hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan yang meringankan bagi terdakwa:<br /> Hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan menimbulkan trauma bagi para korban, terdakwa pernah dihukum, dalam melakukan perbuatan pidananya terdakwa lebih mengandalkan pada kekuatan ekonomi/keuangannya;<br /> Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa sopan dan berterus terang sehingga tidak mempersulit jalannya persidangan, menyesali perbuatannya dan berusaha untuk tidak mengulangi lagi.<br />Majelis Hakim dalam persidangan tanggal 26 Februari 2007, menyatakan terdakwa Peter W.Smith secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Perbarengan beberapa kejahatan pencabulan terhadap anak. Menghukum terdakwa Peter W.Smith dengan pidana penjara selama 10 tahun dikurangi selama dalam penahanan, 3 bulan kurungan dan denda Rp 75.000.000 (tujuhpuluh lima juta rupiah) subsidair tiga bulan kurungan. Dasar putusan majelis hakim sesuai dengan surat tuntutan yang di ajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, yaitu dengan Pasal 82 Undang undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang undang Hukum Pidana. Adapun alasan yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan itu telah meresahkan masyarakat dan membuat trauma pada para korban. Terdakwa juga pernah dihukum empat tahun penjara dalam kasus pelanggaran yang sama di Australia tahun 1994.<br /> Di sebutkan bahwa Pasal 82 Undang undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yaitu setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).<br /> Menurut pasal 183 Undang Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”<br /> Berdasarkan fakta dan alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 Undang Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka unsur Pasal 184 telah terpenuhi, yaitu:<br /><br /><br /> Alat bukti yang sah ialah:<br />a. Keterangan saksi,<br />b. Keterangan ahli,<br />c. Surat,<br />d. Petunjuk,<br />e. Keterangan Terdakwa.<br /> Dari keseluruhan bukti-bukti yang ada, maka hakim memandang pemeriksaan sidang telah selesai, hal ini sesuai dengan Pasal 183 No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana,yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.<br /> Dan berdasarkan penjelasan Pasal 184 Undang undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.<br /> Ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan perkara ini, mengadili:<br /> Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 26 Februari 2007 No. 2239/Pid.B/PN.JAK.SEL. Mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa sehingga amar selengkapnya adalah sebagai berikut;<br />1. Menyatakan terdakwa Peter W.Smith telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbarengan beberapa kejahatan percabulan terhadap anak”;<br />2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp 75.000.000 (tujuhpuluh lima juta rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;<br />3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;<br />4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;<br />5. Memerintahkan barang bukti berupa:<br /> a. 1 (satu) layar monitor lengkap seperangkat komputer merk Apple IMEC;<br /> b. 1 (satu) Hard Driver merk Apple G4;<br /> c. 1 (satu) alat penyimpan data/untuk mengedit video (external drive);<br /> d. 1 (satu) alat untuk DVD merk Lacie DVD Writer;<br /> e. 1 (satu) alat perekam (handycam) merk Sony DCR-TRV 35;<br /><br /> Dirampas untuk negara<br /><br /> f. 40 (empatpuluh) kaset Handycam Pornografi;<br /> g. 1 (satu) tas DVD warna hitam berisi 26 keping DVD Pornografi;<br /> h. 4 (empat) lembar poster;<br /> i. 17 (tujuhbelas) keping VCD Pornografi;<br /> j. 7 (tujuh) botol lotion;<br /> k. 7 (tujuh) album foto;<br /> l. 2 (dua) lembar kliping;<br /> m. 1 (satu) disket warna hitam merk Imotion;<br /> Dirampas untuk dimusnahkan<br />6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara untuk kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp1.000 (seribu rupiah).<br /> Demikian akhirnya perkara itu diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dari fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan, jelaslah bahwa terdakwa Mr. Peter W.Smith telah melakukan tindak pidana pencabulan yang bukti-bukti tersebut dapat dilihat dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Untuk itu pada analisa kasus ini Peneliti akan menguraikan unsur-unsur yang didakwakan terhadap terdakwa Mr. Peter W. Smith.<br /> Unsur barang siapa dalam pengertian hukum pidana yang sering digunakan dalam praktek peradilan di Indonesia adalah siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Adapun yang dimaksud barang siapa disini adalah siapa saja sebagai subjek hukum yang terhadapnya didakwakan telah melakukan perbuatan pidana. Atau bisa juga berarti tentang subjek/pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana dengan maksud untuk meneliti dan menghindari adanya ‘error is pesona’ dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap seseorang.<br /> Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yaitu keterangan saksi, dan keterangan terdakwa Mr. Peter W. Smith inilah terdakwa ditangkap oleh Polda Metro Jaya di bulan Agustus 2007, bertempat di daerah Jalan Tebet Timur Dalam X E No. 7 Jakarta Selatan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur Barang siapa telah terbukti secara sah menurut hukum.<br /> Unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, unsur ini tertulis kata atau yang berarti dan bersifat alternatif maksudnya apabila salah satu saja perbuatan sudah terbukti maka perbuatan-perbuatan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.<br /> Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipengadilan, Peneliti melihat terdakwa melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, dan membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul. Berdasarkan data tersebut, maka terlihat ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk.<br /> Dari keseluruhan bukti-bukti yang ada, maka hakim memandang pemeriksaan sidang telah selesai, hal ini telah sesuai dengan Pasal 183 No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.<br /> <br /><br /><br />D. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pedofilia<br /> Seksual adalah potensi kelamin yang terdapat dalam diri manusia. Potensi ini merupakan salah satu dorongan naluriah seperti halnya dorongan lain yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala anugerahkan kepada manusia baik laki-laki maupun perempuan. Dorongan seks mempunyai tugas hidup tersendiri yaitu untuk kelestarian umat manusia di bumi sampai waktu yang telah ditentukan Allah SWT yang telah menciptakan dan menyempurnakan ciptaan-Nya serta menentukan kadar masing-masing yang ada pada diri manusia. Namun, tidak berarti bebas mencari kepuasan tanpa kendali.<br />Menurut Yusuf Abdul Hadi Asy-Syal, dorongan seksual dalam pandangan Islam mendapat tempat yang layak. Tidak dihina tetapi juga tidak boleh menjadi suatu penyebab keruntuhan derajat seseorang. Seksual dalam Islam merupakan sarana pelestarian umat manusia dalam tugasnya untuk melanjutkan kehidupan sehingga Islam mengatur sarana pelampiasan seksual secara sah. Islam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan akad nikah dengan istilah “mitsaaqan ghaliizhan” (perjanjian yang berat). Ini dimaksudkan supaya terasa adanya kewajiban, adanya amanat yang harus dipertanggungjawabkan antara kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), dan adanya tanggung jawab terhadap risiko-risiko hubungan pernikahan. Karena, anak-anak yang mereka lahirkan ke bumi merupakan darah daging mereka sendiri yang perlu dipersiapkan untuk masa depannya.<br />Agama Islam melarang dan mengharamkan perilaku penyimpangan seksual dalam penyaluran syahwat karena Islam telah memberi tuntutan bagi manusia melalui Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah Rosul. Seperti telah diuraikan sebelumnya, kehidupan manusia pada zaman Nabi Luth Alaihi Salam menjadi peringatan dan pelajaran bagi kehidupan kita. Kehidupan sehari-hari sebagian besar kaum Luth di dusun Saduum di Palestina berlomba dalam kejahatan. Yang paling keji setiap laki-laki menyalurkan syahwat kepada lelaki lainnya. Bukan kepada perempuan. Luth terus mengingatkan kaumnya agar menjauhi atau meningalkan perbuatan keji.<br />Seperti tercantum dalam Kitab Suci Al Qur’an Surat An-Naml ayat 54-55:<br /><br />Artinya:<br />Luth berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (seperti zina, homoseksual, dan sejenisnya) itu, sedang kamu mengetahui (kekejian)? Mengapa kamu mendatangi pria untuk memenuhi nafsu (mu) bukan mendatangi wanita? Sebenarnya kamu tergolong kaum jahil (bodoh).<br /><br />Luth merasa tidak mampu membimbing kaumnya yang sesat. Mayoritas warga Saduum tidak mematuhi nasihat ataupun peringatan Luth sehingga Luth memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka turunlah azab dan siksa yang amat pedih. Bumi berguncang hebat, gubuk, rumah, gedung, dan gunung runtuh, kemudian hujan batu. Sekejap mata datarlah kampung Saduum dan lenyaplah semua penduduk yang jahat, ingkar, dan durhaka itu termasuk istri Nabi Luth turut musnah karena termasuk golongan orang yang kafir. Sedangkan Nabi Luth dan dua putrinya serta orang-orang yang beriman dengannya, dihindarkan dari siksa yang amat hebat.<br />Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:<br /><br />Artinya:<br />“Orang-orang yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth (bersetubuh dengan yang sejenis atau homoseksual), bunuhlah yang melakukan dan dilakukan itu (dua-duanya), dan orang yang kalian dapati yang sedang melakukan perbuatan itu terhadap binatang, maka bunuhlah orang itu dan bunuh pula binatang itu.” Dari Ibnu ’Abbas R.A. diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam yang Empat, dan rawi-rawinya dapat dipercaya, tapi padanya ada perselisihan.<br /> Perilaku penyimpangan seksual sesama laki-laki (homoseksual) yang terkenal pada zaman Nabi Luth terjadi pula dalam kehidupan manusia berikutnya seperti sekarang ini.<br /> Bahkan di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, dan Israel, kehidupan manusia berperilaku homoseksual mendapat tempat dalam lingkungan kehidupan sebagai warga negara dan menjadi komunitas kaum homoseksual. Sedangkan negara-negara Islam atau negara lainnya terutama yang berpenduduk mayoritas Islam, sangat menentang adanya komunitas kaum homoseksual.<br />Menurut laporan KINSEY, 37% pria kulit putih Amerika menderita penyakit homoseksual. Kebanyakan terjadinya penyimpangan seksual di Amerika berlatar belakang faktor jasmani dan rohani. Ada yang merupakan pembawaan sejak lahir, maupun tingginya daya rangsang yang mendorong untuk melakukan hubungan seks dengan sesama. Faktor rohani yakni gangguan psikis karena kesalahan dalam hubungan keluarga, seks, pendidikan, atau karena pengalaman pahit dalam seks maupun seks yang abnormal.<br />Islam memerintahkan umat agar menghindari perbuatan penyimpangan seksual karena sebagai perbuatan sangat tercela dan keji. Dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 151:<br /><br />Artinya :<br />“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, apa yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi.”<br />Dalam buku "Tarjamah Bulughul Maram, Fiqih Berdasarkan Hadist" dijelaskan bahwa Rasululllah SAW juga bersabda:<br /><br /><br />“Jauhilah oleh kalian kekejian-kekejian yang telah dilarang Allah ini. Barang siapa berbuat dosa maka berlindunglah dengan lindungan Allah dan hendaklah ia bertobat kepada Allah ta’ala. Dan barangsiapa yang menampakkan mukanya (mengakui kesalahannya) niscaya kami jatuhkan hukuman dari kitab Allah padanya.” Dari Ibnu Umar r.a diriwayatkan oleh Hakim, dan hadist ini dalam Muwatha dari Marasil Zaid bin Aslam.<br />Di Indonesia perilaku penyimpangan seksual terutama sesama jenis lelaki atau homoseksual sebagai perbuatan terkutuk dan melanggar sehingga yang tertangkap melakukan diajukan ke pengadilan. Begitu juga dengan pedofilia perwujudan penyimpangan seksual orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur merupakan kejahatan seksual sehingga yang tertangkap melakukan pedofilia dibawa ke pengadilan dan dihukum sesuai undang-undang atau ketentuan hukum yang berlaku khususnya Undang Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Islam sangat melarang tindak kejahatan atau kekerasan terhadap anak-anak baik secara fisik maupun mental.<br />Ajaran Agama Islam sangat jelas melindungi kehidupan anak-anak dengan memasang kaidah pendidikan yang kokoh, bijaksana dan benar. Ketika Islam menegaskan bahwa anak-anak kita adalah darah daging kita sendiri yang berjalan di atas bumi, dan merupakan hakekat dari arti hidup kita yang terwujud dalam bentuk manusia, hingga kelak di mana Allah sendiri yang akan mewarisi bumi seisinya, maka Islam membangkitkan perasaan cinta yang terdapat dalam jiwa raga terhadap mereka, lalu menggariskannya sistem pendidikan anak-anak yang sangat ideal.<br />Islam sangat menyayangi anak-anak untuk kelangsungan hidup manusia di bumi ini. Islam sangat memperhatikan hak-hak anak atau generasi mendatang. Para orangtua diberikan kewajiban dan tanggung jawab untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya.<br />Dalam surat Al-Baqarah ayat 266 Allah SWT berfirman:<br /><br /><br />“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mencapai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawah sungai-sungai, dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang ia mempunyai keturunan yang lemah-lemah maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah.”<br />Dalam ayat ini Allah SWT memperingatkan kita agar tidak meninggalkan keturunan (generasi mendatang) yang lemah-lemah karena mementingkan harta benda yang mewah dan banyak. Anak merupakan cobaan dari Allah yang apabila dihadapi dengan sabar maka pahala dan ridha Allah menjadi balasannya.<br />Dalam surat An-Anfaal ayat 28 Allah SWT berfirman :<br /><br /><br />Artinya:<br />“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah percobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar” (Q.S Al-Anfaal : 28)<br />Ayat ini juga merupakan peringatan kepada manusia khususnya para orangtua untuk senantiasa peduli terhadap perkembangan dan pendidikan anak-anak mereka, karena apabila salah didik anak juga mungkin menjadi malapetaka bagi orangtuanya dan tentu saja bagi masyarakat dan bangsa. <br />Setiap anak mempunyai hak atas kehidupannya yang layak demi perkembangan dan pertumbuhannya yang baik. Anak membutuhkan kasih sayang tidak hanya dari orangtua tetapi dari siapa atau pihak manapun, sesuai tuntunan Islam dan berdasarkan peraturan kenegaraan. Demi masa depan, anak harus mendapat perhatian lebih dan perlindungan terutama dari orangtua, keluarga, pihak lain ataupun negara dari suatu tindak kejahatan termasuk pedofilia.<br />Agama Islam sangat memperhatikan semua aspek kehidupan anak khususnya terhadap aspek pedofilia. Islam sangat melindungi dan telah mengingatkan kita seperti yang tertulis dalam hadist:<br /><br /><br />“Siapa yang mencium anak-anak dengan disertai nafsu, maka dia akan dibelenggu dengan kendali dari api neraka.” <br />Kejahatan seksual terhadap anak-anak karena menurunnya kualitas keimanan seseorang (pelaku). Pelaku pedofilia dalam upaya pencapaian kepuasan dirinya dengan siasat dan cara memperdaya si korban baik melalui bujukan dan atau pemberian sesuatu dengan harapan imbal balik maupun dengan cara paksaan. Pelaku pedofilia seperti pendapat para pakar kerap mengulang perbuatannya.<br />Dari pandangan hukum Islam seperti uraian di atas sangat tegas dan jelas bahwa pedofilia atau kejahatan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, termasuk dalam perbuatan keji seperti berzina dan homoseksual. Agama Islam memerintahkan umatnya untuk menghindari atau menjauhi perbuatan keji. Bahkan Sabda Rasulullah SAW, sangat tegas, "Jika kalian mendapati orang-orang yang melakukan hubungan sesama jenis seperti kaum Luth, maka bunuhlah.”<br />Untuk menghidari perbuatan keji, sebagai orang yang beragama Islam umat Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam tentu saja harus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Islam mengharuskan kita untuk melakukan ibadah dan taqwa untuk menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan yang Allah SWT larang. Dirikanlah sholat.<br />Perintah ini tertuang dalam Kitab Suci Al Qur’an:<br /><br />Artinya :<br />Dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.<br />Asas pembinaan masyarakat Islam ialah iman kepada Allah SWT yang mewajibkan setiap umatnya untuk beriman kepada-Nya. Bagi Allah, imanlah yang menjadi asas pembinaan masyarakat. Kewajiban beriman kepada Allah bertujuan untuk menjadi pegangan dalam pembinaan masyarakat dan dipraktikkan dalam kehidupan serta dapat mengikat perasaan, pikiran, dan nurani manusia dengan Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, manusia tidak akan menyeleweng ataupun keluar dari jalan yang benar dalam perjalanan hidupnya bersama manusia lain. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br />PENUTUP<br /><br />A. Kesimpulan<br /> Setelah Peneliti membahas permasalahan sesuai dengan data dan analisa, maka Peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut:<br />1. Proses penyidikan dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dengan melakukan upaya paksa mulai dari penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan. Dalam penahanan, dilakukan perpanjangan penahanan karena pemeriksaan terhadap tersangka belum selesai yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya. Dalam pemanggilan saksi untuk diminta keterangan tanpa disertai dengan surat pemanggilan saksi sesuai dengan isi Resume Kepolisian (Polda Metro Jaya).<br />2. Penuntutan Jaksa Penuntut Umum menitik beratkan pada perbuatan cabul, dan kegiatan seksual, sebagaimana tercantum dalam Pasal 82 Undang undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat 1 (KUHP) Kitab Undang Hukum Pidana.<br />3. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana pedofilia dimana Majelis Hakim mendakwa terdakwa telah melanggar Pasal 82 Undang undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena unsur-unsur dakwaan terbukti maka hakim memutuskan untuk menghukum terdakwa karena terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan pencabulan dan diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dengan pidana denda paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).<br />4. Pedofilia dalam pandangan hukum Islam dapat dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan seksual, penyimpangan seksual terdapat didalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 151, penyimpangan seksual merupakan salah satu hal yang dilarang Islam karena merupakan induk dari segala perbuatan yang sangat tercela dan keji karena merugikan orang lain, dan membahayakan orang lain.<br /><br />B. Saran<br /> Dari kesimpulan di atas Peneliti dapat memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi berbagai kalangan, yaitu sebagai berikut:<br />1. Agar penanggulangan tindak pidana Pedofilia lebih efektif, diperlukan adanya kerjasama antara penegak hukum dengan seluruh aparat masyarakat dalam memberantasnya.<br />2. Penerapan hukum dalam setiap perkara tindak pidana Pedofilia yang dilakukan oleh terdakwa diberikan sanksi yang maksimal dengan tetap mengacu pada undang-undang yang berlaku, dengan tujuan pelaku tindak pidana Pedofilia akan menjadi jera.<br />3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang ada merupakan peraturan yang sudah cukup berat untuk pelaku Pedofilia. Karena perbuatan tersebut telah menimbulkan korban dikalangan generasi muda bangsa ini.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><br />Buku<br /><br />Arifin,Bey, Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an. Bandung: Alma’rif. 1995<br />Bawengan, G.W, Psychologi Kriminil. Jakarta: Pradnya Paramita. 1977.<br />Bawengan, G.W, Hukum Pidana di dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Pradnya Paramita. 1979.<br />Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak. Cet. I, Jakarta: Akademi Pressindo. 1985.<br />Harahap, M, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini.<br />Muhammad Irfan dan Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Azazi Perempuan). Bandung: Refika Aditama. 2001.<br />Metrokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Edisi kedua. Cet. ke 2. 1999.<br />Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya. Bandung: Alumni. 2007.<br />Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Cet. ke 1. 1997<br />Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet. ke 4. 1986.<br />Soekanto, Soedjono, Pathologi Sosial. Bandung: Alumni. 1982.<br />Sasangka, Hari, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju. Cet. ke I. 2003.<br />Sitanggal, Anshori Umar, Islam Membina Masyarakat Adil Makmur. Jakarta: Pustaka Dian dan Antar Kota, Jakarta. 1987.<br />Sukandy, Sjarief. Muh, Tarjamah Bulughul Maram, Fiqih Berdasarkan Hadist. Bandung: Alma Arif. 1981.<br />Sunaryo, Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. 2004<br />Universitas Islam Jakarta, Pengantar Pola Pikir Ilmiah Islami. Jakarta:Universitas Islam Jakarta.2002.<br /><br />Makalah<br /><br />Mulyadi, Seto, Hentikan Kekerasan Terhadap Anak Sekarang dan Selamanya, Makalah Refleksi Akhir Tahun 2005 Komisi Nasional Perlindungan Anak.<br />Soedijo, Justinus, Materi Kuliah, Hukum Pidana I. Jakarta: Universitas Mpuantular. Fakultas Hukum. 2003.<br /><br />Koran<br /><br />Bukan Hanya Hubungan Intim, Jawa Pos, 5 Agustus 2001<br /><br />Peraturan Perundang-undangan<br />Undang Undang Republik Indonesia Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.<br />Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Keputusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia nomor 77 tahun 2003.<br />Undang Undang Republik Indonesia Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.<br />Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.<br />Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang<br /><br />Internet<br /><br />Pedofil Manfaatkan Wisata Bali, <http: com="">, 8 Oktober 2006.</http:><br /><http: com="">Jaksa Tetap Tuntut Robot Gedek Hukuman Mati, <http: com="">, 7 Mei 1997.</http:></http:><br /><http: com=""><http: com="">Pembunuh Serial Sedang Berkeliaran?, <http: com="">, 28 Februari 2005.</http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com="">Tayangkan Saja Pedofil, <http: com="">, 9 November 2006.</http:></http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com="">Menjerat Pelaku Pedofilia dengan Undang Undang Perlindungan Anak, <http: com="">, 15 Mei 2005.</http:></http:></http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com="">Parafilia, Penyimpangan Perilaku Seks, <http: com="">, 15 Februari 2004.</http:></http:></http:></http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com="">Menjenguk Identitas Kaum Homoseksual, <http: com="">, 10 Maret 2007. </http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com="">Pedofilia Yang Mengancam Anak-Anak Kita..! <http: id="">, 12 Februari 2007.</http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: id="">Tayangkan Saja Pedofil, <http: com="">, 9 November 2006.</http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: id=""><http: com="">Pedofilia Belajar dari Kasus Mantan Diplomat, <http: com="">, 21 Mei 2005.</http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:><br /><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: com=""><http: id=""><http: com=""><http: com="">Pedofilia: Jaringan Kejahatan International <najlah.blogspot.com>, 10 Maret 2007.</najlah.blogspot.com></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></http:></div></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-70659965545330129862010-03-11T20:18:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.556-07:00KENDALA DAN UPAYA DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN AIR SUNGAI<div style="text-align: justify;">A. Kendala Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Hidup<br /><br />Salah satu pertimbangan diubahnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah karena kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa, sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.<span class="fullpost"><br />Selanjutnya pada tanggal 19 September 1997 secara resmi kita memiliki Undang-Undang baru di bidang pengelolaan lingkungan, yaitu Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut (UUPLH).<br />Seperti apa yang dinyatakan oleh wakil dari pemerintah pada saat itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR tertanggal 22 Agustus 1997, bahwa RUUPLH yang dihasilkan DPR telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang cukup substansial dibandingkan dengan RUU yang diajukan oleh pemerintah , dimana terlihat ada perubahan pada pasal kelembagaan, termasuk kewenangan Menteri Lingkungan.<br />Kendala yang ditemui dalam penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dapat kita bagi 2 hal, yaitu sebagai berikut :<br />1. Kendala struktural<br /> dimana dalam permasalahnya yang bersifat struktural, terdapat 2 hal utama yang mengganggu penegakan hukum, yaitu:<br />a. Masih dominannya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan pembangunan dengan lingkungan. Belum sepenuhnya tercipta clean and good govermment, yang memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif.<br />b. Harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma pembangunan berkelanjutan (sustinable development) yang tercermin dalam dokumen-dokumen internasional, kenegaraan, dan pemerintah kita seperti GBHN, Deklarasi Rio, Agenda 21 Global, dan Agenda 21 Nasional, belum dipahami benar oleh mayoritas pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.<br /> Pemikiran yang mempertentangkan pembangunan dan lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap pola tindak pemerintah yang berfungsi mengatur serta mengawasi seluruh kegiatan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan.<br />2. Kendala yang ada di masyarakat<br /> Pengelolaan pengaduan masyarakat di bidang lingkungan , bagaimana pengaduan mayarakat yang membawa informasi tentang terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan, bukankah dalam kenyataan justru si pelapor/pembawa informai tersebut yang menjadi korban seperti pengalaman pahit yang menimpa korban pencemaran lingkungan di daerah Tenggunung, Surabaya, yang harus rela membayar hukuman denda Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta), karena ia melaporkan sumurnya tercemar minyak dari pabrik di sebelah rumahnya. Dalam kasus tersebut si pelapor malah dituduh melakukan pelporan palsu, karena setelah diperiksa sumur terebut oleh polisi tidak diketemukan sumur korban tercemari minyak, sehingga perusahaan melakukan gugatan ke pelapor karena telah mencemarkan nama baik perusahaan dengan membuat laporan palsu.<br /> Kenyataan sesungguhnya adalah bahwa sumur tersebut telah bersih ketika polisi datang, karena korban sesuai dengan saran tim teknis KPPLH kepada korban untuk terus menerus mengebor sumurnya selama 1 minggu dan selah itu sumur tersebut terlihat bersih dari minyak barulah polisi datang memeriksa. Realitas ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan korban pada akses teknologi lingkungan dan kontrol atas prosedur pelaporan lingkungan telah membuat dirinya menjadi korban berkelanjutan kerapuhan mekanisme penegakan hukum lingkungan itu sendiri <br />3. Kendala di lapangan<br />Dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh petugas yang terkait dengan lingkungan, sering menemukan kesulitan-kesulitan yang dihadapi antar lain :<br />a. Sulit menangkap pelaku pencemaran karena dalam pembuktianya tidak sesederhana dalam kasus-kasus lain, dimana dalam kasus pencemaran limbah cair (air sungai) merupakan akibat kumulatif dari pembuagan limbah cair yag ada di aliran sungai, maka penerapan azas kausalitas akan memakan waktu, dan biasanya pelaku telah menghilangkan bukti-bukti pencemaran.<br />b. Pengambilan sample limbah dari suatu industri tidak mudah, kadangkala petugas harus membawa surat pengantar dari instansi petugas, sehingga perusahaan yang diduga melakukan pencemaran sudah melakukan pembersihan terhadap pencemaran pada saat petugas datang.<br />c. Pembuangan limbah cair, kadangkala dibarengi dengan kondisi alam seperti adanya banjir di aliran sungai, pada malam hari, dan membuat aliran pembuangan tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang luar perusahaan.<br />d. Pembuangan limbah yang dilakukan secara tersembunyi dan kurangnya tenaga ahli di bidang lingkungan, dimana untuk DKI Jakarta hanya mempunyai 5 orang ahli.<br />e. Tertutupnya Area perusahaan dengan pagar tinggi atau bangunan besar dan merupakan area yang tidak mudah dimasuki oleh masyarakat atau petugas sekalipun, sehingga menyulitkan masyarakat ikut mengawasi pencemaran di lingkungan.<br />f. Urusan Ekonomi menjadi hal yang utama, sehingga lingkungan dinomor duakan oleh para pengusaha.<br />g. Tidak semua pimpinan perusahaan sampai tingkat manager atau pemilik mempunyai Visi dalam pengelolaan lingkungan, sehingga pengelolaan limbah hanya merupakan pemborosan biaya.<br />h. Pemahaman Hakim dalam suatu sengketa lingkungan, dimana bila hakim mengetahui bahwa dalam terjadinya pencemaran lingkungan tersebut, belum ada pembinaan dari instansi terkait, maka kasus pencemaran limbah cair dikembalikan. (tidak dapat dilanjutkan)<br />i. Hanya limbah B3 saja yang sering atau pernah masuk dalam peradilan, sedangkan kasus limbah cair sering kali diselesaikan dalam jalur sanksi administrasi (penutupan saluran pembuangan, dan selanjutnya).<br /><br />B. Upaya Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pencemaran Air Sungai<br />Pengaturan tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup merupakan bagian yang inheren dari suatu peraturan tentang pengelolaan lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997<br />1. Melalui penyelesaian di luar pengadilan<br />Penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang untuk masa sekarang yang lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif (Alternatif Dispute Resolution) dalam pengaturannya telah mengalami perkembangan secara khusus, dimana Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LN. 1999 No. 138), yang mengatur beberapa hal berkenaan dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam konsideran Undang-Undang ini disebutkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata disamping dapat diajukan ke Peradilan Umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.<br /><br />2. Melalui Penyelesaian di dalam Pengadilan<br />Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku di Pengadilan. Hingga sekarang ketentuan dimaksud masih meneruskan peraturan-peraturan peninggalan zaman kolonial seperti yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglemen (HIR dan Reglemen of de Buiten Gewesten (RBG), ditambah dengan beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.<br />Sulit diingkari salah satu dampak negatif yang tidak mudah dihindari dari dilakukannya pembangunan adalah perubahan lingkungan hidup yang mengarah ke pengrusakan kualitas sumber daya terutama terhadap sumber daya air sungai, gagalnya upaya-upaya hukum yang bersifat no penal dalam bidang lingkungan hidup ini menyebabkan Majelis Umum PBB dalam resolusinya No. 45/121 Tahun 1990 telah memanfaatkan hukum pidana (penal) dengan menetapkan Resolusi mengenai perlindungan lingkungan melalui hukum pidana. Penerapan sanksi pidana ini sebenarnya lebih ditujukan untuk menciptakan deterrent effect (penghalang/mempengaruhi), agar para pelanggar yang potensial tidak melakukan pelanggaran, dari pada untuk menjatuhkan pidana bagi mereka yang telah melakukannya.<br />Hukum pidana hanya diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat tidak benar secara etis, tidak ada penegakan hukum pidana dalam hukum lingkungan kecuali beberapa perbuatan melanggar hukum yang mencolok (onrechtmatig) antara sanksi administrasi dan sanksi hukum pidana tidak dapat dipisahkan menurut De Bunt dalam bukunya Andi Hamzah dapat diperdebatkan karena tidak ada perbedaan yang mendasar antara sanksi hukum pidana dan sanksi hukum administratif. Di mana keduanya merupakan alat paksa untuk menegakkan hukum publik<br />Sebenarnya instrumen hukum pidana lebih ditekankan atau lebih dominan pada fungsi proaktifnya dari pada fungsi reaktif, melihat aspek kerugian yang besar sudah sepatutnya pengaktualisasian hukum pidana dalam fungsinya mempunyai asas-asas umum seperti asas legalitas (principles of legality), yang di dalamnya terkandung asas kepastian hukum dan kejelasan serta ketajaman dalam merumuskan peraturan dalam hukum pidana, khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the environment (melawan terhadap kejahatan lingkungan) dan sanksi yang perlu dijatuhkan agar pelaku mentaati normanya. Dalam hal ini terkait akurasi proses kriminalisasi dengan segala persyaratannya, dimana harus ada korban/kerugian yang jelas dan sifat enforceable (dapat dilaksanakan) dari perumusan tersebut dan dalam hukum pidana.<br />Dalam praktek penegakan hukum lingkungan hidup, prosedur pidana memang tidak populer dan oleh sebab itu pasal-pasal yang memuat ancaman pidana praktis tidak difungsikan walaupun ada.Tidak digunakannya prosedur pidana tersebut terhadap pelanggar lingkungan hidup tersebut bukan berarti tidak ada pelanggaran ketentuan pidana lingkungan hidup.<br />Pelanggaran hukum lingkungan hidup merupakan perbuatan yang dapat melanggar ketentuan hukum yaitu hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Hukum lingkungan termasuk dalam cabang dari hukum administrasi, maka dari itu ketentuan pidana dalam hukum lingkungan hidup tidak dapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusus. (hukum pidana di luar kodifikasi yang memuat ketentuan-ketetuan khusus, baik di bidang pidana materiil dan hukum pidana formil.<br />Kekhususannya adalah memuat ketentuan-ketentuan yang menyimpang sebagai pengecualiaan) dari ketentuan umum dalam hukum pidana, materiil dan formil. Berdasarkan asas-asas penggunaan hukum, maka hukum pidana khusus diterapkan secara selektif . Penyelesaian pelanggaran Undang-Undang lingkungan hidup bersifat pilihan hukum, yakni prosedur hukum administrasi perdata atau pidana.<br />Ditinjau dari ilmu hukum pidana, kedudukan sanksi pidana dalam hukum administrasi adalah sebagai pilihan hukum atau penggunaan sanksi yang terakhir (ultimum remedium) prosedur pidana didayagunakan untuk pelanggaran lingkungan hidup hanya setelah prosedur administrasi, hukum perdata dan alternatif peyelesaian sengketa gagal atau tidak efektif untuk mencapai tujuan penegakan hukum lingkungan.<br />Hukum pidana ditempatkan murni sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium setelah hasil pemberlakuan sanksi-sanksi hukum lain tidak efektif untuk kasus yang bersangkutan. Jadi tidak dibenarkan menggunakan prosedur pidana tanpa didahului dengan prosedur lain yaitu prosedur administratif, prosedur perdata atau alterantif penyelesaian sengketa lingkungan hidup., ditambah lagi persyaratan-persyaratan lain yaitu tingkat kesalahan pelaku relatif berat, akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan mayarakat.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Prosedur Pidana Sebagai Prosedur Pamungkas<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Prosedur pidana dipergunakan sebagai sanksi alternatif apabila prosedur administratif, prosedur perdata atau prosedur alterantif penyelesaian sengketa lingkungan hidup dinilai tidak efektif. Jadi untuk menggunakan sanksi pidana (tidak perlu terlebih dahulu menjatuhkan saksi–sanksi lain, cukup berdasarkan pengalaman pada penerapan sanksi pada kasus-kasus sebelumnya dinilai tidak efektif. Oleh karena itu cukup beralasan kalau masih juga ada pelanggaran lingkungan hidup dipergunakan prosedur pidana, mungkin akan dirasakan tidak adil bagi pelanggar yang dikenakan sanksi pidana sebagai sanksi lebih berat dibandingkan dengan sanksi lain yang dikenakan kepada para pelanggar sebelumnya.<br />Sebenarnya di sini instrumen hukum pidana lebih ditekankan atau lebih dominan pada fungsi proaktifnya dari pada fungsi reaktif, melihat aspek kerugian yang besar sudah sepatutnya pengaktualisasian hukum pidana khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the environment (melawan terhadap kejahatan lingkungan) dan sanksi yang perlu dijatuhkan agar pelaku mentaati normanya. Dalam hal ini terkait akurasi proses kriminalisasi dengan segala persyaratannya, dimana harus ada korban/kerugian yang jelas dan sifat enforceable (dapat dilaksanakan) dari perumusan tersebut dan dalam hukum pidana. <br />Langkah selanjutnya dalam penegakan hukum lingkungan adalah perlu melakukan konsensus antara APH yang berupa kesepakatan dalam penyelesaian pencemaran lingkungan dengan beberapa langkah :<br />1. Pemeriksaan delik lingkungan hendaknya tidak terlalu menitikberatkan pada faktor kesalahan, kesengajaan sebagai unsur melawan hukumnya perbuatan. Untuk pembuktian cukup apabila tersangka/terdakwa mengetahui bahwa perbuatan, kegiatan yang dilakukanya itu menimbulkan kerusakan / pencemaran lingkungan hidup.<br />2. Mengantisipasi kelangkaan ahli bidang dalam keterlibatannya dalam pembuktian pencemaran/rusaknya unsur/komponen lingkungan hidup, usaha ke arah pembakuan mutu unsur/komponen lingkungan hidup perlu digalakkan, sehingga kualitas unsur/komponen lingkungan hidup dapat digunakan sebagai informasi yang otentik. Khusus untuk pembuktian delik lingkungan tidak lagi diikuti prosedur pembuktian berdasarkan kesalahan yang lebih sederhana, yaitu asas pembuktian secara mutlak dan kesalahan bukan merupakan unsur tiap-tiap delik, dan oleh karena itu perlu dibuktikan secara kausal untuk tiap-tiapp delik, tetapi unsur kesalahan cukup merupakan unsur umum dari delik yang dirumuskan secara umum.<br />3. Diterbitkan jenis industri masing-masing dengan jenis limbahnya untuk disebarluaskan kepada masyarakat, disertai dengan Nilai Ambang Batas (NAB) minimum bagi kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia serta biota lainnya.<br />3. Melalui Pendekatan Penataan Lingkungan<br />Selanjutnya dalam proses penegakan hukum lingkungan pendekatan penataan yang mengandalkan 3 (tiga) hal tetap dikembangkan , yaitu :<br />1. Upaya promosi penataan untuk mendorong melakukan program penataan secara sukarela, yaitu untuk melibatkan masyarakat sekitar lingkungan hidup tersebut untuk ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan dan pemberian motivasi terhadap masyarakat yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan.<br />2. Mendorong kesadaran masyarakat untuk ikut bertanggungjawab terhadap lingkungannya, bila melihat hal-hal yang terjadi untuk segera melaporkan ke pihak-pihak yang terkait.<br />3. Upaya paksa yang mengandalkan kepada pemberian ancaman hukuman (sanksi) yang cukup berat, dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia.<br />4. Melalui Pengawasan<br />Proses pengawasan dalam proses menjaga lingkungan adalah merupakan suatu langkah yang terbaik, dimana pola penegakan hukum meliputi proses dan setiap proses harus mengacu pada ketentuian-ketentuan hukum, baik yang diatur dalam hukum pidana formal maupun pidana material. Seperti diketahui penegkan hukum lingkungan dibagi dalam 3 tahapan pokok , yaitu : tindakan preemtif, preventif dan represif<br />Tindakan preemtif adalah tindakan antisipasi yang bersifat mendeteksi secara lebih awal berbagai faktor korelasi kriminogen, yakni faktor-faktor yang memungkinkan akan terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan. Dengan demikian langkah preemtif merupakan upaya yang terbaik dalam upaya pencegahan pengrusakan atau pencemaran lingkungan hidup. Langkah preemtif dalam Keputusan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Nomor 298 Tahun 2003 tentang petunjuk Teknis mekanisme Pengawasan dan pengendalian Beban Limbah cair di Provinsi DKI Jakarta Bab III Pasal 2 Tata Cara Pengiriman Contoh Limbah, maka kepada setiap usaha diwajibkan untuk :<br />1. Setiap kegiatan usaha wajib memeriksakan contoh limbah sesuai dengan jadwal pemeriksaan yang telah ditetapkan.<br />2. Setiap kegiatan usaha yang mengirimkan contoh limbah cairnya wajib melengkapi surat pengantar disertai lampiran data pembuangan limbah meliputi debit limbah, tingkat produksi/ konsumsi bahan serta laporann swapanatau periode sebelumnya.<br />3. Surat pengantar beserta contoh air limbah disampaikan ke UPT Laboratorium Lingkungan untuk dianalisis secara laboratoris, sedangkan data pembuangan limbah dan laporan swapantau diteruskan ke Kepala BPLHD Propinsi DKI Jakarta u.p. Kepala Bidang Pngendalian Pencemaran Lingkungan untuk pemrosesan status mutu limbah.<br />Pengirimn sample limbah cair di atur dalam Bab IV Pasal 4 pemenuhan Jadwal pengiriman Contoh Limbah Cair :<br />1. Setiap awal bulan BPLHD provinsi DKI Jakrta, u.p. Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan menerbitkan dan menyampaikan daftar kegiatan usaha yang telah memeriksa contoh limbah cair pada bulan sebelumnya kepada BPLHD Kotamdya/Kabupaten administrasi<br />2. Berdasarkan daftar kegiatan usaha pada ayat 91) pasal ini, BPLHD Kotamadya DKI Jakrta memeriksa silang terhadap jadwal pemeriksaan contoh limbah yang telah ditetapkan sebelumnya<br />3. Kepada kegatan usaha yang tidak sesuai dengan jadwalnya, BPLHD Kotamdya DKI Jakarta menyampaikan pemberitahuan Tidak kirim contoh limbah cair<br />4. Setiap kegiatan usaha yang telah menerima surat pemberitahuan megirimkan contoh limbah cair selambat-lambatnya 10 hari kerja terhitung tanggal penerimaan surat pemberitahuan.<br />5. Apabila hingga batas waktu berakhir perusahaan yan bersangutan tidak mengirimkan contoh limbah cair, maka BPLHD wilayah Kotamadya meaksanakan pengambilan paksa contoh limbah cair<br />6. Setiap pengambilan paksa contoh limbah cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) pasal ini dilengkapi dengan Berita Acara dan semua biaya yang diperlukan ditanggung oleh perusahaan kegiatan usaha yang bersangkutan<br />7. Dari hasil pengujian labratorium dan data pembuangan limbah cair, BPLHD akan menetapkan status mutu dengan berpedoman pada ketentuan pembuangan limbah cair yang berlaku.<br />5. Melalui pemberian penghargaan :<br />Upaya yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum adalah upaya agar para pelaku usaha tidak melakukan pencemaran limbah cair ke daerah aliran sungai, oleh karena itu dapat diupayakan hal-hal sbb:<br />a. Kewajiban kepada pelaku usaha untuk memasukan visi mengenai lingkungan hidup dalam usahanya .<br />b. Pemberian Insentif atau kemudahan dalam pengurusan izin /kemudahan modal bagi usaha yang telah mentaati peraturan tentang pengelolaan lingkungan hidup dalam sekian periode.<br />c. Pemberian penghargaan oleh pemeritah dan disebarluaskan dalam media cetak dan media elektronik, untuk memacu pengusaha lain untuk memperhatikan lingkungan hidup<br />d. Pemberian Equilable pada hasil produknya yang digambarkan dengan warna, seperti warna hijau ramah lingkungan.<br />e. Membangun Kesadaran pengusaha dalam melakukan proses industri<br />f. Merubah Budaya/ Paradigma masyarakat pengusaha terhadap lingkungan hidup<br />g. Untuk Instansi terkait membuka diri untuk memeberikan nasehat atau petunjuk teknis dalam pengelolaan limbah cair. Sehingga petugas merupakan rekan dalam usaha bukan dilihat sebagai pencari kesalahan.<br />6. Peningkatan peran serta masyarakat<br />Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh wilayah Kodya Jakarta Timur dalam pelaksanaan penanggulangan kerusakan lingkungan khususnya di sepanjang aliran sungai Cipinang adalah pembentukan Forum Komunikasi Penanggulangan Sampah Bantaran. Forum yang dibentuk di 3 kelurahan yang wilayahnya langsung berbatasan dengan bantaran sungai Cipinang merupakan suatu langkah positif dalam mengerakan partisifasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah di bantaran sungai.<br />Forum Komunikasi yang beranggotakan tokoh masyarakat dibawah koordinasi Lurah dan Ketua LKMD sekarang Dewan Kelurahan merupakan wadah komunikasi yang efektif sesama warga masyarakat di tingkat yang paling bawah untuk menyampaikan permasalahan dan aspirasi penanggulangan kebersihan lingkungan bantaran secara terbuka, transparan, dan komunikatif.<br />Simulasi diantara kelompok Forum Komunikasi di bawah bimbingan Lurah dan Camat akan sangat mendukung beban tugas aparat wilayah dalam menetapkan skala prioritas kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayahnya. Pembinaan forum ini secara berkesinambungan, terarah dan efektif akan sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas lingkungan bantaran dan kualitas badan air di masa mendatang.<br />7. Pemasyarakatan Budaya Bersih dan Sehat<br />Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat merupakan dambaan setiap individu sehingga pendekatan melalui budaya bersih dan sehat dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk mengelola berbagai bentuk limbah yang dihasilkan dan memelihara kebersihan lingkungan. Kualitas lingkungan yang tidak sehat disertai perilaku yang juga tidak sehat dapat meningkatkan angka penyakit seperti muntaber/diare, cacingan, demam berdarah dan lain sebagainya.<br />Rendahnya kesadaran masyarakat dalam membuang limbah termasuk sampah, serta pemanfaatan sumber air yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan merupakan indikator buruknya kualitas lingkungan. Identifikasi berbagai jenis penyakit yang berkembang dan dominan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam kebersihan lingkungan.<br />Terbentuknya forum komunikasi pengelolaan sampah di bantaran dapat dimanfaatkan sebagai sarana penanggulangan berbagai jenis penyakit yang rawan terjadi di kawasan permukiman yang padat dan cenderung kumuh. Pembinaan kualitas kesehatan masyarakat dapat dikembangkan dengan memanfaatkan para pakar kesehatan yang terhimpun dalam HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia).</div></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-82176183701712154012010-03-11T18:24:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.573-07:00tanya jawab filsafat ilmu<div style="text-align: justify;">1 Aspek yang berkaitan dengan riil dan aspek yang berkaitan dengan yang benar, dalam islam dinamakan Haqq<br />2 Beda persepsi manusia dari pelat forografi ialah dalam hal manusia memiliki Imajinasi<br />3 Bila akal menghubungkan diri dngan konklusi, maka akal melihat masa depan dengan memusatkannya pada peristiwa-peristiwa serupa, dalam istilah filsafat modern hal ini dinamakan Analogi<span class="fullpost"><br />4 Bila dalam proses pemikiran telah disediakan sarana fakta yang terindera dan otak, maka yang menentukan terhadinya proses pemikiran yang benar adalah Perasaan<br />5 Bila eksistensi objek pengalaman inderawi dalam imajinasi ketika objek itu tidak ada dalam persepi manusia, maka eksistensi dinamakan Khayalan<br />6 Diunggulkan manusia atas malaikat, ialah karena manusia dianugrahi Allah Ilmu<br />7 Koherensi dan korespondensi antara tindakan intelektual dengan realitas lahiriah yang dipersepsi, termasuk pengertian Eksistensi logis<br />8 Konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia diilhami eksistensi Khayalan<br />9 Makna sebagai suatu bentuk citra aqliah yang terbentuk sebagai jawaban atas pertayaan “apa” disebut Mafhum<br />10 Pandangan dunia berlandaskan, yang tidak ditolak oleh akal, wujud itu maujud, yang menjawab sandaran ideologi, dan memandang dunia sebagai suatu keseluruhan, disebut Agami<br />11 Pandangan dunia Islami adalah Tauhid<br />12 Pandangan dunia mumnya berlandaskan pada hipotesis dan eksperimen, disebut Ilmiah<br />13 Pemahaman tentang alam sebagaimana adanya, dalam dunia filsafat dikategorikan dalam kebijakan Logis<br />14 Pemahaman tentang perilaku kehidupan sebagaimana mestinya dikategorikan ke dalam kebijakan Praktis<br />15 Pengenalan masing-masing tempat segala sesuatu dalam suatu sistem, ketika hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sistem itu menjadi jelas dan dipahami, dinamakan Persepsi<br />16 Pengetahuan atau ilmu sampai kepada manusia melalui pengalaman langsung terhadap alam dengan menggunakan indera, disebut Nalar<br />17 Realitas menunjuk pada suatu kondisi ontologis, kepada suatu penelitian kebenaran dalam hubungan dengan situasi nyata, disebut Eksistensi riil.<br /><br /><br />18 Ilmu yang diberikan Allah SWT, yang memngkinkan penerimanya mengetahui tempat yang tepat, atau membuat penilaian yang tepat mengenai tempat yang tepat dari sesuatu atau suat objek ilmu, dinamakan Hakekat<br />19 Kondisi dimana objek-objek ilmu berada pada tempatnya yang tepat, yang secara ontologis semua ciptaan telahdiatur sedemikian, dimasukkan dalam pengertian Keadilan<br />20 Bila anda melihat batu melesat keudara, kemudian mengenai kepala pejalan kaki, maka pengetahuan ini adalah dari pemahaman lewat Indera rasa<br />21 Apakah anda tahu bahwa, walaupun anda melihat, mendengar, mencium ataumerasakan, anda tidak menerima sesuatu, karena anda belum menemukan kebenaran, kecuali melalui saluran Informasi<br />22 Penguasa seluruh indera dan yang mengkoordinasikan fungsi-fungsinya adalah Hati (qalb)<br />23 Firman Allah SWT, dalam al-quran” Dan segala sesuatu kami cuptakan berpasang-pasangan supaya kamu mendapat pelajaran (QS. 51:49), adalah informasi agar manusia mengadakan penelitian fenomena alam secara Silogisme<br />24 ...berkata qabil: aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak berbuat seperti gagak ini, lalu akau dapat menguburkan mayat saudaraku ini (QS 55:31), ayat ini menunjukan Eksperimental<br />25 Sekiranya ada di langitdan di bumi tuhan-tuhaan selain Allah, tentlah keduanya itu telah binasa; Maha suci Allah yang mempunyai “ARSY” dari pada apa yang mereka sifatkan, tetapi yang terlihat, alam ini begitu teratur rapi, tunduk kepada undang-undang dan peraturan yang cermat dan teliti, sehingga kesimpulan tidak dapat lain kecuali Allah, Maha Esa atas dasr pemikiran Logika deduksi<br />26 Bila orang mengikuti pemikiran dalam al-quran, dapat ditemukan dalam lerangka berfikir itu fase-fase penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu fase induksi dan fase analogi yang saling menyatu; para ahli fiqh meletakan hadits yang diriwayatkan dialog Rosul dengan Muadz bin Jabal sebagai hujjah setelah al-qur’an sunnah, ijma atas dasar Intelek<br />27 Nalar dan akal sehat (aql) adalah sasaran bahasa Logika<br />28 Sasaran bahasa emosi menurut keterangan muthahhari, adalah Hati<br /><br /><br />29 Akal yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematik, dinamakan akal Awam<br />30 Pemikiran dapat timbul pada seseorang berdasarkan penginderaan terhadap realitas. Setelah terdapat keterkaitan dengan Organ indera<br />31 Akal yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berpikir sistematik, dinamakan akal Khitabi<br />32 Pemikiran dapat timbul pada seseorang berdasarkan penginderaan terhadap realitas, setelah terdapat keterkaitan dengan Informasi<br />33 Bila akal menghubungkan diri dengan konklusi, maka akal melihat masa depan denganmemusatkannya pada peristiwa-peristiwa serupa; dalam istilah filsafat modern hal ini dinamakan Sebab akibat<br />33 Diunggulkan manusi atas malaikat, ialah karena manusia dianugerahi Allah Ilmu<br />34 Bila dalam proses pemikiran telah disediakan sarana fakta yang terindera dan otak,maka yang menentukan terjadinya proses pemikiran yang benar adalah Informasi tentang fakta<br />35 Pemahaman tentang alam sebagaimana adanya, dalam dunia filsafat dikategorikan dalamkebijakan Teoritis<br />36 Pemahaman tentang perilaku kehidupan sebagaimana mestinya dikategorikan ke dalam kebijakan Praktis<br />37 Pandangan dunia umumnya berlandaskan pada hipotesis dan eksperimen, disebut Ilmiah<br />38 Pandangan dunia berlandaskan yang tidak ditolak oleh akal, wujud itu maujud, yang menjawab sandaran ideologi, dan memandang dunia sebagai suatu keseluruhan, disebut pandangan dunia Filosofis<br />39 Pandangan dunia Islami adalah Tauhid<br />40 Konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia, dinamakan eksistensi Intelektual<br />41 Pengenalan masing-masing tempat segala sesuatu dalam suatu sistem, ketika hubungan antara sesuatu dengan sesuatu laui\innya dalam sistem itu menjadi jelas dan terpahami, dinamakan Makna<br />42 Pengetahuan atau ilm yang sampai kepada manusia melalui pengalaman langsung terhadap alam dengan mempergunakan indera, disebut Persepsi<br />43 Makna sebagai suatu bentuk citra aqliyah yang terbentuk sebagai jawaban atas pertayaan “apa’, disebut Esensi<br />44 Bila eksistensi objek pengalaman inderawi dalam imajinasi ketiak objek itu tidak ada dalam persepsi manusia, maka eksistensi dinamakan Khayali<br />45 Realitas yang menunjuk kepada sesuatu kondisi ontologis kepada sesuatu penelitian kebenaran dalam hubungan dengan situasi nyata, disebut Eksistensi riil<br />46 Aspek yang berkaitan dengan yang riil dan aspek yang berkaitan dengan yang benar, dalam islam dinamakan Haqq<br />47 Koherensi dan korespondensi antara tindakan intelektal dengan realitas lahiriah yang dipersepsi, termasuk pengertian Benar<br />48 Ilmu yang diberikan Allah SWT yang memungkinkan penerimanya mengetahui tempat dan tepat, atau membuat penilaian yang tepat mengenai tempat yang benar dari sesuatu objek ilmu, dinamakan Kearifan<br />49 Kondisi di mana objek-objek ilmu berada pada tempatnya yang tepat yang secara ontologis semua ciptaan telah diatur sedemikian , dimasukkan dalam pengertian Keadilan<br />50 Fiman Allah SWT dalam al-quran “ Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mendapat pengajaran, adalah informasi agar manusia mengadakan penelitian terhadap fenomena alam secara Induktif<br />51 Dasar pokok di dalam upaya manusia memahami alam dan memakrifati Allah, ialah terhadap firma-firmannya, dengan cara Mentadabuurkan MembacaMelakukan nazar<br />52 Nazar yang diperintahkan Allah SWT di adalm al-quran pada hakekatnya adalah metode eksperimental yang terkenal dalam pengembangan sains, yaitu metode ilmiah yang siebut InduksiDeduksi<br />53 Bila ada pernyataan :Semua peerta pasca sarjana MH panda (Premis Mayor)Kosim bukan peserta pasca sarjana MH (Premisminor)(Kesimpulan ) Kosim tidak pandai -Permeis minir menolak premis mayor-Kesimpulan salah<br />54 Nyala panas dan cahaya (nur) adalah bagian-bagian dari api (premis mayor)Jarum arloji beradium itempat gelap bercahaya (premis mayor)Kesimpulan - Cahaya jarum bukan api- cahaya radium bukan api<br />55 - membantu -menemukan asumsi yang benar- Memperjelas arti hipotesis.- Membantu pengujian hipotesis Cara deduksi membawa keuntungan<br /><br /><br />56 - Hubungan dan pengumpulan fakta merupakan esensi menyeluruh- Dapat digunakan sebagai dasar pemberian alasan deduktif- Dapat digunakan sebagai dasar alasan induktif- Lebih ekonomis Keuntungan alasan induktif dalam menguji hipotesis<br />57 Bila ada dua sisi di mana terdapat unsur-unsur A,B dan Z untuk situasi-1, dan X, Y dan Z untuk situasi-II, dan kedua situasi itu menghasilkan observasi D, maka dapat disimpulkan bahwa Disebabkan oleh Z.<br />58 Bila merokok dapat menimbulkan orang berpenyakit jantung koroner dan kanker paru-paru, maka penjelasan semacam ini dinamakan penjelasan bersifat Bercorak peluang<br />59 - Epistemologi peradan Barat- Kurang menghayati relevansi al-quran- Khawatir analisis objektif menyimpang dari cara tradisional- Larangan penafsiran al-qur’an secara spekulatif Imperialisme epistemologis yang menguasai intelektual Indonesia, mnyebabkn umat Islam di Indonesia, walaupun mayoritas,tidak berperan pada zaman orde baru, sebab-musababnya adalah<br />60 - Al-quran kalamullah kitab Hidayah- Manusia adalah khalifah- Wajibijtihad lewat observasi sistematik dan deduksi dialektif Ayat-ayat al-quran berbicara tentang jagad raya tidak lewat berita-berita ilmiah secara langung, disebabkan<br />61 - Al-quranmengandung mujijat- Al-qurna adalah bahasa Allah SWT, menyapa manusia- Alam semesta mnjadi bukti kebenaran- Alam yang diteliti,ciptaan Allah. Bagi dunia ilmiah al-quran tetap merupakan metode dakwah yang paling mujarab, disebabkan<br />62 Akal hidup dalam persepsi-persepsi, sedangkan persepsi berhubungan dengan lingkungan dan lingkungan bermacam-macam, agar akal tidak tersesat danmengarah ke kebathilan, diperlukan arahan dari - Wahu- Indera<br /><br /><br />63 Pengetahuan riil tentang alam semesta dan tentang diri manusia diperoleh dengan persepsi yang didapat selama hidupnya melalui - Indera- Pengalaman<br />64 Menghafal Upay-upaya menjaga keotentikan al-quran di zaman Rasullah SAW, adalah Wahyu - Wahyu langsug di tulis- Menghafal<br />65 - Syhid kepada masyhud alaih- Dalil kepada mudlu’alaih- Wasilah kepada ghayah Bila akal dianggap sebagai gerakan,maka gerakan itu menimbulkan perpindahan antara<br />66 Dari kisah nabi Adamas, yang diajarkan Allah SWT kepada nama-nama benda seluruhnya,al-quran seolah-oleh hendak menyatakan agar manusia harus memiliki Epistemologi<br />67 Dari Firman Allah “Katakanlah perhatikan apa yang ada di lngit dan dibumi (yunus 10:101), dapat disimak bahwa al-quran mengajak manusia kepada. Epistemologi<br />68 Aktivitas melakukan pemilahan dan penyusunan oleh logika terhadap berbagai permasalahan ilmiah, ke dalam kategori dilakkan oleh Rasio<br />69 Tugas melepas dua perkara di alam objektif, yang memberi kemampuan berpikir dapat dilakukan oleh Rasio<br />70 Dalam mengembangkan dasar pengkajian toritis yang bersifat operasional, peneliti sering menggunakan Asumsi<br />71 Pengambilan kesimpulan dari keadaan sebagai adanya , maka kesimplan ini didasarkan atas Asumsi<br />72 Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu <br />73 Bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, hasil kajian, yang ada pada seseorang berkenaan dengan alam semesta, manusia, masyarakat, dan sejarah, dinyatakan sebagai Idiologi<br />74 Tiap orang merasakan segala sesuatu itu berbentuk partikular dan kemudian dibuat suatu bentuk pengelompokan yang sifatnya umum (general, am) dan universal: hal ini merupakan proses atau aktivitas <br /><br /><br />75 Jika indera merupakan suatu syarat demi mengetahui dan memahmi, tetapi masih belum memenuhi syarat keseluruhannya dan membutuhkan suat tenaga dan kekuatan berupa Kekuatan akal, kekuatan yang mampu melepas, kekuatan yang mampu memilah dan menyusun<br />76 Suatu kekuatan yang memiliki peran penting sebagai epistemologi, selain penglihatan dan pendengaran adalah nalar<br />77 Demi untuk mengenal diri sendiri, al-quranmenyatakan hendaklah manusia melakukan pencucian Jiwa<br />78 Yang dijadikan sumber epistemologi, yang menjadi hoptesis yang ada sekarang ini adalah Alam<br />79 Dari kisah kisah yang diungkakan dalam al-qur’an, yang digunakan sebagai sumber epistemologi, adalah Sejarah<br />80 Bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, hail kajian, yang ada pada seseorang berkenaan dengan alam semesta, manusia, masyarakat, dan sejarah, dinyatakan sebagai Idiologi<br />81 Yang berperan penting dalam berfikir deduktif adalah Logika<br />82 Menarik kesimpulan berdasarkan silogisme adalah proses berfikir secara Deduktif<br />83 Statistika mempunyai peran penting dalam berfikir secara Ilmiah<br />84 Yang berkembang menurut jalannya sendiri, terutama dalam segi metodenya, ialah Metode nir-ilmiah<br />85 Manusia dapat berfikir secara abstrak, dalam hal mana objek-objek yang faktual ditranormaikan menjadi simbol-simbol yang bersifat abstrak berupa Bahasa ?<br />86 Komunikasi verbal menggunakan bunyi sebagai alat komunikasi, dalam masyarakat verbal semacam ini alat komunikasi itu dinamakan Bahasa<br />87 Filsafat ilmu yang menalaah jawaban atas pertanyaan bagaimana prosedur yang harus dipehatikan agar didadaptkan pengetahuan yang benar Epistemologi<br />88 Filsafat ilmu yang menelaah jawaban atas pertayaan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmi diaktegorikan dalam Ontologi<br />89 Filsafat ilmi yang menalaah jawaban atas pertayaan untuk apa digunakan danbagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaedah-kaedah moral Aksiologi<br /><br /><br />90 Yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang menjadi rahasia kekuasaannya, ialah ilmu<br />91 Suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berfikir yang digunakan untuk analisis tersebut Pengkajian<br />92 Probabilitas 0,8 bahwa besoka akan hujan berati bahwa Pasti hujan<br />93 Bila mensawalakan peristiwa sebab akibat,maka biasanya digunakan pernyataan Silogisme<br />94 Metode ilmiah adalah merupakan cabang dari filsafat ilmu yang disebut Epistemologi<br />95 Terangkan apa yang dimaksud dengan kata-kata –(a) Pengetahuan (b) Ilmu ?<br />96 Peran apa yang diambil pengetahuan dalam kehidupan manusia ?<br />97 Sebutkan dan jelaskan dua teori kebenaran yang anda tahu ?<br />98 Di antara aktivitas manusia yang amat luar biasa adalah proses Melepas (tajrid)<br />99 Yang menjadi aktivitas rasio adalah Melepas (tajrid)<br />100 Metodologi adalah merupakan cabang filsafat ilmu yang disebut Epistemologi<br /><br /></div></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-32006075791983200372010-03-11T18:05:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.421-07:00SOAL & JAWABAN FILSAFAT HUKUMTANYA JAWAB FILSAFAT HUKUM<br />UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA<br /><br />1. Apakah sebab-sebab filsafat merupakan pintu masuk mempelajari filsafat hukum ?<br />a. Mula-mula filsafat diartikan sebagai the love of wisdom atau love for wisdom, dimana pada fase ini filsafat berarti sifat seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak atau sifat orang yang ingin atau cinta pada kebijakan<br />b. Selanjutnya pengertian filsafat mulai menyempit yaitu lebih menekankan pada latihan berfikir untuk memenuhi kesenangan intelektual (intellectual curiosity)<br />c. Menurut Russel filsafat ialah menjawab pertayaan yang tinggi (ultimate), yaitu pertayaan yang tidak dapat dijawab oleh sains, sedangkan menurut William James berpendapat bahwa filsafat ialah kumpulan pertayaan yang belum pernah terjawab secara memuaskan<br />d. Kata Filsafat adalah turunan dari kata Yunani “Philosophia” dimana philo berarti cinta dalam arti seluas-luasnya yaitu ingin dan karena ingin itu lalu berusaha mencapai apa yang diingini, sedangkan Sophia berati kebijaksanaan dimana mempunyai makna mampu mempergunakan kepandaian untuk mengerti dengan mendalam terhadap apa yang ingin diketahuinya. Oleh karena itu banyak pendapat para pakar filsuf antara lain Plato yang mengartikan filsafat adalah pengetahuan tentang segala apa yang ada, sedangkan menurut Aristoteles filsafat sebagai ilmu menyelidiki sebab dan asas segala benda. Bila kita gabungkan pendapat pakar tersebut maka filsafat dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang segala sesuatu untuk mendapatkan keterangan atau sebab-sebab yang sedalam-dalamnya tentang alam maujud <br />e. is derived from the composite greek noun philosophia means the love of pursuit wisdom (diperoleh dari gabungan kata Yunani philosophia berarti pencarian cinta kebijaksanaan /kebenaran)<br />f. The creek wont sophia is ordinary translated as wisdom, and the compound philosophia, from which philosophy derives, is translated as the love of wisdom (Teluk sophia adalah biasa diterjemahkan seperti kebijaksanaan, dan campuran itu, dari filosofi yang diterjemahkan seperti cinta kebijaksanaan).<br />g. Kesimpulan dari pengertian Filsafat mungkin dapat kita tarik adalah :<br />a. Filsafat merupakan suatu usaha ilmiah untuk mendapatkan sikap terhadap hidup dan alam semesta<br />b. Filsafat merupakan suatu pembahasan persoalan-persoalan yang bertalian dengan kehidupan mansia dan alam semesta yang diperoleh secara metodis dan disusun secara sistematis dan diberikan keterangan yang mendasar atas segala sesuatu serta sangkut pautnya hal-hal tersebut<br />h. Dari uraian di atas dapat kita tarik benang merah mengapa filsafat merupakan pintu masuk mempelajari filsafat hukum karena persoalan hukum menyangkut tiga objek yang disebut manusia, Tuhan dan Alam /Jagad Raya, diantara tiga objek tersebut yang memegang peranan ialah manusia, karena manusia memerlukan dan menjalankan hukum, karena hukum bagi manusia merupakan faktor yang penting bagi kehidupannya. Pemikiran tentang hukum masuk bidang filsafat hukum yang dijadikan bagian dari filsafat umum atau pemikiran hukum yang erat kaitannya dengan sikap moral. Dimana bila membicarakan tentang unsur-unsur hukum pasti akan mengikutsertakan unsur-unsur moral.<br /><br />2. Apakah karakteristik yang harus dimiliki Sarjana Hukum ?<br />a. Berpengetahuan terutama dalam bidang ilmu hukum, dan lingkungan sosial lainnya dimana sosiologi hukum memerlukan pengetahuan hukum untuk dapat memperhatikan karakter masyarakat hukum.<br />b. Mempunyai ketrampilan yang meliputi unsur teoritis yang berisi pola fikir yang logis,kritis, dan suka akan diskusi dan melakukan penelitian serta dari hasil penelitian dibuat suatu laporan hasil penelitian dimana dalam pemikiran teoritis memerlukan Filsafat hukum sebagai suatu pembahasan persoalan-persoalan yang bertalian dengan kehidupan mansia dan alam semesta yang diperoleh secara metodis dan disusun secara sistematis dan diberikan keterangan yang mendasar atas segala sesuatu serta sangkut pautnya hal-hal tersebut<br />c. Ketrampilan praktis perlu dikuasai oleh seorang Sarjana Hukum dimana politik hukum ada dua yaitu dari segi ilmu politik dan segi praktik memerlukan perancangan, penerapan, memutuskan dan mengatur semua yang berkaitan dengan masalah penegakan hukum.<br />d. Yang terakhir seorang Sarjana Hukum harus berkepribadian yang selalu waspada akan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, selalu menjunjung asas kejujuran dalam bekerja serta lugas dan tegas tanpa melihat keuntungan pribadi atau golongan dan selalu mementingkan kepentingan nasional.<br />3. Jelaskan peran hukum bagi dunia kemanusiaan?<br />a. Sejak manusia pertama ditempatkan di permukaan bumi. Manusia Adam telah berpijak pada faham hukum yang menunjukan bahwa hukum merupakan faktor pokok (essential). Sikap hukum erat hubungannya dengan sikap moral oleh karena itu hukum sebagai pembimbing menuju kepada terciptanya ketertiban, ketertiban dapat diwujudkan apabila manusia patuh kepada standar moral, etika dan aturan dalam berhubungan dengan ligkungannya dan antara manusia dengan manusia<br />4. Apakah ada keterkaitanya Filsafat Hukum dengan lapangan ilmu lainnya yang saudara pelajari ?<br />a. Filsafat Hukum melahirkan sikap tentang bagaimana manusia berperilaku dalam lingkungan agar selaras dengan hukum-hukum yang secara alami sudah ada (baku) maupun yang diadakan, dan disepakat bersama sebagai stadar moral, etika dan aturan, selanjutnya lapangan ilmu lainnya dikembangkan, disesuaikan dengan standar baku dan yang dibakukan tersebut dengan maksud ilmu-ilmu yang dikembangkan selalu berada pada norma yang dipandang wajar menurut hukum, oleh karena itulah keterkaitan filsafat hukum dengan ilmu-ilmu lainnya seperti sosiologi, kriminologi, antropologi , budaya dasar, hukum pidana, perdata dan lain-lain sangat erat kaitannya. Karena semua itu timbul dari hasil pemikiran yang ingin mencari jawaban dari ilmu itu semua.<br />5. Dimana letak hukum dalam struktur manusia dan jelaskan ?<br />a. Manusia adalah induvidu-induvidu yang hidup bermasyarakat. Masing-masing mempunyai kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dan ambisi-ambisi yang ingin diperolehnya, baik yang bersifat alami (fitri) maupun nir-alami Manakala setiap orang dibebaskan menentukan segala sesuatu menurut pertimbangannya sendiri, maka setiap orang akan mengejar tujuannya dengan cara-cara yang dipandangnya patut. Oleh karena itu dalam struktur manusia hukum berada pada fase dimana hukum merupakan produk karsa dalam aspek hubungan antar pribadi dan termasuk dalm bidang etika. Dikatakan dalam bidang ini karena hukum dalam struktur manusia terletak di dalam rohani (kejiwaan) manusia yang perkembangannya dipengaruhi oleh kodrat budaya ( Ilmu pengetahuan, keimanan, keakhlakan, sopan santun, hukum, kesenian. Dari sanalah (rohani) manusia memahami baik dan buruk, benar atau salah, patut atau tidak patut dalam melakukan hubungan (interaksi) antar pribadi.<br />6. Dari manakah essensialitas hukum itu dapat dilihat , jelaskan <br />a. Essensialitas hukum dapat terlihat pada apakah fungsi hukum tersebut berjalan seperti (1) menciptakan ketertiban, kehidupan yang bagaimanakah yang akan dihayati kalau setiap induvidu mempunyai kebebesan penuh untuk berbuat sesuka hatinya, maka akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban, ketidak-tentraman dan bahaya selalu mengintai disetiap kehidupan manusia. Oleh karena itu harus ada pengekangan (pengendalian) baik yang dibebankan oleh diri sendiri maupun dibebankan olehpihak luar. (2) mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang timbul akibat interaksi dan mustahil suatu interaksi tidak terjadi perselisihan-perselisihan. (3) mampu memberikan perlindungan (proteksi) paling kurang apa yang pada dasarnya harus diusahakan oleh manusia untuk dicapai adalah kebebasan dari gangguan-gangguan terhadap dirinya yang datang dari luar. Bertitik tolak dari fungsi-fungsi hukum tersebut di atas, dapat terlihat essensialitas hukum itu dapat disimpulkan bahwa essensialitas hukum terletak pada pengendalian diri, peraturan yang hidup yang berpegang pada hak dan kewajiban yang dikuatkan oleh masyarakat, dan pelaksanaan syariah yang datangnya dari Allah SWT.<br />7. Apakah latar belakang timbulnya Filsafat Hukum ?<br />a. Yang melatar belakangi timbulnya filsafat hukum berangkat dari keinginantahuan para pemikir pada periode terdahulu yang selalu mencari dan mencari jawaban atas interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya atau adanya ketidak puasan terhadap apa yang dilihat, direnungkan dalam-dalam (rohani). Tetapi dorongan yang sangat besar yag melatarbelakangi timbulnya filsafat hukum ada 3 (tiga) yaitu :<br />a. Adanya ketegangan jiwa dalam pikiran, kebimbangan tentang kebenaran, tentang keadilan dari hukum yang berlaku dan merasa tidak puas tentang hukum yang berlaku itu.Hukum yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat dan mereka berusaha untuk mencari hukum yang lebih adil dan lebih baik dari hukum yang berlaku.<br />b. Adanya ketegangan-ketegangan antara kepercayaan atau agama dengan hukum yng berlaku yang memiliki weltanschauung dan lebenshauung (pandangan dunia dan pandangan hidup) tertentu. Mereka melihat suatu pertentangan peraturan-peraturan yang berlaku dengan peraturan agama atau pandangan hidup yang mereka anut. Timbulah suatu perang batin dalam pikirnnya maka berusaha untuk mengatasinya dari sinilah timbul beberapa aliran Filsafat Hukum.<br />c. Filsafat Hukum timbul disebabkan keraguan tentang kebenaran dan keadilan dari hukum yang berlaku terlepas dari sistem agama atau filsafat umum. Di sini yang dinilai adalah hukum positif. Apakah keberadaan hukum positif itu adalah hukum yang adil, keraguan ditujukan pada nilai-nilai peraturan tertentu yang berlaku pada waktunya. Hal ini berarti bahwa “isi”dari peraturan yang ada pada waktu itu tidak dianggap sebagi peraturan yang adil dan diragukan kebenarannya<br />d. Pada akhirnya apa yang disebut filsafat hukum pada hakekatnya adalah soal geweten (hati nurani) manusia yang berpijak pada filsafat atau pandangan manusia mengenai tempatnya di alam semesta disatu pihak dan di pihak lain pada pandangan manusia tentang bentuk masyarakat yang terbaik<br />8. Apakah hukum menurut ilmu hukum ?<br />a. Hukum menurut ilmu hukum dipandang sebagai gejala fenomenon, menanggapi hukum sekedar atau sebagai manisfestasi dari pada tindak manusia dan kebiasaan sosialnya. Sehingga hukum menurut ilmu hukum adalah aturan yang sudah ada dan berlaku dalam masyarakat yang dipelajarinya kemudian dikembangkan sesuai dengan kondisi dan tempat diberlakukannya peraturaan tersebut, dimana objek hukum adalah masyarakat.<br />b. Sedangkan pengertian hukum menurut kamus hukum adalah suatu paham yang mengandung banyak sekali sudut seginya dan meliputi suatu bidang yang begitu luas, sehingga tiada suatu definisi pun yang dapat menangkapnya dengan lengkap dan sempurna.<br />9. Jelaskan bahwa hukum itu timbul dari kesadaran manusia ?<br />a. Manusia adalah induvidu-induvidu yang hidup bermasyarakat. Masing-masing mempunyai kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dan ambisi-ambisi yang ingin diperolehnya, baik yang bersifat alami (fitri) maupun niralami Manakala setiap orang dibebaskan menentukan segala sesuatu menurut pertimbangannya sendiri, maka setiap orang akan mengejar tujuannya dengan cara-cara yang dipandangnya patut. Dan hukum timbul dari kesadaran manusia dapat kita lihat dari pengalaman manusia yang mempunyai kecenderungan baik sebagai induvidu maupun sebagai anggota masyarakat. Sebagai induvidu manusia memiliki sifat egois untuk mempertahankan diri dari semua keadaan dan bahkan ingin menguasai manusia lainnya dan alam. Sebaliknya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain sehingga diperlukan penyesuaian-penysuaian diri dalam berinteraksi. Berangkat dari itu pula maka melihat hukum yang berlaku dimana-mana adalah merupakan penjelmaan hidup kemasyarakatan sehinga setiap masa mempunyai penjelmaan hukum selaras dengan corak dan bentuk, susunan dan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini akal budi manusia merupakan prinsip pertama yang mengikat manusia bertindak atau tidak bertindak,. Jadi akal budilah yang menciptakan peraturan dan ukuran atau dengan kata lain hukum hanya sebagian dari ciptaan kebudayaan manusia yang akan berlainan menurut masyarakat yang menjelmakan kebudayaan itu dan terikat pada ruang dan waktu, sehinga hukum itu berbeda dari masyaraka ke masyarakat.<br />10. Jelaskan dua nilai yang harus diserasikan di bidang hukum dan berikan alasannya ?<br />a. Dua nilai yang harus diserasikan adalah kebebasan dan ketertiban. Sebab kebebasan tanpa ketertiban adalah anarki, sedangkan ketertiban tanpa kebebasan adalah diktaktor/otoriter. Dimana dalam hukum istilah kebebasan disebut kesebandingan hukum yang mewakili kepentingan pribadi, sedangkan ketertiban disebut kepastian hukum yang mewakili kepentingan antar pribadi. Keserasian merupakan bahasa sehari-hari secara etis disebut keadilan dan secara sosiologis disebut kedamaian. Adanya keadilan dan kedamain dalam hidup masyarakat bergantung pada kesadaran dari warga masyarakat. Berkaitan dengan kemungkinan masyarakat melakukan pelanggaran hukum secara sadar maupun tidak, maka hukum harus bersandarkan diri pada kesadaran moral atau rasa tanggungjawab yang tinggi. Dimana bagi warga negara Indonesia rasa dan kesadara moral terhadap hukum dan negara tercakup dalam istilah Moral Pancasila<br />11. Apakah yang disebut Adil itu ?<br />a. Kata adil berasal dari kata arab al-adalah yang berarti meletakkan sesuatu pada tempatna ataubisa juga berarti lurus, keadilan tidak berat sebelah, kepatutan, atau berlaku adil, tidak berat sebelah, berimbang. Tetapi menurut Aristoteles bahwa keadilan tidak boleh disamakan dengan persamaan atau kesama-rataan atau dengan perkataan lain. Keadilan tidak berarti bahwa tiap-tiap orang harus mendapat sama banyaknya, dan disamping itu pengertian keadilan adalah suatu tata tertib yang didalamnya terdapat kesimbangan, di mana setiap orang terjamin akan haknya selaras dengan apa yang seharusnya diperoleh, namun demikian pemahaman adil yang berangkat dri hasil perenungan manusia bisa saja adil menurut manusia belumlah berarti adil menurut Agama. Apa yang dikatakan adil oleh manusia belum tentu adil menurut Tuhan. Keadilan menurut Tuhan adalah apa-apa yang terdapat dalam wahyu yang diturunkanNYA melalui Rosul-rosulNYA, dan yang terakhir pada nabi Muhammad SAW.<br />b. Keharusan menjaga kebenaran dan keadilan juga diatur dalam Surah An-Nisaa (Surat ke-4) Ayat 105 yang mengatakan, “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat<br />12. Apakah yang disebut Hak itu ?<br />a. Hak adalah pengambilan seseorang akan bagiannya dengan tidak lebih dan pemberiannya kepada orang lain akan haknya dengan tidak kurang. Dan setiap orang akan mempunyai Innate Right (hak yang dibawa dari lahir) dan hak acquired Right (hak yang diperoleh). <br />b. Sedangkan menurut Kamus Hukum Hak (recht) merupakan kebebasan untuk berbuat sesuatu berdasarkan hukum. Hak perdata untuk berbuat sesuatu, selalu mengandung di dalamnya suatu hak untuk tidak melakukan perbuatan itu, jika tak demikian halnya, hak itu ingkar akan dirinya. Dalam pada itu hak publik untuk melakukan tindakan sesuatu berarti kewajiban untuk melakukan tindakan itu.<br /><br />13. Apakah yang disebut kewajiban<br />a. Kewajiban adalah keharusan seseorang melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diterimanya (diamanahkan) atau yang sesuatu telah menjadi ketentuan yang mengikat dirinya.Umpam kewajiban untuk menutup dan membuka pintu kereta api. Kewajiban untuk bela negara.<br />14. Apakah ukurannya bagi sebutan :<br />a. Orang yang adil adalah orang yang mengatakan sebenar-benarnya apa-apa yang dia ketahui karena rasa takut kepada Allah SWT, bukan takut kepada manusia atau jabatan, serta kekuasaan. Jadi ukurannya adalah mengemukakan kebenaran tanpa dipengaruhi oleh apapun kecuali atas nama Allah SWT seperti bunyi firman Allah dalam Surat An-Nissaa’ (Wanita) “Wahai orang-orang yang beriman: Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah barpun terhadap kaum kerabatmu, Jika ia (orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.Maka Janganlah kamu mengikuti hawanafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan Jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”<br />Sedangkan menurut Aristoteles berpendapat bahwa orang yang adil itu adalah orang yang berpegang pada hukum. Orang yang patut dan baik, apa yang adil ialah apa yang menurut hukum dan apa yang patut dan baik.<br />Keharusan menjaga kebenaran dan keadilan juga diatur dalam Surah An-Nisaa (Surat ke-4) Ayat 105 yang mengatakan, “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat<br />b. Masyarakat yang Adil, adalah dimana hukum dijadikan Panglima dalam menjalani kehidupan sehari-hari , dimana interaksi antar manusia sangat kuat terjadi, kemungkinan untuk tidak berlaku adil mungkin saja terjadi, tetapi bila hukum dijadikan panglima dalam kehidupan sehari-hari Insya Allah keadilan akan selalu berada di dalamnya, karena sesuatu yang tidak dapat disangkal ialah adanya hubungan antara hukum dan keadilan. Untuk meneggakan keadilan perlu adanya hukum yang bebas dari unsur-unsur negatif. (kekuasaan yang otorirer, dlr).<br />c. Pemerintah yang adil, Memang tidak semudah membalik telapak tangan bahwa mentakan suatu pemerintahan sudah berbuat adil. Untuk menciptakan suatu pemerintahan yang adil sudah pasti akan menuai banyak protes-protes dari berbagai kalangan yang merasa tidak terpenuhi aspirasinya, tetapi yang penting dalam suatu pemerintahan yang adil harus terjadi pembagian kewenangan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sehingga terlihat ketiga bagian tersebut berjalan seiring (satu langkah), karena keadilan itu hanya merupakan alat untuk melaksanakan hukum kepada semua orang dengan tidak boleh memandang perbedaan maupun kedudukannya sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surat An-Nissa ayat 58 yaitu “Dan apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan adil”<br />Jadi pemerintahan yang adil adalah pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan dengan memenuhi kewajibannya yang tertuang dalam konstitusi dengan sebaik-baiknya. Artinya pemerintah adalah pelayan masyarakat bukan pemerintah harus dilayani oleh masyarakat. (apabila itu terjadi tunggulah kehancurann pemerintahan tersebut).<br />15. Jelaskan pembagian hak menurut Ilmu ?<br />- Hak adalah suatu anugrah dari Allah SWT, dimana setiap bayi yang lahir akan selalui diikuti oleh Haknya walaupun sudah pasti ada juga kewajibannya (Bagai mata uang yang mempunyai dua sisi). Dalam hal ini pembagian hak menurut hukum adalah suatu pembagian hak Innate yang dimiliki secara alamiah bebas dari semua tindakan campur tangan orang lain atau bebas dari semua tindakan pengalaman menurut hukum, dimana hak Innate dapat juga disebut atau diucapkan dengan kata-kata memiliki sebagai expresi dari kepribadian seseorang. Hak. Innate juga merupakan hak kemerdekaan yang melekat sejak lahir (birthright of freedom), dimana kemerdekaan mempunyai arti kebebasan dari keinginan wajib dari orang lain, sehingga setiap orang menjadi majikan atas haknya itu sejauh mana kebebasan dapat berada bersama-sama dengan kebebasan orang lain sesuai dengan aturan hukum yang universal.<br />16. Bagaimanakah memutuskan suatu perkara berdasarkan Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ?<br />- Memang dalam memutuskan suatu perkara kita berusaha memutuskan dengan seadil-adilnya, oleh karena itu kita selalu bersandar pada kata “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” walaupun kita mengetahui bahwa kemampuan manusia untuk berlaku adil selalu dibatasi oleh kedalaman Moral (standard of Morality) oleh karena itu bagi orang yang bekerja di lapangan hukum diperlukan akan suatu sikap kejiwan yang kokoh, sehingga tidak terombang-ambing dalam menjalankan profesinya, dan pada hakekatnya hukum dan keadilan itu adalah persoalan hati nurani (geweten) manusia dan persoalan kepercayan.<br />- Oleh karena itu seharusnya manusia sebagai penegak hukum selalu berpegang pada Firman Allah dalam urat Al Maidah ayat 8 yang berbunyi : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku idak adil. Berlaku adilah karena adil itu lebih dekat kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.<br />17. Apakah latar belakang yang menyebabkan banyak terjai pelanggaran hukum ?<br />- Latar belakang banyaknya terjadi pelanggaran hukum berangkat dari masalah hukum pada hakekatnya adalah soal hati nurani (geweten). Hati nurani adalah suara yng terpancar dari lubuk hati yang biasanya disebut bisikan hati kecil, bisikan hati kecil ini merupakan gambaran hati nurani seseorang. Suara inilah yang membuat seseorang berbuat patuh terhadap suatu hukum atau tidak patuh terhadap suatu hukum. Kembali lagi kepada standard of Morality, bila ia tidak mempunyai hal tersebut, maka ia pasti tidak akan mendengarkan suara hati nuraninya, dan bila itu sering terjadi, maka mungkin selamanya ia akan melanggar peraturan (nuraninya tertutup). Tetapi ada juga pelanggaran hukum itu akibat dari tekanan luar seperti :<br />§ Hukum dirasakan yang berlaku sangat membatasi dan menekan ruang gerak seseorang seperti pada masa pemerintahan orde baru mempergunakan pasal-pasal Subversif yang bagaikan karet bisa melar kemana-mana.<br />§ Hukum yang dbuat tidak mengandung unsur keadilan tetapi hanya mementingkan satu atau dua golongan saja.<br />§ Hukum dibuat dengan tujuan sebagai suatu alat untuk mengontrol dan menguasai orang lain.<br />§ Hukum yang dibuat tidak memenuhi 5 aspek, Yuridis, Politis, Sosiologis, Ekonomis, Philosofis. <br />18. Apakah upaya-upaya yang harus dilakukan untuk keluar dari masalah pelanggaran hukum yang banyak itu ?<br />- Langkah awal adalah menyadari bahwa pelnggaran hukum bisa akibat dari dalam hati nurani seseorang atau bisa juga berasal dari tekanan luar diri seseorang. Berangkat dari tekanan dari luar ini merupakan akibat dari peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat banyak. Padahal tugas yang utama dari suatu pemerintahan ialah mengusahakan keselamatan hidup masyarakatnya, memelihara kemungkinan perkembangan hidup bagi tiap-tiap warganya dengan segala daya dan upaya untuk menciptakan kebahagiaan, keselamaan dan kesejahteraan serta kemajuan rakyatnya, yang selalu berpedoman kepada keadilan dan hukum. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan untuk keluar dari masalah pelanggaran hukum adalah menyeimbangkan antara penegakan hukum dengan nilai-nili kehidupan yang ada di masyarakat, sehingga membuat hati orang yang terikat pada hukum merasa tenang tidak tertekan, dan pada akhirnya akan merasakan kepuasan terhadap peraturan/hukum tersebut.<br />19. Bagaimana pandangan Islam tentang Hukum dan keadilan ?<br />- Pandangan Islam terhadap Hukum jelas terlihat pada surat-surat yang ada di dalam Al-Quran seperti surat An-Nissa dan al Maida, dimana setiap orang harus berbuat adil. Dan Hukum dilihat dari sudut Islam merupakan aturan yang wajib ditaati agar manusia menjalani kehidupannya di muka bumi sehingga pada akhirnya selamat. Hukum merupakan pedoman, dan tuntunan yang mengandung aturan-aturan, perintah maupun larangan, dan tujuan-tujuan. Apabila diikuti dengan taat dan benar akan mencapai kepada kehidupan yang diidam-idamkan setiap manusia yaitu tertib, tentram dan adil dan berakhir pada kemakmuran lahir dan batin.<br />- Sedangkan keadilan menurut pandangan Islam merupakan tonggak kehidupan seseorang yang berhati nurani karena dengan kuatnya standard of Morality, maka akan mampu meletakkan suatu perkara secara proporsional dan terbebas dari keberpihakan atau kepentingan sepihak/golongan. Keadilan tidak dapat dipengaruhi oleh perasaan senang, terpaksa, permusuhan, kedudukan, dan lain-lain. Adil di kacamata Islam adaah salah satu norma yang menunjukkan tingkat ketaqwaan seseorang muslim terhadap ajaran yang diwahyukan oleh Allah SWT ke Nabi Besar Muhammad SAW.<br />20. Jelaskan sejarah perkembangan tertib hukum dalam Islam ?<br />- Pada jaman Rosullullah masih hidup, maka setiap kejadian hukum atau perkara hukum akan selau dimintakan pendapat dari Rosulullah apabila dalam rujukan di firman-firman Allah tidak ada, dan pada saat beliau masih ada bukan merupakan suatu masalah yang begitu pelik, tetapi setelah beliau wafat, maka terdapat peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi dimasa Rosulullah, maka mulai timbul metode berfikir/ pola berfikir yang berbeda-beda satu sama lainnya. Seperti pada jaman Chulaffa’urrasidin apabila ada masalah/perkara baru yang belum ada pada saat Rosul hidup, maka mereka kemudian mengumpulkan orang-orang yang cerdik pandai (cendikiawan) yang telah teruji kemampuan ilmu dan kesholehannya untuk memusyawarahkan suatu perkara tersebut. Hasil dari mufakat tersebut disahkan sebagai suatu keputusan dan berlaku sebagai hukum (ijma ushahabah) Selanjutnya ahli hukum islam yang datang kemudian dipandangnya sebagai narasumber yang ketiga. Sesudsh al-Quran dan Sunnah (hadits) metode yang dilakukan oleh para ahli ukum islam tersebut disebut qias (analogi). Tetapi semakin menjauh jaman dari sepeninggalnya Rosullah, maka qiyas yang dilakukan oleh para ulama semakin lemah. Sehingga perlu adanya metode baru seperti pada periode Imam Hanafi (80-150 H) mempergunakan metode Istihsan yang berarti mencari mana yang baik (terbaik) dan Imam Maliki (93-179 H) mempergunakan metode istihsan yang dipahami dengan mencari mana yang lebih membawa maslahat bagi orang banyak (masyarakat/ umum). Imam Syafi’I (150-204) mempergunakan metode istidlal yang berati mencari alasan. Demikianlah metode yang dipakai oleh cendikiawan muslim sepeninggal Rosul. Dan pada jaman sekarang Khususnya di Indonesia apabila ada persoalan hukum yang berkaitan dengan agama, maka peran dari MUI sangatlah diperlukan dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkannya. Dimana fatwa itu berasal dari pengamatan, investigasi dan sebagainya dari para ulama-ulama yang mempunyai kemampuan dibidang tersebut dan teruji kearifannya..<br />21 Jelaskan kaedah-kaedah yang penting yang harus menjadi pedoman dalam berhukum dalam Islam ?<br />- Landasan dasar yang harus dipegang dalam berhukum dalam islam yaitu adanya rasa tawakal, ikhlas untuk mengikuti atau taat kepada seluruh aturan yang berkiblat kepada Al-qura’an dan Hadits. Adapun kaidah-kaidah lebih lanjut dalam meletakkan hukum dalam pandangan Islam adalah :<br />a. Dalam pelaksanaan sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan rakyat, kepala negara (presiden) harus mendasarkan atas kemaslahatan umum.<br />b. Kebutuhan hidup harus diutamakan, dengan landasan yang jelas halal dan haram.<br />c. Prilaku yang baik yang berakhir pada kebiasan-kebiasan yang lazim disebut oleh masyarakat kita adalah Adat istiadat harus mendapat tempat dalam pembuatan hukum, agar ada rasa memiliki terhadap hukum tersebut atau hukum memang berangkat dari kehidupan masyarakat yang dinormatifkan oleh pemerintah.<br />22 Apakah yang dimaksud dengan “Pancasila” adalah sumber tertib hukum yang biasanya disebut sumber dari segala sumber hukum ?<br />- Pengertian Sumber hukum menurut Kamus Hukum adalah asal dari pada hukum. Pada hakekatnya sumber hukum adalah rasa keadilan. Tetapi perkataan sumber hukum juga banyak dipakai dalam arti: tempat-tempat dari mana kita dapat mengetahui hukum yang berlaku, tenpat-tempat dari mana kita harus mengambil peraturan-peraturan hukum yang harus diterapkan.<br />- Berkaitan dengan paparan di atas, maka pengertian Pancasila sebagai dasar dari sumber tertib hukum berangkat dari para pendiri negara Indonesia menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan organisasi politik dan kemasyarakatan (periode tahun 1980 dimana hal ini menimbulkan protes yang keras terutama oleh organisasi-organisasi Islam dalam asas tunggal Pancasila.)<br />- Namun seiring dengan berjalannya waktu ternyata sampai saat ini Pancasila tetap diterima sebagai ideologi Negara Republik Indonesia, karena dalam susunan hirarki berbentuk piramid itu Pancasila sebagai suatu cita-cita hukum, berada di puncak segi tiga tersebut. Pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia, baik bidang hukum, politik, ekonomi, sosial kebudayaan, pertahanan dankeamanan (Inpoleksosbudhankam). Pancasila itu merupakan pencerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa Indonesia sendiri. Jadi dengan diterapkannya dan diamalkannya Pancasila itu diseluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia, berarti itu telah memberikan kepada rakyat apa yang menjadi jiwa dan cita-citanya. Pancasila itulah yang menjadi 4 pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. pancasila sebagai dasar falsafah negara kita, yang fundamentaltidak mungkin dirubah lagi melalui jalan hukum. Karena apabila terjadi perubahan Pancasila sebagai dasar yang fundamental dari negara kita akan berakibat berubahnya sama sekali atau lebih tegasnya dapat dikatakan hapusnya negara republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.<br />23 Dalam hidup ini terdapat nilai-nilai yang berpasangan namun sekaligus bertentangan (antinomi). Jelaskan dua nilai yang harus diserasikan di bidang hukum beserta alasannya ?<br />- Dua nilai yang harus diserasikan adalah kebebasan dan ketertiban. Sebab kebebasan tanpa ketertiban adalah anarki, sedangkan ketertiban tanpa kebebasan adalah diktaktor/otoriter. Dimana dalam hukum istilah kebebasan disebut kesebandingan hukum yang mewakili kepentingan pribadi, sedangkan ketertiban disebut kepastian hukum yang mewakili kepentingan antar pribadi. Keserasian merupakan bahasa sehari-hari secara etis disebut keadilan dan secara sosiologis disebut kedamaian. Adanya keadilan dan kedamain dalam hidup masyarakat bergantung pada kesadaran dari warga masyarakat. Berkaitan dengan kemungkinan masyarakat melakukan pelanggaran hukum secara sadar maupun tidak, maka hukum harus bersandarkan diri pada kesadaran moral atau rasa tanggungjawab yang tinggi. Dimana bagi warga negara Indonesia rasa dan kesadara moral terhadap hukum dan negara tercakup dalam istilah Moral Pancasila<br />- Berkaitan dengan Moral Pancasila para ahli hukum dan ahli sosiologi telah sampai pada titik pandangan bahwa ada interdependency antara agama, kesusilaan dan hukum, sebagaimana terdapat dalam pernyataan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Indonesia.<br />- Pancasila menunjuk kepada kita adanya keserasian hubungan antara Pencipta dan Ciptaannya. Keserasian hubungan ini dinyatakan dalam bentuk toleransi umat beragama dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Mengingat hal ini, maka wajarlah apabila hukum tidak hanya untuk keserasian hidup antar manusia tetapi juga keserasian lingkungan hidup manusia.<br />- Selain dari pada itu Pancasila menunjukkan kepada keserasian hubungan antar individu dan masyarakat. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB merupakan suatu bentuk pernyataan dari unsur kalbu (rohani) yang positip dalam arti Ia mampu mawas diri apakah Ia sudah hidup secara logis, etis dan estetis. Perbuatan mawas diri menghasilkan sikap tepo seliro terhadap orang lain.<br /><br /><br />24 Jelaskan Pancasila sebagai sendi keserasian hukum ?<br />- Perkataan Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari 2 suku kata yakni :<br />· Panca berarti lima<br />· Sila berarti dasar atau asas<br />- Jadi pancasila berarti lima dasar atau lima asas. Di atas kelima dasar inilah berdirinya negara Republik Indonesia. Pancasila bagi negara Indonesia adalah sama halnya dengan fundamen bagi sebuah gedung, dimana untuk mendapatkan sebuah gedung yang kuat dan kokoh perlu suatu fundamen yang kuat dan kokoh pula. Begitu pula dari sisi hukum , maka perlu ada keserasian dalam pembuatan Undang-undang yang harus berpegang pada sendi-sendi Pancasila (sumber dari segala sumber hukum di Indonesia), dimana Pancasila sebagai paradigma di bidang hukum mempunyai pandangan sbb:<br />· Keserasian hubungan antara pencipta dan ciptaanNya<br />· Keserasian hubngan antara induvidu dan masyarakat<br />· Keserasian kebhinekaan suku dan golongan dengan ketunggalan bangsa.<br />· Keserasian melalui konsensus untuk mempertahankan kebersamaan dalam perbedaan.<br />· Setiap anggota masyarakat memperoleh apa yang menjadi haknya serta mendapat bagian yang wajar dari hasil yang diperoleh negara.<br />- Sehingga dalam pembuatan undang-undang sudah sepatutnya berisi pesan-pesan tersebut atau ada keserasian antara undang-undang yang dibuat dengan Pancasila, dan tidak berseberangan dengan Pancasila sebagai dasar hukum Indonesia yang tertinggi.<br />25. Dengan adanya prinsip “Praduga Tidak Bersalah” dalam hukum Acara Pidana, bagaimanakah pengaruhnya terhadap pelaksanaan pemeriksaan?<br />- Presumption of Innocent Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 humf c KUHAP. Asas ini juga telah dirumuskan dalam pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi: <br />“Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.<br />- Dalam pasal tersebut terlihat penghargaan hak asasi yang dijunjung tinggi dalam pelaksanaannya apakah itu dalam konteks pemeriksaan, pembuatan BAP, persidangan. <br />- Pada prinsipnya asas tersebut sangat dipegang oleh sistem hukum Indonesia, dimana dari ybs. Menjadi saksi sampai menjadi tersangka dan selanjutnya terdakwa, akan didampingi oleh pengacara atau pembela yang ditunjuk oleh ybs. Dan bila tidak mampu membayar pengacara tersebut negara wajib menyediakan pengacara atas persetujuan ybs (posbakum, LBH, dll)<br />- Jadi pengaruhnya asas tersebut pada pelaksanaan pemeriksaan sangat menghargai hak asasi ybs. Dan ini sangat beda antara sistem HIR dan KUHAP dimana sistem HIR (sebelum KUHAP berlaku, menganut inkuisitor tersangka sudah pasti pelaku kejahatan tanpa harus menunggu putusan pengadilan), sedangkan KUHAP menganut angkusitor yaitu tersangka merupakan subyek hukum dan harus dijaga martabatnya sebagai manusia dengan memberikan/menjalankan asas tersebut.setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-86715924037484068712010-03-10T23:29:00.000-08:002010-04-11T00:04:21.295-07:00HUKUM PERSEROAN TERBATAS Berdasar UU Nomor 40 Th 2007<div style="text-align: justify;"><br /><br /><br />HUKUM PERSEROAN TERBATAS<br /> (Berdasar UU Nomor 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas)<br /><br />A. DASAR HUKUM<br />Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yang secara efektif berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2007. Sebelum UUPT 2007, berlaku UUPT No. 1 Th 1995 yg diberlakukan sejak 7 Maret 1996 (satu tahun setelah diundangkan) s.d. 15 Agt 2007, UUPT th 1995 tsb sebagai pengganti ketentuan ttg perseroan terbatas yang diatur dalam KUHD Pasal 36 sampai dengan Pasal 56, dan segala perubahannya (terakhir dengan UU Noo. 4 Tahun 1971 yang mengubah sistem hak suara para pemegang saham yang diatur dalam Pasal 54 KUHD dan Ordonansi Perseroan Indonesia atas saham -Ordonantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen (IMA)- diundangkan dalam Staatsblad 1939 No. 569 jo 717.Peraturan Perundang-undangan lainnya yang terkait Peraturan Pelaksanaan (PP dst.) <span class="fullpost"><br /><br />B. PENGERTIAN PT<br />Istilah Perseroan Terbatas (PT) dulunya dikenal dengan istilah Naamloze Vennootschap (NV). Istilah lainnya Corporate Limited (Co. Ltd.), Serikat Dagang Benhard (SDN BHD).Pengertian Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni “perseroan” dan “terbatas”. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari sero-sero atau saham-saham. Adapun kata terbatas merujuk kepada pemegang yang luasnya hanya sebatas pada nilai nominal semua saham yang dimilikinya.<br />Berdasar Pasal 1 UUPT No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.<br />C. PT = SUBYEK HUKUM <br />PT merupakan perusahaan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan status yang demikian itu, PT menjadi subyek hukum yang menjadi pendukung hak dan kewajiban, sebagai badan hukum, PT memiliki kedudukan mandiri (persona standi in judicio) yang tidak tergantung pada pemegang sahamnya. alam PT hanya organ yang dapat mewakili PT atau perseroan yang menjalankan perusahaan (Ery Arifudin, 1999: 24). Hal ini berarti PT dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau utang (ia bertindak dengan perantaraan pengurusnya). <br />Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari persero pengurus dianggap sebagai kehendak PT. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas nama PT, pertanggungjawabannya terletak pada PT dengan semua harta bendanya (Normin S. Pakpahan, 1997: 75).<br />Berdasar Pasal 1 UUPT No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.<br /><br />D. UNSUR-UNSUR PT.<br />Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk dpt disebut sbg perusahaan PT menurut UUPT harus memenuhi unsur-unsur:<br />1. Berbentuk badan hukum, yg mrpk persekutuan modal;<br />2. Didirikan atas dasar perjanjian;<br />3. Melakukan kegiatan usaha;<br />4. Modalnya terbagi saham-saham;<br />5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dlm UUPT serta perat. Pelaksanaannya.<br /><br /> 1. Persyaratan Material Pendirian Pt<br />Untuk mendirikan suatu perseroan harus memenuhi persyaratan material antara lain: <br />a. perjanjian antara dua orang atau lebih; <br /> b.dibuat dengan akta autentik<br /> c . modal dasar perseroan<br /> d. pengambilan saham saat perseroan didirikan <br /> 2. Prosedur Pendirian Pt<br />(a) Persiapan, antara lain: kesepakatan-kesepakatan/perjanjian antara para pendiri (minimal 2 org atau lebih) utk dituangkan dalam akta notaris dan akta pendirian. (b) Pembuatan Akta Pendirian, yg memuat AD dan Keterangan lain berkaitan dg pendirian Perseroan, dilakukan di muka Notaris.Pengajuan permohonan (melalui Jasa TI & didahului dg pengajuan nama perseroan) Pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM (jika dikuasakan pengajuan hanya dpt dilakukan oleh Notaris)à diajukan paling lambat 60 hari sejak tgl akta pendirian ditanda-tangani, dilengkapi ket dg dokumen pendukung. Jika lengkap Menteri langsung menyatakan tdk keberatan atas permohonan ybs secara elektronik. Paling lambat 30 hari sejak pernyataan tdk keberatan, ybs wajib menyampaikan scr fisik srt permohonan yg dilampiri dokumen pendukung, 14 hari kmd Menteri menerbitkan keputusan pengesahan BH Perseroan yg ditanda-tangani scr elektronik. ( c) Daftar Perseroan (diselenggarakan oleh Menteri, dilakukan bersamaan dg tgl Kepmen mengenahi Pengesahan BH Perseroan, persetujuan atas perubahan AD yg memerlukan Persetujuan; penerimaan pemberitahuan perub AD yg tdk memerlukan persetujuan; atau penerimaan pepberitahuan perub data perseroan yg bukan mrpk perub AD). Daftar perseroan terbuka utk umum.5. Pengumuman dalam Tambahan Berita negara RI (pengumuman dalam TBNRI diselenggarakan oleh Menteri, antara lain: akta pendirian perseroan beserta Kepmen ttg Pengesahan BH Perseroan; akta perubahan AD beserta Kepmen sbgmana dimaksud Psl 21 ayat (1); Akta perubahan AD yg telah diterima pemberitahuanya oleh menteri).®<br /><br />(3) Perbedaan Persyaratan PT pada Umumnya dg PT Bank<br />PT pada Umumnya:<br />(1) Prosedur pengesahan badan hukum: tidak perlu adanya persetujuan prinsip dari intansi terkait<br />(1) Kegiatan Usaha: boleh melakukan kegiatan usaha rangkap/lebih dari satu kegiatan usaha <br />(1) Permodalan: Modal dasar minimal Rp 50 juta.<br />(1) Kepemilikan: tidak ada pembatasan.<br />(1) Direksi dan Komisaris: dapat dilakukan oleh siapa saja yang memenuhi ketentuan UUPT. <br />PT Bank :<br />1). Prosedur pengesahan badan hukum: PT bank persetujuan prinsip dari Dewan Gubernur BI mrpkan kausa diberikannya pengesahan<br />2). Kegiatan usaha: perbankan merupakan satu-satunya kegiatan usaha<br />3). Permodalan: Modal disetor minimal Rp 3 Trilyun utk pendirian Bank Umum; sedang BPR di DKI Jakarta raya: Rp 5 M, di Ibukota Ibukota Propinsi di P. Jawa & bali dan di wil. Kab/Kota Botabek: Rp 2 M, di Ibukota Prop. Di luar P. Jawa & bali: Rp 1 M, dan wilayah lain di luar wil. di atas: Rp. 500 juta. (PBI No. 2/27/PB/2000 jo PBI No. 6/22/PBI/2004). 4. Kepemilikan: ada pembatasan sebagaimana diatur dalam UU & perat. Pelaksanaannya (PBI No. 2/27/PB/2000 jo PBI No. 6/22/PBI/2004).<br />4). Direksi dan Komisaris: untuk PT bank perlu ditambah adanya fit and proper test dari BI dan persyaratan lain yang diatur dalam PBI No. 2/27/PB/2000 jo PBI No.6/22/PBI/2004 jo PBI No. 6/23/PBI/2004 jo SEBI No. 6/35/DPBPR tgl 16 Agustus 2004).<br />1. MODAL DASAR<br />Modal Dasar : paling sedikit Rp 50 juta (Ps 32 ayat (1) dan (2) UUPT No. 40/2007). Paling sedikit 25% dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh (Ps 33 ayat (1) UUPT.<br />2. MODAL DITEMPATKAN<br />Modal ditempatkan dan disetor penuh dibuktikan dg bukti penyetoran yg sah & pengeluaran saham lebih lanjut utk menambah modal yg ditempatkan hrs disetor penuh.<br />3. MODAL DISETOR<br />Modal ditempatkan dan disetor penuh dibuktikan dg bukti penyetoran yg sah & pengeluaran saham lebih lanjut utk menambah modal yg ditempatkan hrs disetor penuh.Bentuk setoran modal saham dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya (Ps. 34 ayat (1) UUPT 40/2007). <br />4. Penilaian Setoran Modal<br />Apabila saham dilakukan dalam bentuk lain selain uang, penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yg ditetapkan sesuai harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dg perseroan, dan jika mrpk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam satu surat kabar atau lebih, dlm jangka waktu 14 hr setelah akta pendirian dittd atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tsb. (Ps. 34 ayat (2) dan ayat (3) UUPT) <br />Dalam praktik di Pasar Modal penyetoran saham dilakukan dengan cara: dengan uang tunai, konversi hutang PS, kapitalisasi saham ditahan, surplus hasil aktiva tetap, inbreng saham perusahaan lain dan harta tetap.<br /> 5. Larangan Kompensasi<br />Pemegang Saham (PS) dan Kreditor lainnya yang mempunyai tagihan terhadap perseroan tidak dapat menggunakan hak tagihnya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas harga saham yg telah diambilnya, kecuali disetujui oleh RUPS (Ps 35 ayat (1). <br />Hak tagih thd Perseroan yang dapat dikompensasi sbg setoran saham adalah hak tagih thd Perseroan yg timbul krn (Psl 35 ayat (2):<br />1.Perseroan telah menerima uang atau penyerahan benda berwujud atau tdk berwujud yg dpt dinilai dg uang;<br />2.Pihak yg menjadi penanggung/penjamin utang telah membayar lunas utang perseroan sebesar yg ditanggung/dijamin; atau<br />3.Perseroan menjadi penanggung atau penjamin utang dr pihak ketiga & Perseroan telah menerima manfaat brp uang atau barang yg dapt dinilai dg uang yg langsung atau tdk langsung secara nyata telah diterima perseroan. <br /><br />6. Larangan Saham utk Dimiliki Sendiri<br /> Perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki Perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan (cross holding). <br />Larangan tsb tidak berlaku thd kepemilikan saham yg diperoleh berdasarkan peralihan krn hukum, hibah, atau hibah wasiat. Namun dlm jangka waktu 1 th stlh tgl perolehan harus dialihkan kpd pihak lain yg tdk dilarang memiliki saham dlm perseroan. (Ps. 36 UUPT 40/2007).<br /> <br /><br />E. PERLINDUNGAN MODAL & KEKAYAAN (Pembatasan Pembelian Saham Kembali)<br />Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan:<br />a. Pembelian kembali saham tersebut tdk menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yg telah disisihkan; dan <br />b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yd dibeli kembali oleh perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yg dipegang perseroan sendiri dan/atau perseroan lain yg sahamnya secara langsung atau tdk langsung dimiliki oleh Perseroan, tidak melebihi 10% dr jumlah modal yang ditempatkan dlm perseroan. (Ps 37 ayat (1) UUPT 40/2007).<br /><br />1. Konsekuensi Hukum Pelanggaran Pembelian Saham Kembali<br />Pembelian kembali saham, baik secara langsung maupun tdk langsung yang beretentangan dengan Psl 37 ayat (1) batal karena hukum dan pembayaran yang telah diterima oleh pemegang saham harus dikembalikan kpd perseroan, dan perseroan wajib mengembalikan saham yg telah dibeli tersebut kpd PS.<br />Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas semua kerugian yang diderita PS yg beritikad baik akibat batal krn hukum tsb (Ps. 37 ayat (3) UUPT 40/2007).<br />Saham yg dibeli kembali Perseroan hanya boleh dikuasai Perseroan paling lama 3 tahun (Ps 37 ayat (4). Pembelian kembali saham atau pengalihannya lebih lanjut hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS, kecuali ditentukan lain dalam Per-UU dibidang Pasar Modal (Ps 38 ayat (1) UUPT). <br />Saham yg dikuasai Perseroan krn pembelian kembali, peralihan krn hukum, hibah atau hibah wasiat tdk dapat digunakan utk mengeluarkan suara RUPS dan tdk diperhitungkan dlm menentukan jmlh kuorum yg harus dicapai sesuai dg ketentuan UUPT dan/atau AD (Ps 40 ayat (1) UUPT). Saham yg dikuasai Perseroan tidak berhak mendapat deviden.<br /><br />2. Penambahan Modal (Ps 41 – 43 UUPT)<br />Penambahan Modal Perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS. Keputusan RUPS untuk penambahan modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Keputusan RUPS untuk penambahan modal ditempatkan dan disetor dalam batas modal dasar adalah sah apabila dilakukan dengan kuorum kehadiran lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari seluruh jumlah saham dengan hak suara dan disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh suara yang dikeluarkan, kecuali ditentukan lebih besar dalam anggaran dasar. Penambahan modal wajib diberitahukan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan. Seluruh saham yang dikeluarkan untuk penambahan modal harus terlebih dahulu ditawarkan kepada setiap pemegang saham seimbang dengan pemilikan saham untuk klasifikasi saham yang sama. Dalam hal saham yang akan dikeluarkan untuk penambahan modal merupakan saham yang klasifikasinya belum pernah dikeluarkan, yang berhak membeli terlebih dahulu adalah seluruh pemegang saham sesuai dengan perimbangan jumlah saham yang dimilikinya. <br />Penawaran saham tidak berlaku dalam hal pengeluaran saham: <br />a. ditujukan kepada karyawan Perseroan; <br />b. ditujukan kepada pemegang obligasi atau efek lain yang dapat dikonversikan menjadi saham, yang telah dikeluarkan dengan persetujuan RUPS; atau <br />c. dilakukan dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi yang telah disetujui oleh RUPS. <br /><br /><br /><br />Dalam hal pemegang saham tidak menggunakan hak untuk membeli dan membayar lunas saham yang dibeli dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penawaran, Perseroan dapat menawarkan sisa saham yang tidak diambil bagian tersebut kepada pihak ketiga. <br /><br />Pengurangan Modal (Ps 44-47 UUPT)<br />Keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan ketentuan kuorum dan jumlah suara setuju untuk perubahan anggaran dasar sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.<br />Direksi wajib memberitahukan keputusan RUPS kepada semua kreditor dengan mengumumkan dalam 1 (satu) atau lebih Surat Kabar dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. <br />Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman, kreditor dapat mengajukan keberatan secara tertulis disertai alasannya kepada Perseroan atas keputusan pengurangan modal dengan tembusan kepada Menteri.<br />Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak keberatan diterima, Perseroan wajib memberikan jawaban secara tertulis atas keberatan yang diajukan. <br />Dalam hal Perseroan: <br />a. Menolak keberatan atau tidak memberikan penyelesaian yang disepakati kreditor dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban Perseroan diterima; atau <br />b. tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal keberatan diajukan kepada Perseroan, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Pengurangan modal Perseroan merupakan perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri. <br />Persetujuan Menteri diberikan apabila: <br />a. tidak terdapat keberatan tertulis dari kreditor dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UUPT; <br />b. telah dicapai penyelesaian atas keberatan yang diajukan kreditor; atau <br />c. gugatan kreditor ditolak oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. <br /><br />Keputusan RUPS tentang pengurangan modal ditempatkan dan disetor dilakukan dengan cara penarikan kembali saham atau penurunan nilai nominal saham. Penarikan kembali saham dilakukan terhadap saham yang telah dibeli kembali oleh Perseroan atau terhadap saham dengan klasifikasi yang dapat ditarik kembali. Penurunan nilai nominal saham tanpa pembayaran kembali harus dilakukan secara seimbang terhadap seluruh saham dari setiap klasifikasi saham. Keseimbangan dapat dikecualikan dengan persetujuan semua pemegang saham yang nilai nominal sahamnya dikurangi. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, keputusan RUPS tentang pengurangan modal hanya boleh diambil setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari semua pemegang saham dari setiap klasifikasi saham yang haknya dirugikan oleh keputusan RUPS tentang pengurangan modal tersebut. <br /><br />Pertanggungjawaban pribadi Pemegang Saham (Ps 3 UUPT 40/2007)<br />Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku apabila:<br />a. .persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; <br />b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; <br />c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau <br />d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. <br />SAHAM<br />Saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Persyaratan kepemilikan saham dapat ditetapkan dalam anggaran dasar dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />Dalam hal persyaratan kepemilikan saham sebagaimana telah ditetapkan dan tidak dipenuhi, pihak yang memperoleh kepemilikan saham tersebut tidak dapat menjalankan hak selaku pemegang saham dan saham tersebut tidak diperhitungkan dalam kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. <br /><br />Hak Pemegang Saham<br />1. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;<br />2. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; 3. menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang PT<br /><br />Satu Saham dimiliki lebih dari 1 orang?<br />Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi. Dalam hal 1 (satu) saham dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) orang, hak yang timbul dari saham tersebut digunakan dengan cara menunjuk 1 (satu) orang sebagai wakil bersama. <br />Klasisifikasi Saham<br />Anggaran dasar menetapkan 1 (satu) klasifikasi saham atau lebih. Setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan kepada pemegangnya hak yang sama. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) klasifikasi saham, anggaran dasar menetapkan salah satu di antaranya sebagai saham biasa. Klasifikasi saham yang dimaksud tersebut, antara lain: <br />a. .saham dengan hak suara atau tanpa hak suara; <br />b. saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris;<br />c. saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain;<br />d. .saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;<br />e. saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi. <br /><br />Pecahan Nominal Saham<br />Anggaran dasar dapat menentukan pecahan nilai nominal saham. Pemegang pecahan nilai nominal saham tidak diberikan hak suara perseorangan, kecuali pemegang pecahan nilai nominal saham, baik sendiri atau bersama pemegang pecahan nilai nominal saham lainnya yang klasifikasi sahamnya sama memiliki nilai nominal sebesar 1 (satu) nominal saham dari klasifikasi tersebut. Pemindahan Hak atas Saham Pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak. Akta pemindahan hak atas saham atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan. Direksi wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus dan memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak. Dalam hal pemberitahuan belum dilakukan, Menteri menolak permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang dilaksanakan berdasarkan susunan dan nama pemegang saham yang belum diberitahukan tersebut. Ketentuan mengenai tata cara pemindahan hak atas saham yang diperdagangkan di pasar modal diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Dalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan mengenai pemindahan hak atas saham, yaitu: <br />a. keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;<br />b. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Organ Perseroan; dan/atau <br />c. keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. <br />Persyaratan tersebut di atas tidak berlaku dalam hal pemindahan hak atas saham disebabkan peralihan hak karena hukum, kecuali keharusan mendapatkan instansi berwenang berkenaan dengan kewarisan. Dalam hal anggaran dasar mengharuskan pemegang saham penjual menawarkan terlebih dahulu sahamnya kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain, dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penawaran dilakukan ternyata pemegang saham tersebut tidak membeli, pemegang saham penjual dapat menawarkan dan menjual sahamnya kepada pihak ketiga. <br />Setiap pemegang saham penjual yang diharuskan menawarkan sahamnya berhak menarik kembali penawaran tersebut, setelah lewatnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Kewajiban menawarkan kepada pemegang saham klasifikasi tertentu atau pemegang saham lain hanya berlaku 1 (satu) kali.<br /><br />Gadai & Fidusia Saham<br />Saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak kepada pemiliknya. Saham dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam anggaran dasar. Gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang telah didaftarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus. Hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada pemegang saham. Perlindungan Pemegang Saham Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Gugatan pemegang saham diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:<br />a. perubahan anggaran dasar; <br />b. pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau<br />c. Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.<br /><br /> Dalam hal saham yang diminta untuk dibeli melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham oleh Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b UUPT, Perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga. Penggunaan Laba Perseroan .Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untuk cadangan. Kewajiban penyisihan untuk cadangan berlaku apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif. Penyisihan laba bersih dilakukan sampai cadangan mencapai paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor. Jika Cadangan belum mencapai jumlah paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor, laba hanya boleh dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain. Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan diputuskan oleh RUPS. <br /><br />DEVIDEN<br />Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS. Dividen hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif. Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan. <br />Pembagian dividen interim dapat dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib. <br />Pembagian dividen interim tidak boleh mengganggu atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan Perseroan.Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan Komisaris.<br />Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan.<br />Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim. Dividen yang tidak diambil setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal yang ditetapkan untuk pembayaran dividen lampau, dimasukkan ke dalam cadangan khusus. <br />RUPS mengatur tata cara pengambilan dividen yang telah dimasukkan ke dalam cadangan khusus Dividen yang telah dimasukkan dalam cadangan khusus dan tidak diambil dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun akan menjadi hak Perseroan. <br /><br />Corporate Social Responsibility<br />Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. <br /><br />ORGAN-ORGAN PT<br />a. RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS)<br />b. DIREKSI<br />c. DEWAN KOMISARIS<br />RUPS<br />RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang PT dan/atau anggaran dasar. Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan. RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat. Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat. Jenis RUPS. RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya. RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan. Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya dengan didahului pemanggilan RUPS. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Penyelenggaraan RUPS<br />Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan atas permintaan: 1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau Dewan Komisaris. Permintaan RUPS oleh Dewan Komisari diajukan kepada Direksi dengan Surat Tercatat disertai alasannya. Surat Tercatat yang disampaikan oleh pemegang saham tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris. Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima. Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS : a. permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu 15 hari sejak tanggal permintaan, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut. <br />Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS. <br />Penetapan ketua pengadilan negeri memuat juga ketentuan mengenai: <br />1. bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan Undang-Undang ini atau anggaran dasar; dan/atau <br />2. perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS.<br />3. Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.<br />4. RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh membicarakan mata acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. <br />5. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.<br />6. Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan, upaya hukum yang dapat diajukan hanya kasasi.<br />7. Ketentuan berlaku juga bagi Perseroan Terbuka dengan memperhatikan persyaratan pengumuman akan diadakannya RUPS dan persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. <br /><br />Hak Suara PS dalam RUPS<br />Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain. Hak suara tersebut tidak berlaku untuk:<br />a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan; <br />b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; atau <br />c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.<br />d. Pemegang saham, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya. <br />e. Ketentuan di atas tersebut tidak berlaku bagi pemegang saham dari saham tanpa hak suara. <br />f. Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda. <br />g. Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham. <br />h. Dalam hal pemegang saham hadir sendiri dalam RUPS, surat kuasa yang telah diberikan tidak berlaku untuk rapat tersebut. <br />i. Ketua rapat berhak menentukan siapa yang berhak hadir dalam RUPS dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang PT dan anggaran dasar Perseroan. <br /><br />Keabsahan RUPS<br />a. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. <br />b. Dalam hal kuorum tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua.<br />c. Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum. <br />d. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. <br />e. Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga. <br />f. Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri. <br />g. Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.<br />h. Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan. <br />i. RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan. <br />Kuorum RUPS<br />Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. <br />Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Dalam hal kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Dalam hal kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. <br /><br />DIREKSI<br />Direksi merupakan organ yang membela kepentingan perseroan --- Prinsip Fiduciary Duties.Tugas ganda Direksi; melaksanakan kepengurusan dan perwakilan Tugas kepengurusan secara kolegial oleh msg-msg anggota direksi.Direksi perseroan yang mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan srt pengakuan hutang, PT terbuka: minimal 2 org anggota Direksi. Pengangkatan & Kewajiban Direksi<br />® Direksi diangkat oleh RUPS <br />® Yang dpt diangkat mjd anggota direksi adl org perseorangan yg mampu melaksanakan perbuatan hk & tdk pernah dinyatakan pailit/dihukum krn merugikan keuangan neg dl waktu 5 th sblm pengangkatan. <br />® Kewajiban Direksi :<br />® Kewajiban yang berkaitan dg perseroan <br />® Kewajiban yg berkaitan dg RUPS<br />® Kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan kreditur/masyarakat <br /> <br />Hak Direksi<br />a. Hak utk mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan<br />b. Hak utk memberikan kuasa tertulis kepada pihak lain.<br />c. Hak utk mengajukan usul kpd Pengadilan Negeri agar perseroan dinyatakan pailit setelah didahului dg persetujuan RUPS. <br />d. Hak utk membela diri dlm forum RUPS jika Direksi telah diberhentikan utk sementara waktu oleh RUPS/Komisaris <br />e. Hak utk mendapatkan gaji dan tunjangan lainnya sesuai AD/Akte Pendirian.<br /><br />Berakhirnya Masa Tugas Direksi<br />a. Jangka waktu masa tugas direksi diatur dalam AD/Akte Pendirian.<br />b. Jika diberhentikan sementara waktu sbl berakhir masa tugasnya oleh RUPS/Komisaris maka dlm jangka waktu 30 hrs diadakan RUPS utk memberi kesempatan Direksi tsb membela diri. Apabila dlm jangka waktu 30 hr tdk ada RUPS maka pemberhentian sementara demi hukum batal.<br />c. Dlm kondisi tertentu Komisaris dpt bertindak sbg pengurus perseoan.<br /><br />PERTANGGUNGJAWABAN PRIBADI DIREKSI<br />a. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya. <br />b. Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. <br />c. Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan: <br />d. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; <br />e. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; <br />f. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan <br />g. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. <br /><br />DEWAN KOMISARIS <br />a. Tugas utamanya: mengawasi kebijakan direksi dlm menjalankan perseroan serta memberi nasihat direksi <br />b. Pengangkatan Komisaris oleh RUPS.<br />c. Keanggotaan Komisaris: jika pemegang saham maka hrs melaporkan kepemilikan sahamnya baik di perseroan yang diawasi maupun saham yg dimiliki di perseroan lain.<br />d. Kriteria yg dpt mjd Komisaris spt halnya direksi. <br /><br />Kewajiban & Kewenangan Dewan Komisaris<br />a. Kewajiban Komisaris:<br />b. Mengawasi Direksi<br />c. Memberi nasehat kpd Direksi<br />d. Melapor pd perseroan ttg kepemilikan sahamnya beserta keluarganya <br />e. Kewenangan Komisaris:<br />f. Alasan ttt dpt memberhentikan direksi utk sementara waktu <br />g. Jika direksi berhalangan dpt bertindak sbg pengurus <br />h. Meminta keterangan pd Direksi <br />i. Berwenang memasuki ruangan/tempat penyimpanan brg milik perseroan. <br />Berakhirnya Masa Tugas Dewan Komisaris<br />a. Masa tugas Komisaris ditetapkan dlm AD/Akte Pendirian <br />b. Komisaris dapat diberhentikan sementara waktu oleh RUPS<br /><br /><br /><br /> Pertanggungjawaban Pribadi DK<br />1. Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.<br />2. Tanggung jawab berlaku juga bagi anggota Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. <br />3. Lanjutan …<br />4. Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan: <br />a. kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; <br />b. telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;<br />c. tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan <br />d. telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan. <br /><br />Pertanggungjawaban pribadi Pemegang Saham (Ps 3 UUPT 40/2007)<br />a. Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. <br />b. Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku apabila:<br />a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; <br />b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; <br />c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau <br />d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. <br /><br />TERIMA KASIH<br /><br /><br /><br /><br /></span></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-634782668430653372010-03-10T19:40:00.000-08:002010-04-10T21:40:04.879-07:00<form method="post" action="http://www.emailmeform.com/fid.php?formid=660054" enctype="multipart/form-data" accept-charset="UTF-8"><table cellpadding="2" cellspacing="0" border="0" bgcolor="#FFFFFF"><tr><td><font face="Verdana" size="2" color="#000000">Contact Us!</font> <div style="" id="mainmsg"> </div></td></tr></table><br><table cellpadding="2" cellspacing="0" border="0" bgcolor="#FFFFFF"><tr valign="top"> <td><font face="Verdana" size="2" color="#000000">Your Name </font></td> <td><input type="text" name="FieldData0" size="30"> </td></tr><tr valign="top"> <td><font face="Verdana" size="2" color="#000000">Your Email Address </font></td> <td><input type="text" name="FieldData1" size="30"> </td></tr><tr valign="top"> <td><font face="Verdana" size="2" color="#000000">Subject </font></td> <td><input type="text" name="FieldData2" size="30"> </td></tr><tr valign="top"> <td><font face="Verdana" size="2" color="#000000">Message </font></td> <td><textarea name="FieldData3" cols="60" rows="10"></textarea><br> </td></tr><tr> <td colspan="2"><table id="captcha_table" cellpadding=5 cellspacing=0 bgcolor="#EFD100" width="100%"><tr id="captcha_table_header_tr" bgcolor="#FFFF00"><td id="captcha_table_header_td"class="label" colspan="2"><font color="#BB9247" face="Verdana" size="2"><b>Image Verification</b></font></td></tr><tr><td id="captcha_table_img_td" class="captcha" style="padding: 2px;" width="10"><img src="http://www.emailmeform.com/turing.php" id="captcha" alt="captcha"></td><td class="field" valign="top"><div><font color="#00FFFF">Please enter the text from the image</font>:<br><input type="text" name="Turing" value="" maxlength="100" size="10"> [ <a href="#" onclick=" document.getElementById('captcha').src = document.getElementById('captcha').src + '?' + (new Date()).getMilliseconds()">Refresh Image</a> ] [ <a href="http://www.emailmeform.com/?v=turing&pt=popup" onClick="window.open('http://www.emailmeform.com/?v=turing&pt=popup','_blank','width=400, height=500, left=' + (screen.width-450) + ', top=100');return false;">What's This?</a> ]</div></td></tr></table></td></tr><tr> <td> </td> <td align="right"><input type="text" name="hida2" value="" maxlength="100" size="3" style="display : none;"><input type="submit" class="btn" value="Send email" name="Submit"> <input type="reset" class="btn" value=" Clear " name="Clear"></td></tr><tr><td colspan=2 align="center"><br></td></tr></table></form><div><font size="1" face="Verdana" >Powered by<span style="position: relative; padding-left: 3px; bottom: -5px;"><img src="http://www.emailmeform.com/images/footer-logo.png" /></span>EMF <a style="text-decoration:none;" href="http://www.emailmeform.com">PHP Form</a></font></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-39344752241053173422010-03-10T02:17:00.000-08:002010-04-11T00:07:59.455-07:00ETIKA LINGKUNGAN<div style="text-align: justify;font-family:verdana;color:white"><br/>Etika Lingkungan<br/>Bahan tulisan; A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002) hlm.i-xxii<br/>Pengantar<br/><br/><br />Dalam kehidupan, maka kita sudah pasti akan memperhatikan bagaimana kita harus berprilaku, karena dari prilaku tersebutlah akan timbul suatu kebahagiaan atau malaha kesengsaraan. Berangkat dari perilaku tersebut, ternyata hanya ada dalam ranah mahluk hidup yang lebih dominan adalah manusia, dimana manusia merupakan pokok sentral dalam proses kehidupan di muka bumi. Mengapa? karena hanya manusia yang mempunyai 2 faktor dalam dirinya yaitu (1) faktor Fisik, dimana faktor ini akan selalu dapat diukur seperti tinggi, berat, tekanan darah atau lain sebagainya, (2) Faktor Non Fisik atau yang tidak dapat di ukur seperti Hati, Akal dan Nafsu (Akal budi). faktor kedua inilah yang akan memberikan kontribusi terhadap prilaku manusia, dimana mahkluk lain tidak atau lebih kecil yang lazim disebut instink.<br /><span class"fullpost"><br />Berangkat dari hal tersebut dalam konteks prilaku apabila akal digunakan maka tidak ada sesuatupun di lingkungan manusia yang tidak bermanfaat. sesuai firman Allah yang berbunyi "Sesungguhnya Kami telah menempatkanmu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikit kamu bersyukur “( Qs 7:10) Apabila kita memperhatikan tujuan dari penciptaan manusia dan diturunkan ke Bumi, maka Manusia adalah makhluk hidup yang dikodratkan sebagai khalifah di muka bumi ini ( Qs 2 :30), oleh karenanya keberadaannya bertanggungjawab terhadap kesejahteraan untuk semua makhluk hidup oleh karena itu seharusnya Pandangan Manusia terhadap Lingkungan hidup harus dilihat sebagai kesatuan yang selaras dan seimbang antara lingkungan hidup alam, lingkungan hidup buatan serta Lingkungan hidup sosial Kata kunci dari permasalahan di atas adalah perubahan dalam ETIKA terhadap/memandang lingkungan ini.<br />Pembahasan<br />1. Salah satu pertanyaan pokok yang perlu dijawab adalah mengapa kita perlu etika<br />2. Selanjutnya, mengapa kita perlu etika lingkungan hidup?<br />3. Apa perlunya berbicara mengenai etika lingkungan hidup? Apa relevansinya? Apa gunanya?<br />a. Jawaban atas pertanyaan bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia. Lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis.<br />b. Demikian pula, krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu, perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya.<br />c. Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan, seperti di laut, hutan, atmosfer, air, tanah, dan seterusnya bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri.<br />d. Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.<br />i. Ambil contoh yang lebih konkret. Kasus pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Inti Indorayon Utama di Sumatra Utara dan PT Fleeport Indonesia di Irian Jaya sesungguhnya disebabkan oleh perilaku perusahaan yang tidak bertanggung jawab dan tidak peduli terhadap lingkungan. Ini menyangkut tidak adanya kepedulian dan tanggung jawab moral perusahaan terhadap lingkungan hidup.<br />ii. Contoh lainnya, antara lain kasus illegal logging, impor limbah secara ilegal dari luar negeri, dan kasus perdagangan satwa liar. Kasuskasus ini tidak saja menyangkut orang per orang tetapi juga birokrasi pemerintah.<br />iii. Demikian pula, kasus sampah di DKI Jakarta, terkait dengan persoalan perilaku moral manusia, khususnya korupsi dalam tubuh birokrasi pemerintah. Bahkan kasus-kasus lingkungan yang terkait dengan globalisasi perdagangan dan berbagai perjanjian internasional lainnya adalah persoalan moral, khususnya persoalan kelicikan manusia dan negara bangsa dalam melakukan manipulasi dalam banyak bidang-khususnya di bidang ekonomi dan politik-yang merugikan kepentingan orang lain, termasuk bidang lingkungan hidup.<br />Menurut Arne Naess, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Yang dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi dalam alam semesta.<br />Dikatakan bahwa krisis lingkungan global yang kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.<br />Pada gilirannya hal ini menyebabkan kesalahan pola perilaku manusia yang bersumber dari kesalahan cara pandang tersebut. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.<br />Dan inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Oleh karena itu, Pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara fIandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan ekoaintem.<br />Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.<br />Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri.<br />Etika antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuffilsuf modern. Ada tiga kesalahan fundamental dari cara pandang ini.<br /><br />a. Pertama,manusia dipahami hanya sebagai makhluk sosial (social anima4, yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Dalam pemahaman ini, manusia berkembang menjadi dirinya dalam interaksi dengan scaama manusia di dalam komunitas sosialnya. Identitas dirinya dibentuk oleh komunitas sosialnya, sebagaimana dia sendiri ikut membentuk komunitas sosialnya.<br />b. Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Jadi, yang disebut sebagai norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia. Dalam paham ini, hanya manusia yang merupakan pelaku moral, yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan akal budi dan kehendak bebasnya. Etika tidak berlaku bagi makhluk lain di luar manusia.<br />Pemahaman etika seperti itu sebenarnya sudah mengalami perluasan. Dalam pemahaman tahap pertama, etika dipahami hanya berlaku bagi makhluk yang rasional dan bebas (free and rational beings). Konsekuensinya, etika tidak berlaku bagi mereka yang tidak berakal budi dan tidak bebas, seperti budak, perempuan, dan ras kulit berwarna. Budak dan perempuan hanya sekadar alat di tangan majikan dan laki-laki, yang bebas diperlakukan seenaknya tanpa boleh menuntut perilaku bermartabat tertentu. Oleh karena itu, apa pun perilaku majikan dan laki-laki terhadap mereka, tidak bisa dinilai sebagai tidak bermoral. Dalam kata lain, budak dan perempuan, serta ras kulit berwarna, dianggap tidak memiliki hak asasi manusia.<br />Dan pemahaman etika yang sangat sempit dengan segala dampaknya dalam berbagai bentuk perilaku tidak beradab sepanjang sejarah umat manusia ini, muncul kesadaran baru untuk memperluas etika agar berlaku bagi semua manusia tanpa terkecuali. Dalam pemahaman etika yang baru ini, budak, perempuan clan ras kulit berwarna harus diperlakukan secara bermoral. Semua manusia, tanpa terkecuali (termasuk budak dan perempuan), adalah makhluk yang bebas dan rasional. Puncak dari perluasan etika ini adalah Deklarasi Universal Hakhak Asasi Manusia. Kendati perempuan di berbagai belahan dunia masih berjuang untuk benar-benar menikmati hak dan perlakuan bermoral secara sama dengan laki-laki, ini adalah sebuah perluasan cara pandang cukup maju. Kelemahan cara pandang ini adalah etika masih dibatasi hanya berlaku bagi manusia. Alam dan segala isinya masih tetap diperlakukan sebagai alat di tangan manusia. Maka, konsep mengenai etika clan perlakuan secara etis terhadap alam, apalagi ide mengenai adanya hak asasi alam, khususnya hak ususi binatang, merupakan sesuatu yang dianggap aneh dun ticlak masuk akal. Aneh dan tidak masuk akal bahwa blnatang dan tumbuhan mempunyai hak yang sama dengan manusia.<br />Persoalan pokok yang terkait dengan etika antroposentris adalah atas dasar apa hanya manusia yang diperlakukan Wara bermoral? Manusia diperlakukan secara bermoral karena manusia mempunyai kemampuan moral berupa kemampuan akal budi dan kehendak bebas. Namun, alasan ini gugur dengan dirinya karena bayi (dan janin), orang yang menderita cacat mental, pasien dalam keadaan koma dan orang gila pun tetap perlakukan secara bermoral kendati kedua kemampuan tadi k lagi atau belum mereka miliki. Jadi, atas dasar apa hanya nusia yang boleh diperlakukan secara bermoral, sementara Makhluk hidup lain tidak? Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam o1eh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai Makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Manusia hanya bisa hldup dan berkembang sebagai manusia utuh dan penuh, tidak hanya dalam komunitas sosial, tetapi juga dalam komunitas okologis, yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari dun terkait erat dengan semua kehidupan lain di alam semesta. Makhluk yang menjalin ketergantungan timbal-balik saling menguntungkan dengan semua kehidupan lainnya, dan hanya mclalui "jaring kehidupan" itu ia bisa hidup dan berkembang mcnjadi diri sendiri. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup lain, nmnusia tidak akan bertahan hidup, karena manusia hanya ittcrupakan salah satu entitas di alam semesta. Seperti semua mttkhluk hidup lainnya, manusia mempunyai kedudukan yang tiitma dalam "jaring kehidupan" di alam semesta ini. Jadi, manusia tidak berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Manusia berada dalam alam dan terikat serta tergantung dari nlam dan seluruh isinya. Ada pemisahan yang tegas antara alam sebagai obyek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai subyek. Demikian pula, ada pemisahan yang tegas antara fakta dan nilai. Maka, paradigma ilmu pengetahuan modern yang mekanistis-reduksionistis ini membela paham bebas nilai dalam ilmu pengetahuan. IImu pengetahuan bersifat otonom, sehingga seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dikembangkan dan diarahkan hanya demi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penilaian mengenai baik buxuk ilmu pengetahuan dan teknologi beserta segala dampaknya dari segi moral atau agama, adalah penilaian yang tidak relevan. Hal ini melahirkan sikap dan perilaku manipulatif dan eksploitatif terhadap alam, dan pada gilirannya melahirkan berbagai krisis ekologi sekarang ini. Untuk mengatasi krisis ekologi, perlu ada perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan yang tidak lagi bersifat mekanistis-reduksionistis tetapi bersifat holistis, juga ekologis. Dalam cara pandang holistik ini, tidak lagi ada pemisahan yang tegas antara subyek dan obyek, fakta, dan nilai. Ilmu pengetahuan dan teknologi beserta seluruh perkembangan dan dampaknya tidak bisa tidak harus dinilai pula secara moral, termasuk dalam kaitannya dengan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap lingkungan hidup.</span></div>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-55645790241671081662010-03-08T00:57:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.350-07:00MASA PENAHANANMASA PENAHANAN <br />PELAKU PENAHANAN ANK IZIN (+) Demi Hukum DEWASA IZIN (+) Demi Hukum<br /> Dilepas Dilepas<br />Penyidik 20 JPU 10 30 20 JPU 40 60<br />JPU 10 Ketua PN 15 25 30 Ketua PN 30 60<br />Hakim PN 15 Ketua PN 30 45 30 Ketua PN 60 90<br />Hakim Banding 15 Ketua PT 30 45 30 Ketua PT 60 90<br />Hakim Kasasi 25 Ketua MA 30 55 50 Ketua MA 60 110<br />Lama masa penahanan 85 115 >< 160 250 <br /> HARI 200 HARI HARI 410 HARIsetanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-32335932624882029112010-03-08T00:55:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.364-07:00tata tertib sidang anakSEMA No. 6 Tahun 1987 tanggal 17 Nopember 1987 tentang tertib sidang anak dan menunjuk pula pada Bab II pasal 9 sampai dengan pasal 12 Peraturan Menteri Kehakiman (PERMENKEH) No.M.06-UM.O1.06 Tahun 1983. Maka tata tertib sidang anak sebagai berikut :<br />1. Pengadi1an mengadakan suatu Register tersendiri untuk perkara anak, dan menetapkan hari-hari sidang tertentu, dan ruang tertentu untuk perkara tersebut.<br />2. Ketua pengadilan menunjuk Ibu atau Bapak Hakim yang mempunyai perhatian (Interesse) terhadap masalah anak, hingga Ibu atau Bapak hakim tersebut, selain menyidangkan perkara biasa, juga menyidangkan perkara anak (telah mengomentari Rule Beijing Rules bahwa perlu pendidikan dan latihan khusus bagi aparat penegak hukum).<br /><span class=”fullpost”><br />3. Sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam tertentu oleh ketua pengadilan negeri dapat dilakukan riksaan dengan hakim majelis (Beijing Rules 14 juga unvai komentar yang senada). <br />4. Pemeriksaan dilakukan dengan sidang tertutup dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka, ini menjaga agar anak-anak tidak dipublikasikan oleh pers. Karena bila sampai identitas anak dan perkaranya dimuat dalam mass media, maka akan merupakan trauma bagi anak dikelak kemudian hari dan secara psikologis akan mempengaruhi perkembangan anak. Ia akan dikucilkan oleh teman-temannya apabila diketahui ia sedang disidangkan<br />5. Baik, Hakim atau Jaksa maupun Penasehat Hukum tidak mugkin toga. Ini mencerminkan adanya asas-asas kekeluargaan, dimana hakim di dalam memeriksa apa yang menjadi sebab si anak melakukan tindak pidana haruslah dengan lemah lembut, hingga si anak mempunyai keberanian untuk menceritakan penyebabnya. Penyebab ini penting untuk diketahui, hingga hakim dapat memilih hukuman apa yang cocok diberikan kepada si anak, hingga dapat diharapkan si anak kembali ke jalan yang benar. Kita tentu masih ingat bahwa sidang anak adalah untuk kepentingan anak dengan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat, dengan catatan kepentingan anak harus didahulukan daripada kepentingan masyarakat (sesuai dengan Beijing Rules 14.2). <br />6. Pada sidang anak, orang tua, wali atau orang tua asuh harus hadir. Hal ini untuk menjaga agar orang tua tidak melupakan tanggung jawabnya terhadap anaknya. Sering terjadi orang tidak mengetahui tingkah laku anaknya diluar rumah sehingga sianak berbuat melangar hukurn dan apabila orang tua mendengar apa yang sesungguhnya terjadi dipersidangan, mereka menjadi terheran-heran dan sama sekali tidak mendengar sianak berbuat demikian dan hikmahnya, untuk di masa mendatang orang tua dapat memperbaiki hubungan mereka dengan anaknya. Tindakan yang demikian itu tidak lain untuk melindunggi anak dan masa depannya.<br />7. Hadirnya pembimbing pemasyarakatan dari Departemen Kehakiman (BISPA) untuk memberi/laporan sosialnya tentang si anak.<br /></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-60409881514310593282010-03-08T00:52:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.382-07:00DIKTAT HUKUM PERLINDUNGAN ANAKBAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />Anak sebagai makhluk Allah SWT dan juga sebagai makhluk Sosial sejak dalam kandungan sampai melahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu tidak ada setiap manusia atau pihak yang boleh merampas hak atas hidup dan merdeka tersebut. Bila anak tersebut masih dalam kandungan orang tua dan orang tua tersebut selalu berusaha untuk menggugurkan anaknya dalam kandungannya,<br /><span class=”fullpost”><br /> maka orang tua tersebut akan diproses hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Palagi anak yang telah melahirkan, maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak dasar dan kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi harus dilindungi dan diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut. Karena hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik Hukum Nasional seperti yang termuat dalam dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak baik itu perlindungan anak secara umum maupun perlindungan anak secara khusus atau perlindungan anak yang menghadapi permasalahan hukum (sebagai pelaku TP), maupun Hukum Internasional seperti Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan Internasional on Civil and Political Rights (ICPR). Bahkan hak asasi anak harus diperlakukan berbeda dengan orang dewasa yang diatur secara khusus dalam konvensi-konvensi internasional khusus.<br />Sebelum lebih lanjut kita membahas tentang perlindungan anak, maka perlu kita bangun beberapa dasar pemikiran sebagai landasan pembahasan masalah perlindungan anak, dimana dalam konteks pemberian perlindungan yang optimal terhadap anak , perlu kita pahami pemahaman tentang apa pengertian dari arti, sikap, dan tindak.<br />1. Arti , sikap dan Tindak<br />Sebelum kita mengambil sikap dan menentukan tindakan-tindakan apa yang ingin kita lakukan dengan baik maka tepat apabila kita memahami lebih dahulu arti atau mempunyai pengertian yang tepat mengenai suatu masalah. Dengan dimilikinya pengertian/arti yang tepat mengenai perlindungan anak misalnya, maka diharapkan kita akan bersikap dan bertindak tepat pula dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak. Pengertian yang tepat dapat berakibat kita bermotivasi yang kokoh positif dalam melaksanakan kegiatan perlindungan anak. Berdasarkan pengertian yang tepat, kita dapat membuat kebijaksanaan dan perencanaan kerja yang lebih baik dan dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu apabila kita mau berhasil, maka mau tidak mau kita harus mengusahakan sebaik mungkin pemerataan pengertian mengenai sesuatu, demi mencegah salah paham/perbedaan pengertian. Perbedaan pengertian antarpartner dalam suatu usaha bersama, merupakan faktor penghambat mencapai tujuan.<br />2. Pengertian tentang manusia<br />Masalah perlindungan anak adalah suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Citra atau pengertian tentang manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang dominan dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan perlindungan anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia juga. Pengertian bahwa, yang menjadi objek dan subjek pelayanan dalam kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai hak hak dan kewajiban; motiva-q seseorang untuk mau ikut serta secara tekun clan gigih dalam kegiatan perlindungan anak; pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan berhak mendapat perlindungan mental, fisik, sosial dari orangtuanya, anggota masyarakat dan negara, pandangan pernyataan-pernyataan tersebut jelas berdasarkan pengertian atau citra yang tepat mengenai manusia. Sehubungan dengan ini, maka alangkah baiknya kalau kita ikut serta dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak ini bertitik tolak dari suatu pengertian tentang manusia sebagai berikut: yang dilindungi maupun yang melindungi dan siapa saja yang terlibat dalam masalah perlindungan anak, adalah manusia-manusia sesama kita yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan kita sebagai manusia, dan yang berada dengan kita dalam suatu masyarakat.<br />Mereka yang mempunyai citru k,emanusiaan ak,an lelnh mengerti apu yutr,k, seutuhnya, yang juga meliputi kegiatan demikian, mereka akan suka ikut sv anaknya sendiri maupun anak orang pribadi masing-masing. Sebetulnyu, sebagai warga negara Indonesia yang berfalsafah Pancasila (yang mengandung pedoman untuk kita bersikap dan bertindak secara tepat terhadap sesama manusia dalam kita hidup bernegara clan bermasyarakat) kita wajib bersikap dan bertindak tepat terhadap sesama kita sebagai manusia.<br />Sehubungan dengan ini, maka adalah mutlak kita menyebarluaskan meratakan pengertian yang tepat mengenai manusia apabila bila mau berhasil melakukan perlindungan anak. Pengertian yang tidak tepat mengenai manusia merupakan salah satu faktor penghambat kegiatan mengembankan keadilan dan kesejahteraan pada umumnya dan kegiatan perlindungan anak pada umum dan kegiatan perlindungan anak pada khususnya.<br />Pengertian yang tepat mengenai manusia, sebagai sesama kita yang ada dalam suatu masyarakat dapat pula mengembangkan rasa tanggung jawab kita terhadap sesama anggota masyarakat. Rasa Tanggung jawab ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak, oleh karena itu yang perlu mendapatkan perlindungan tidaklah selalu anak kita senidir, melainkan anak anggota masyarakat yang lain dari masyarakat kita.<br />3. Pengertian tentang keadilan<br />Dalam rangka pembahasan masalah perlindungan anak perlu kita mempunyai pengertian tentang keadilan yang tepat, yang mendukung kegiatan perlindungan anak. Rasa keadilan seseorang akan mempengaruhi adanya kelangsungara kegiatan perlindungan anak. Dalam pembahasan ini saya berpegang pada pengertian keadilan sebagai berikut: bahwa `Keadilan adalah suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kevajibannya secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat".<br />Apabila keadilan dikaitkan dengan perlindungan anak, maka antara lain dapat dikatakan, bahwa dimana ada keadilan, di situ seharusnya terdapat pula perlindungan anak yang baik. Anak dilindungi untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat.<br />Yang dimaksud dengan rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat adalah sebagai berikut:<br />- Kasional, berarti: masuk akal, wajar. Tetapi kerasionalannya tersebut dapat bersifat positif atau negatif.<br />- Bertanggung jawab, berarti: dapat dipertanggungjawabkan secara horisontal (terhadap sesama manusia) dan vertikal (terhadap Tuhan), dapat dipertanggungjawabkan terhadap orang lain dan diri sendiri;<br />- Bermanfaat, berarti: bermanfaat, untuk orang lain, masyarakat, bangsa, dan diri sendiri.<br />Untuk mengkaji dan menguji apakah sesuatu itu rasional positif, dapat dipertanggungjawabkan, serta bermanfaat atau tidak, dapat dipakai sebagai dasar atau pedoman mengkaji antara lain Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, ajaran agama yang baik dan pandangan pandangan tradisional maupun yang modern (yang positif). Alangkah baiknya apabila sarana pengkajian ini diratakan untuk dipahami dan dipakai sebagai pengkaji dan penguji tindakan-tindakan, peraturan yang dikenakan pada seseorang dengan dalih apapun, oleh siapa saja.<br />4. Hasil lnteraksi<br />Hampir setiap tindakan dan masalah yang ada, yang terjadi baik, yang positif atau negatif dapat merupakan hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Sekarang yang penting adalah mengamati fenomena mana saja yang relevan dan memainkan peranan yang penting dalam terjadinya sesuatu tindakan atau hal tertentu.<br />Berdasarkan pemikiran ini, maka kita dipaksa untuk melihat masalah menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, apabila kita ingin mendapatkan gambaran yang benar mengenai sesuatu. <br />Diutamakan dalam pemikiran ini hubungan hubungan yang ada antara unsur-unsur yang relevan, fenomena yang ada dan saling mempenganihi. Dikatakan bahwa ada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang bersangkutan. Misalnya dalam hal terjadinya suatu kejahatan. Kejahatan merupakan suatu basil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Antara pelaku-pelaku kejahatan dan korban terdapat hubungan fungsional. Tidak ada kejahatan tanpa korban.<br />Dalam kejahatan tertentu, pihak korban bahkan dapat dikatakan bertanggung jawab fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan, misalnya, dalam kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak lelaki terhadap ayahnya yang dianggap sebagai seorang tiran dalam keluarga, yang selalu memperlakukan ibunya dan anak lelaki tersebut secara lalim, tidak adil (tidak melindungi anak-anak). Ayah sebagai korban mempunyai peranan penting dalam terjadinya pembunuhan terhadap dirinya. Ayah tersebut telah sebelumnya menimbulkan kebencian, menciptakan iklim dilaksanakannya suatu pembunuhan terhadap dirinya.<br />Peninjauan interaktif ini memperluas para penanggung jawab atas atau orang-orang yang terlibat dalam terjadinya suatu tindakan, peristizva. <br />Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa kegiatan/usaha perlindungan anak dikatakan sebagai suatu hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Maka berkaitan dengan masalah perlindungan anak, perlu kiranya diperhatikan fenomena yang relevan, faktor-faktor mana yang menghambat atau mendukung adanya usaha perlindungan anak.<br />A. Pengertian Hukum Anak<br />Peraturan tentang anak belum terunifikasi, tetapi terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, antara lain : <br />1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)<br />2. Undang-undang Pengadilan Anak No. 3/1997<br />3. Undang-undang Pemasyarakatan No. 12/1995<br />4. Undang-undang Keejahteraan Anak No.4/1979<br />5. PP tentang pendidikan Pra Sekolah No. 27/1990<br />6. PP tetang Usaha Kesejahteraan Bagi Anak yang mempunyai masalah No. 2/1988.<br />7. Keppres No. 12/2001 tentang Komite Penghapusan Pekerjaan terburuk untuk anak<br />8. Kepmen No.4/KEP/MENKO/KESRA/III/1997 tentang Kebijaksanaan Penyelenggaraan Pembinaan Kualitas Anak<br />9. Kesepakatan Bersama antara menteri Negara Masalah-masalah kemasyarakatan RI/kepala Badan kesejahteraan Sosial nasional, menteri pendidikan dan Menteri kesehatan, Kapolri Ri No:<br />a. No 237/MMK/V/2000<br />b. No. 3/UKB/2000<br />c. 928/MENKES/SKB.V/200<br />d. B/03/V/2000<br />Tentang penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia<br />Dengan sejumlah peraturan-peraturan yang memperhatikan akan keberadaan anak, lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan hukum anak itu?<br />Menurut pemahaman yag dapat diambil dari sejumlah peraturan tersebut di atas, hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu meliputi :<br />1. Sidang pengadilan Anak<br />2. Anak sebagai pelaku tindak pidana<br />3. Anak sebagi korban tindak pidana<br />4. Kesejahteraan Anak<br />5. Hak-hak Anak<br />6. Pengangkatan Anak<br />7. Anak terlantar<br />8. Kedudukan Anak<br />9. Perwalian Anak<br />10. Anak Nakal<br />11. Dan lain sebagainya<br />Pengaturan Hukum Anak di negara kita sampai sekarang tersebar dalam berbagai peraturan, sehingga membuat sulitnyua kita memahami hukum anak itu sendiri.<br /> Bila kita perhatikan dalam UU No. 3/1997 pada bagian menimbang, maka terlihat pengertian anak adalah : bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindugan dalam rangka menjamin pertumbuha dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.<br />Karena begitu banyaknya peraturan perundangan tentang anak, maka sebagai akibat dari itu semua pemahaman akan anak jelas beragam seperti :<br /><br /> <br />1. Undang-undang Pengadilan Anak<br /> Undang-undang Peradilan Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. <br /> Jadi dalam Undang-undang no.3/1997 tentang anak, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.<br /><br /><br />2. Anak dalam Hukum Perburuhan<br /> Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan (Undang-undang No. 12 Tahun 1948) mendefinisikan, anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun ke bawah.<br />3. Anak menurut KUHP<br /> Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh kanena itu, apabila Ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tldak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997. sedangkan dalam KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal (pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297 dan lain-lainnya. Pasal-pasal itu tidak mengkualifikasinya sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan/terhadap orang dewasa, akan tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan dengan/terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.<br />4. Anak menurut Hukum Perdata<br /> Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Aturan ini tercantum dalam UU No.4/1979). Hal ini didasarkan pada pertimbangan usaha kesejahteraan anak, dimana kematangan sosial, pribadi dan mental seseorang anak dicapai pada umur tersebut. Pengertian ini digunakan sepanjang memiliki keterkaitan dengan anak secara umum, kecuali untk kepentingan tertentu menurut undang-undang menentukan umur yang lain<br />5. Anak menurut Undang-undang Perkawinan<br />Pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-undang No.1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.<br />6. Anak Pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, dimana anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Anak pidana ditempatkan di lembaga Pemayarakatan (LAPAS). Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana itu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Anak pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu yang akan diatur dengan PP. Anak Pidana dapat dipindahkan dari satu lapas ke lapas lain, dimana pemindahan itu guna kepentingan pembinaan, keamanan dan ketertiban, pendidikan, dan anak pidana tidak berhak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan, karena anak tidak boleh bekerja.<br />7. Anak Negara, adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik. Untuk itu aak negara ditempatkan di lembaga Pemasyarakatan Anak, paling lama sampai berumur 18 tahun. Bagi anak negara yng ditempatkan di LAPAS anak wajib didaftar (pasal 25 UU No.12/1995). Tidak berhak mendapatkan upah atau premi dan tidak juga berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), karena dia bukan dipidana.Anaka negara dapat dipindahkan dari lapas yang satu ke lapas yang lain demi kepentingan tumbuh, kembang dan pedidikannya<br />8. Anak sipil, adalah anak yang tidak mampu lagi dididik oleh orang tua/ wali, atau orang tua asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Pasal 384 BW mengatakan dasar permintaan menempatkan si anak menjadi anak sipil haruslah berdasarkan alasan-alasan yang sungguh-sungguh merasa tak puas atas kelakuan ia (anak), sedangkan yang berhak mengajukan permintaan itu adalah 1) orang tua, 2) wali, 3) orang tua asuh, 4) dewan perwalian. Menurut pasal 32 UU No.12/1995. Anak sipil ditempatkan di LAPAS pling lama 6 bulan bagi mereka yang belum berumur 14 tahun, dan paling lama 1 tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14 tahun dengan ketentuan paling lama ampai berumur 18 tahun<br />Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat kenal Lahir. Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor, Surat Baptis atau Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Karenanya kadang kala terdapat kejanggalan, anak berbadan besar dengan kumis dan jenggot tapi menrut keterangan usia masih muda.Malahan adakalanya orang yang terlibat kasus pidana membuat keterangan dia masih anak-anak sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. Dan dalam kasus mencari kerja terutama pada TKI/ buruh anak usia kadangkala disulap menjadi dewasa, padahal ciri-ciri lahiriah seperti ukuran badan, buah dada, dan lain-lain jelas-jelas masih usia anak-anak.<br />B. Kesejahteraan Anak<br />Latar budaya kita memberi acuan yang disepakati bahwa semua anak Indonesia adalah aset bangsa. Oleh karena itu kesejahteraan perlu terus ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan keejahteraan anak, telah diamanatkan dalam UUD RI 1945, Undang-undang Nomor 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tetang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah, Rativikasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak melalui Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun., UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak (pasal 52 ayat 1,2), UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak .<br />Berkaitan dengan UU tersebut di atas hukum dalam arti peraturan merupakan kristalisasi dari kehendak masyarakat yang saling berinteraksi. Dengan menyadari bahwa hukum sebagai suatu yang bersifat memaksa, maka kita dapat mengkontraskannya secara tajam bahwa dari berbagai Undang-undang yang tersebut di atas sepenuhnya mengejar tujuan-tujuan yang sama yaitu kesejahteraan bagi anak Indonesia , tetapi dengan penekanan pada aspek yang berbeda-beda .<br />Untuk itulah Pencanangan gerakan Nasional perlindungan Anak adalah untuk meningkatkan kesadaran bangsa secara nasional guna menghargai hak-hak anak dalam rangka menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan kepedulian masyarakat agar berperan aktif mekindungi anak dari segala bentuk ganguan terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya si anak.<br />Dalam kaitan ini fungsi dan peranan keluarga mempunyai kedudukan yang strategis karena keluarga sebagai unit terkecil dalam tatanan masyarakat menyandang peran, cakupan substansi dan ruang lingkup yang cukup luas. Dengan adanya kesamaan dan kejelasanan mengenai fungsi dan peranan tersebut, akan dapat mempermudah dalam meberikan alternatif pemberdayaan leluarga dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam keluarga.<br />Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak akan dapat terwujud dengan melihat Undang-undang yang oleh pemerintah sebagai lembaga yang berhak mengeluarkan UU bersama dengan DPR seperti UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tetang Perlindungan Anak .<br />Undang-undang yang tersebut di atas mempunyai persamaan persepsi tentang kebijakan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlidungan dan peran serta anak yang didasarkan pada tiga aspek utama Konvensi Anak yaitu: <br />a. Kelangsungan hidup (survival),<br />b. Tumbuh Kembang (developmental) dan, <br />c. Perlindungan (protection)<br />Untuk hal tersebut di atas dikemukakan beberapa pengertian sebagai berikut: <br />1. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan peghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohaniah, jasmaniah maupun sosialnya<br />2. Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya diperoleh anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, ekspoitasi dan penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonom, sosial dan budaya anak.<br /> Perlindungan anak adalah segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, ekspoitasi dan penelantaraan agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya<br />C. Hak-hak Anak<br />Undang-undang No. 4 Tahun 1979, Bab II Pasal 2 sampai dengan 9, mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, diperkuat dalam Undang-undang Nomor 23/2002 dalam Bab III Pasal 4 sampai 18 sebagai berikut:<br />1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan.<br />Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.<br />Dimaksud dengan asuhan, adalah berbagai upaya yang dilakukan kepada anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar dan anak yang mengalami masalah kelainan yang bersifat sementara sebagai pengganti orang tua atau keluarga agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 angka 32 PP No. 2 Tahun 1988).<br />2. Hak atas pelayanan<br />Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. (Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).<br />Hak atas pemeliharaan dan perlindungan Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat Undang-undang No. 4 Tahun 1979).<br />3. Hak atas perlindungan lingkungan hidup<br />Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar (Pasal 2 ayat 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).<br />4. Hak mendapat pertolongan pertama<br />Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan dan bantuan dan penlindungan (Pasal 3 Undang-undang No. 4 Tahun 1979).<br />5. Hak memperoleh asuhan<br />Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara, atau orang, atau badan lain (Pasal 4 ayat 1 Undangundang No. 4 Tahun 1979). Dengan demikian anak yang tidak mempunyai orang tua itu dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial.<br />6. Hak memperoleh bantuan<br />Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar (Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1979). Menurut PP No. 2 Tahun 1988, bantuan itu bersifat tidak tetap dan diberikan dalam jangka waktu tertentu kepada anak yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 4).<br /><br /><br />D. Sejarah Lahirnya Hukum Anak di Indonesia<br /> Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari ke hari semakin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.<br /> Dalam perundang-undangan perhatian terhadap anak sudah dirumuskan sejak tahun 1925, ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 Junto Ordonansi 1949 No. 9 yang mengatur Pembatasan Kerja Anak dan Wanita. Kemudian tahun 1926 lahir pula Stb. 1926 No. 87 yang mengatur Pembatasan Anak dan Orang Muda bekerja di atas kapal. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 lahirlah Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang disahkan mulai berlaku pada tanggal 26 Februari 1946. Dalam beberapa pasalnya seperti Pasal 45, 46 dan 47 memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Sebaliknya pasal-pasal 285, 287, 290, 292, 293, 294, 295, 297, dan lain-lain memberikan perlindungan terhadap anak di bawah umur, dengan memperberat hukuman, atau mengkualifikasi sebagai tindak pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak. Padahal adakalanya tindakan itu bukan tindak pidana bila dilakukan terhadap orang dewasa. Dilanjutkan tahun 1948 lahir Undang-undang Pokok Perburuhan (Undangg No.12 Tahun 1948) yang melarang anak melakukan. Pekerjaan tanggal 23 Juli 1979 lahir pula Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan Peraturan Pelaksanaan PP No. 2/1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak (29 Februari 1988).<br /> Secara internasional pada tanggal 20 November 1989, lahirnya konvensi Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden No. 36 / 1990. Konvensi itu memuat kewajiban Negara-negara yang merativikasinya untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak.<br /> Undang-undang Pokok Tenaga kerja No. 12 Tahun 1948 secara tegas melarang anak bekerja. Akan tetapi dalam kenyataan banyak anak terpaksa melakukan pekerjaan di sektor informal untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Menyadari keadaan demikian pemerintah dengan Permenaker No. 1 Tahun 1987, mengatur tentang anak yang terpaksa bekerja. Di mana untuk anak yang terpaksa bekerja disyanatkan harus ada izin dari orang tua/walinya, lama kerja maksimal 4 (empat) jam/hari, upah sama dengan orang dewasa, tidak bekerja pada malam hari, dan pada tempat-tempat berbahaya bagi kesehatannya. Ketentuan ni merupakan peningkanan terhadap Undang-undang No. 12 Tahun Jo. Undang-undang No. 1 Tahun 1950 yang memberlakukan Undang-undang No. 12 Tahun 1948 di seluruh Indonesia.<br /> Sedangkan Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974) juga pada beberapa pasalnya mengatur tentang anak, seperti usia boleh kawin untuk pria adalah 19 (sembilan belas) tahun dan untuk wanita adalah 16 (enam belas) tahun. Akan tetapi dalam praktek ketentuan ini banyak dilanggar, dengan melakukan perkawinan secara adat atau kepereayaan saja. Akibatnya seringkali masalah usia ini tidak diperhatikan. Malahan perkawinan di beberapa daerah tertentu juga jarang yang dicatatkan sesuai ketentuan yang berlaku. Ini tentunya akan menjadi kendala tersendiri mengenai status anak. Menghadapi kenyataan tersebut, Lembaga peradilan termasuk Mahkamah Agung seringkali membuat putusan yang kontradiktif. Pada satu putusan perkawinan yang hanya dilangsungkan menurut adat, kepercayaan, tanpa didaftarkan sesuai ketentuan yang berlaku dikatakan belum ada. Akan tetapi pada putusan lain dikatakan sah dan sudah ada. Misalnya putusan Mahkamah Agung RI. Reg. No 373 k/Pdt/1 994, tanggal 30 September 1996, menyatakan perkawinan yang dilangsungkan menurut tata cara adat Tionghoa walaupun tidak dicatatkan adalah sah. ini artinya perkawinan yang hanya dilaksanakan menurut tata cara agamal kepercayaan sudah sah.<br /> Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah, adalah anak di luar kawin dan hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Sebaliknya anak sah, adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Inilah arti penting dari putusan Mahkamah Agung No. 372K/Pdt/1994 tersebut, karena dengan demikian anak yang dilahirkan dari perkawinan yang belum dicatatkan sesuai ketentuan yang berlaku adalah menjadi anak yang sah. <br /> Dalam kenyataan hidup sehari-hari ternyata adakalanya seorang anak harus diadili di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. Tata cara pemeriksaan anak di depan pengadilan selama ini belum diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu Menteri Kehakiman RI, dengan peraturan No. M.06-UM. 01 Tahun 1983, tanggal 16 September 1983 mengatur tata tertib persidangan anak. Dalam konsiderasnya dikatakan, ketentuan ini diberlakukan sambil menunggu undang-undang tentang Peradilan Anak yang akan mengatur masalah tersebut. Pasal 10 peraturan itu mengatakan, sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menentukan pemeriksaan dilakukan dengan Hakim Majelis.<br /> Pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup, sementara putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Hakim, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum (Pasal 11) bersidang tanpa toga, dan pemeriksaan ini dengan kehadiran orang tualwali/orang tua asuh. Sedangkan untuk mengetahui latar belakang anak, hakim dapat menugaskan lembaga pemasyarakatan dan Departemen Kehakiman untuk membuat laporan Sosial Anak tersebut. Laporan itu mengenai keadaan anak, fIsik, psikhis, sosial, ekonomi, keadaan rumah tangga orang tua asuh dan penghuninya. Di samping itu juga berisi keterangan mengenai kelakuan anak di sekolah atau di lingkungan tempat pekerja hubungan/pergaulan anak dengan lingkungan, rukun tetangga atau kepramukaan.<br /> Mahkamah Agung dengan Surat Edaran No. 6 Tahun 1987, tanggal 17 November 1987 juga mengatur Tata Tertib Sidang Anak. Di mana dikatakan bahwa dalam perkara pidana yang terdakwanya anak, diperlukan penelitian pendahuluan oleh hakim yang memeriksa perkara mengenai unsur tindak pidana yang didakwakan maupun menyangkut lingkungan, pengaruh serta keadaan anak yang melatarbelakangi perbuatan pidana itu. Mahkamah Agung mengharapkan setiap hakim mempuinyai perhatian (interest) terhadap anak yang melakukan tindak pidana, memperdalam pengetahuan melalui literatur, diskusi dan sebagainya. Untuk itu diharapkan ketua pengadilan di seluruh Indonesia menunjuk sedikitnya 2 (dua) orang hakim di setiap Pengadilan Negeri yang memperhatikan terhadap masalah tindak pidana anak, di samping tugasnya sehari-hari sebagai hakim biasa juga dibebani tugas khusus memeriksa perkara-perkara tindak pidana yang terdakwanya anak-anak.<br />E. Kedudukan Anak<br /> Masalah kedudukan anak di atur dalam UU No.1/1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, yaitu pada bab IX pasal 42 smpai dengan pasal 47.Pasal 42 mengatakan, anak yang sah, adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah itu, adalah perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam -Pasal 2 Undang-undang Pokok Perkawinan. Menurut pasal itu, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /> Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang, apa yang dimaksud dengan: “….menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya Bagi umat beragama, perkawinan itu menjadi sah bila dilakukan sesuai dengan tata cara agamanya masing-masing. Akan tetapi bagaimana halnya dengan kata ‘kepercayaannya”? Menurut hemat saya, ini maksudnya di mana di tempat-tempat tertentu perkawinan dilakukan menurut tata cara adat setempat, yang diakui sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Sementara pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan menurut Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang beragama non Islam pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Akan tetapi di dalam praktek muncul ketidakpastian tentang makna pencatatan perkawinan itu. Misalnya ada beberapa putusan pengadilan termasuk putusan Mahkamah Agung yang menyatakan perkawinan yang tidak dicatatkan sebagai belum ada. ini kayaknya mengacu pada ketentuan Pasal 100 BW, yang menyatakan perkawinan yang belum dicatatkan sebagai belum ada. Sementara Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksananya tidak mengatur sanksi atas perkKawinan yang tidak dicatatkan tersebut.<br /> Pencatatan itu sendiri dalam praktek mengalami kesulitan, karena biaya yang mahal, jauhnya tempat perkawinan dengan pencatatan, prosesnya panjang dan berbelit, dan malahan pencatatan itu sendiri belum merupakan hukum yang hidup di tengah masyarakat kita dewasa ini(Prinst Darwan 1996; 141). Putusan Mahkamah Agung RI, Reg.No.:3752K/Pdt/1 994 tanggal 30 September 1996 menyatakan sah perkawinanyang dilakukmn menurut tata cara adat Cina dan tidak didaftarkan diCatatan Sipil ini bertolak belakang dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung sebelumnya.<br /> Prakteknya hakim tidak ada kewajiban untuk mengikuti suatu putusan Mahkamah Agung tentang sesuatu masalah yang sama. Ini menyulitkan penumbuhan kesadaran hukum masyarakat, karena seolah-olah hukum tidak ada. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan sesuai Pasal 43 (1) Undangundang No. 1 Tahun 1974, hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Artinya dia tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Demikian pun suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya, bilamana ia dapat membuktikan, bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat perbuatan zina itu. Dalam keadaan demikian masalahnya akan diputuskan oleh pengadilan.<br /> Pasal 45 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, mewajibkan orang tua (ayah dan ibu) untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. kewajiban ini berjalan sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak membatasi tanggung jawab ini dengan umur melainkan status dan keadaan anak itu sendiri. Demikian juga sebaliknya sesuai Pasal 46 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, anak wajib menghormati orang tua dan menuruti kehendak mereka yang baik. Serta apabila anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuan orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukannya.<br /> Kewajiban yang diatur dalam pasal 46 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini, adalah kewajiban anak yang telah dewasa untuk memelihara ayah, Ibu, kakek, nenek dan seterusnya, apabila mereka itu memerlukan pemeliharaannya.<br />F. PERWALIAN<br /> Pasal 47 Undang-undang No. 1974 menentukan, bagi anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Syaratnya asal orang tua itu tidak dicabut dari kekuasaannya. Artinya orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum. Baik itu di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam menjalankan kekuasaannya itu sesuai Pasal 48 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya itu, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.<br /> Orang tua baik kedua-duanya ataupun salah seorang di antaranya dapat dicabut kekuasaannya terhadap anak untuk jangka waktu tertentu. Permintaan pencabutan itu sesuai Pasal 49 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dapat dimintakan oleh:<br />1. Orang tua yang lain.<br />Maksudnya apabila yang akan dicabut kekuasaannya itu adalah si ayah, maka dapat dimohonkan oleh ibu. Demikian sebaliknya bila kekuasaan yang dicabut itu adalah ibu, maka dapat dimohonkan oleh ayah.<br />2. Keluarga anak dalam garis lurus ke atas. Misalnya kakek, nenek dan selanjutnya.<br />3. Saudara kandung yang telah dewasa. Misalnya abang, kakak dan anak yang belum dewasa itu.<br />4. Pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan.<br /> Adapun alasan-alasan untuk itu adalah apabila orang tua sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya, atau berkelakuan buruk sekali. Akan tetapi meskipun orang tua itu sudah dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.<br /> <br />BAB II<br />PERLINDUNGAN ANAK<br />A. Pengertian Hukum Perlindungan Anak<br />Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan, Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah ini, menurut Anwar & Irwanto 1999, saat ini diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak dan 10% diantaranya adalah perempuan.<br />Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggarkan. Oleh karena itu untuk memberikan perlindungan terhadap anak maka hukum kita masih memberikan definisi yang berbeda tentang anak, tapi dalam konvensi PBB tentang hak anak diberi batasan usia 18 tahun ke bawah. UU No. 23 tahun 2002 juga mengadopsi batasan yang ada di dalam konvensi hak anak yaitu 18 tahun ke bawah dengan sama sekali tidak membedakan apakah sudah atau belum kawin. Sehingga dalam perseptif terhadap UU Nomor 23/2002 tentang perlindungan anak kita tidak meletakan batasan usia itu sebagai seseorang dikualifikasi sebatas batas dewasa atau tidak, tetapi siapakah yang punya hak, yang mempunyai hak atas hak-hak anak sesuai dengan konvensi hak anak dan UU Nomor 23/2002.<br />B. Beberapa dasar pemikiran Masalah perlindungan Anak<br />1. Landasan Hukum<br />a. Undang-undag dasar 1945, Pasal 20, 20A ayat (1), 21, 28B ayat (2), 34 UUD RI 1945<br />b. Pasal 2 ayat (3) , (4) Udang-undang No. 4/1979 tentang kesejahteraan Anak berbunyiÁnak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Abak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau meghmbat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, kedua ayat ini dengan tegas menyatakan dan mendorong perlu adanya perlindugan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.<br />c. Deklarasi hak anak yng disyahkn oleh PBB pada tanggal 20 Nopember 1959<br />d. Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 45, 287, 288, 292 dan 294 dan pasal 304.<br />e. UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan<br />f. UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak<br />g. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia<br />h. Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang penghapusan Ekspoitasi Seksual Komersial terhadap Anak (EKSA) dengan KEPPRES NO. 87 Tahun 2002.<br />2. Landasan Filosofi<br />a. Pembinaan hukum nasional yang menempati prioritas utama dan mempunyai peran strategi dalam pembangunan hukum di Indonesia<br />b. Mengganti perundang-undagan hasil produk kolial dengan perundang-undangan hasil karya bangsa/putra/I indonesia.<br />c. Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya<br />d. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.<br />e. Bahwa perlindungan anak dalam segala aspek merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.<br />f. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya<br />g. Bahwa terlihat pada undang-undang sebelumnya hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak<br />h. Tanggungjawab berada pada orang tua, keluarga dan masyarakat untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut<br />i. Upaya pelaksanaan perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandugan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.<br />C. Perlindungan Anak yang baik harus memenuhi :<br /> Guna mewujudkan perlindungan anak yang memadai, diperlukan intervensi faktor-faktor pembentukan kualitas hidup yang setara dengan perkembangan peradaban manusia pada jamannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa proses menuju tercapainya tingkat perlindungan anak akan ditentukan pada kurun waktu tersebut. Dalam hal ini setiap jaman memiliki standar perlindungan anak tersendiri, yang disepakati secara luas dengan mengacu pada nilai-nilai yang universal.<br /> Analogisnya dapat dilihat dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia, yang menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang panjang, telah berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat sebagai bagian dari proes peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya dan akan berkaitan dengan pemberian perlindungan anak yang meningkat pula.<br /> Perwujudan perlindungan anak yang berkualitas sebaiknya mulai dipersiapkan sejak dini, bahkan kalau mungkin sejak anak dalam kandungan. Insa kecil terebut membutuhkan perlindungan dari orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmai, rohani maupun sosial kelaknya, sehingga kelak akan menjadi pewaris masa depan yang mempunyai kualitas.<br />Oleh karena itu, apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan keejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan serta peran sertanya dalam kehidupan selanjutnya, maka perlindungan anak yang baik mempunyai syarat-syarat sebagai berikut: <br />1. Para partisipan harus mempuyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak.<br />2. Perlindungan anak harus dilaksanakan bersama antara setiap warganegara, anggota masyarakat secara induvidual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan nasional untuk mencapai aspirasi bangas Indonesia.<br />3. Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yag rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan<br />4. Dalam rangka membuat kebijakan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu diusahakan inventariasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak, dan harus bersifta perspektif (masa depan).<br />5. Dalam membuat ketentuan-ketentuan yang menyinggung dan mengatur perlindungan anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita harus mengutamakan perseptif yang diatur dan bukan yang mengatur<br />6. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan/dinyatakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.<br />7. Dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak pihak anak harus diberikan kemampuan dan kesempatan untuk ikut serta melindungi diri sendiri, dan kemudian kelak menjadi orang tua yang berpartisipasi postif dan aktif dalam kegiatan perlindungan anak yang merupakan hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat.<br />8. Perlindugan anak yang baik harus mempunyai dasar filosofis, etis dan yuridis<br />9. pelaksanaan kegiatan perlindungan anak tidak boleh menimbulkan rasa tidak dilindungi pada yang bersangkutan oleh karena adanya penimbulan pederitaan, kerugian oleh partisipan tertentu.<br />10. perlindungan anak harus didasarkan antara lain ata pengembangan hak dan kewajiban asasinya.<br />D. Perlindungan Anak dalam Lapangan Hukum Perdata<br /> Di kota kota besar dan di daerah perbatasan kota banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan proses pembentukan pi badi mereka, sehingga sering terjadi kenakalan anak. Hal ini terjadi karena mereka lepas dari kendali, pengawasan dan pertumbuhan mental di luar pengamatan orang tua atau walinya.<br />Untuk mengikuti gaya hidup anak masa kini, tanpa memperhitungkan resiko mereka telah terperangkap dalam:<br /> I. Eksploitasi fisik, diataranva seperti:<br />a. Pekerja / bunih anak di sektor industri atau perusahaan yang berbahaya.<br />b. Pengemisan anak terlantar (anak jalanan) <br />II. Ekploitasi seksual, diataranya seperti:<br />a. Prostitusi anak<br />b. Sodomi anak<br />Perundangan - undangan dalam bidang hukum perdata untuk anak yang kita miliki adalah jauh lebih memadai daripada bidang hukum pidana untuk anak. Pada hakekatnya perlindungan anak dalam bidang hukum perdata meliputi banyak aspek hukum, di antara nya:<br />1. Kedudukan anak<br />2. Pengakuan anak<br />3. Pengangkatan anak (Adopsi)<br />4. Pendewasaan<br />5. Kuasa asuh ( hak dan kewajiban) orang tua terhadap anak.<br />6. Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh orang tua<br />7. Perwalian (termasuk Balai Harta Peninggalan)<br />8. Tindakan untuk mengatur yang dapat diambil guna perlindungan anak<br />9. Biaya hidup anak yang ditanggung orang tua akibat perceraian (ahmentasi)<br /> Demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam keluarga, mat. kepastian hukum haruslah diupayakan. Guna menjamin adanya kepastian hukum bagi perlindungan anak, haruslah dibentuk undang undang yang mengatur mengenai hak dan kewajiban secara timbal balik antara yang dilindungi dan yang melindungi. Oleh karena kebahagiaan anak merupakan pula kebahagiaan orang tua, dan berarti kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi.<br /> Hak-hak anak dalam bidang hukum perdata diatur secara garis besar antara lain yang terdapat dalam :<br />1.Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan<br />2 Undang-undarig nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.<br />3. Undang-undang nomor I tahun 2000 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk - bentuk pekerjaan terburuk untuk anak<br />4. Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan anak bagi anak yang mempunyai masalah<br />5. Peraturan Pemenntah nomor 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah<br />6. Peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1991 tentang pendidikan luar sekolah<br />7. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tentang orang<br />8. Kompilasi hukum Islam di Indonesia<br /> Mengenai hak - hak anak, timbul suatu pertanyaan, sampai dimanakah tanggung jawab kuasa asuh orang tua terhadap anak? Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus walaupun perkawman antara kedua orang tua telah putus.<br /> Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasannnva. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar gedung pengadilan.<br />Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik sewaktu dalam kandungan ibu maupun setelah lahir. Anak yang ada dalarn kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Sedang meninggal sewaktu dilahirkan, maka dianggaplah ia tak pemah telah ada.<br /> Orang tua adalah yang pertama tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sehat, cerdas, berbudi pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.<br />Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang - barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan terkecuali jika kepentingan anak menghendakinya.<br /> Sementara anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Bila anak telah mencapai dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Selanjutnya timbul lagi pertanyaan, apakah dapat diadakan pencabutan kuasa asuh orang tua terhadap anak? Undang-undang mengenal alasan- alasan untuk mencabut kuasa asuh orang tua terhadap anaknya. yaitu:<br />1. Salah seorang atau kedua orangtua dapatlah dicabut kekuasaannya terhadap seorang atau beberapa orang anak untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan putusan pengadilan dalam hal-hal:<br />a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.<br />b. Ia berkelakuan amat buruk.<br />Walaupun orang tua telah dicabutnya kekuasaannya. mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan terhadap anak tersebut.<br />2. Bilamana orang tua terbukti melalaikantanggungjawabnya dalarn mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani, rohani maupun sosial, sehingga mengakibatkan timbulnya hanibatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.<br /> Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua,, maka ia berada di bawah kekuasaan waii. Perwalian tersebut adalah mengenai pribadi si anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.<br /> Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum Ia meninggal, dengan surat wasiat ataupun dengan ucapan lisan asalkan dihadapkan 2 orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambil dan keluarga anak tersebut atau orang lain yang telah dewasa, berpikiran sehat, adil dan jujur, serta berkelakuan balk. Adapun kewajiban wali, ialah:<br />1. Mengurus anak yang berada di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik mungkin dengan menghormati agama dan kepercayaan si anak.<br />2. Membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya sewaktu memulai jabatannya dan mencatat segala perubahan-pwrubahan harga benda itu.<br />3. Memberi ganti rugi terhadap harta benda anak yang berada di bawah perwalianya, itupun atas tuntutan anak atau keluarga anak itu sendiri dengan suatu keputusan pengadilan. Kerugian mana lebih adalah karena kesalahan atau kelalaian wali dalam hal mengurus harta benda tadi.<br /> Menurut Undang-Undang Perkawinan produk anak bangsa di jaman orde baru itu, seseorang yang berpredikat sebagai wali temyata dapat dicabut dari kekuasaan perwaliannya, karena lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan berperilaku sangat jelek terhadap anak. Dalam hal kekuasaan wali dicabut, maka oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.<br /> Sedang menurut kompilasi hukum Islam di negeri ini, pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum kepada orang lain atas permohonan kerabatnya jika wali tersebut ternyata penjudi, pemabok, gila dan menyalahgunakan hal sebagai wali, demi kepentingan orang yang yang berada di bawah perwaliannya.<br /> Selanjutnyaada satu hal yang tidak boleh ditinggalkan, bahwa di negeri kita ini ada istilah apa yang dinamakan anak sipil. Anak sipil ialah anak yang atas permintaan orangtuanya atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik pada Lembaga Pemasyarakatan Anak, paling lama sampai umur 18 tahun.<br /> Dinamakan anak sipil karena anak tersebut dikenakan tindakan menurut hukum perdata. Anak tersebut diajukan ke persidangan Ialu diputus dalam perkara perdata dengan menggunakan Kitab Undangundang Hukum Sipil atau yang lebih populer dengan sebutan Kitab Undang-undang Kitab Perdata.<br />Anak yang belum dewasa nyata-nyata melakukan perbuatan sosial (dalam pegertian hukum belum merupakan tindak pidana), yang tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya atau walinya yang tidak dapat lagi diharapkan darnya suatu pendidikan yang baik, maka hakim berdasarkan pasal 302 atau 384 KUHPerdata, atas permohonan orang tua atau wali, dapat memerintahkan penampungan anak tersebut selku ank sipil dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak atau lembaga sejenis yang dikelola swasta.<br /><br /><br /><br />E. Perlindungan Anak dalam Lapangan Hukum Pidana<br /> Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain:<br />1. Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat<br />2 Arus globalisasi di bidang informasi dan komunikasi<br />3. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi<br />4. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua<br /><br /> Telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kebidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Disamping itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.<br /> Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Karena itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.<br /> Mengingat ciri dan sifat anak yang khas, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal diupayakan agar anak dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya. Hubungan orang tua dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritual.<br /> Bilamana hubungan antara orang tua dan anak kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dan orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tadi adalah semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar.<br /> Ancaman pidana bagi anak ditentukan oleh Kitab Undangundang Hukum Pidana yang penjatuhan Pidananya ditentukan setengah dari maksimal ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Adapun penjatuhan pidana penjara seumur hidup dan pidana mati tidak diperlakukan terhadap anak.<br /> Perbedaaan perlakuan dan ancaman pidana tersebut dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depan yang masih panjang. Perbedaan itu dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya guna menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi keluarga dan masyarakat.<br /> Mengenai sangsi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur, yakni bagi anak yang masih berumur 8 hingga 12 tahun hanya dikenakan tindakan belaka, misalkan dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara. Adapun terhadap anak yang telah berumur di atas 12 hingga 18 tahun dijatuhi pidana.<br /> Demi perlindungan terhadap anak, perkara anak nakal wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang bemaung dalam lingkungan peradilan umum. Dengan demikian proses peradilan perkara naak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib ditangani oleh pejabat khusus yang benar benar memahami masalah anak<br /> Pengadilan anak merupakan salah satu aspek hukum dan perlindungan anak. Penyelenggaraan Pengadilan Anak mengutamakan kesejahteraan anak disamping kepentingan masyarakat. Anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukan tingkah laku yang menyimpang dan norma - norma kemasyarakatan.<br /> Sebagai gambaran atau perbandingan dapatlah diketengahakan disini bahwa pada tabun 1956 di negeri Belanda telah dibentuk Dewan Perlindungan Anak, yang semula merupakan lembaga pemerintah yang dinamakan Dewan Perwalian. Dewan Perlindungan Anak tersebut melaksanakan tugas bukan saja memberikan perlindungan anak dalam bidang hukum perdata, namun juga melakukan tugas memberi perlindungan anak dalam bidang hukum pidana, sehingga berfungsi sebagai pusat pedindungan anak di tiap-tiap pengadilan.<br /> Adapun tugas dan kewenangan Dewan Perlindungan Anak tersebut dapatlah dijabarkan sebagai berikut:<br />1. Sebagai pihak dalam perkara, mengajukan permohonan<br />antara lain:<br />a. Kuasa asuh terhadap anak yang bélum dewasa<br />b. Pembatasan kuasa asuh<br />c. Bertugas mengambil alih kuasa asuh<br />d. Permukiman kembali kuasa asub<br />e. Tindakan mempercayakan sementara kepada Dewan<br />2. Memberikan penjelasan berupa saran atau petunjuk antara lain:<br />a. Kepada hakim, mengenai tindakan tindákan terhadap kuasa asuh dalam perkara perdata dan pidana.<br />b. Kepada jaksa, dalam bidang perkara perdata dan pidana<br />c. Kepada menteri dalam hal eksekusi<br />3. Sebagai pengawas, pelaksana dan penengah untuk mendamaikan, antara lain:<br />a. Terhadap anak yang belum dewasa yang dipercayakan kepada dewan<br />b. Anak yang dijatuhi pidana penjara<br />c. Anak-anak asuh<br />4. Mengatur bidang keuangan, antara lain:<br />Kepada hakim, memberi saran tentang tunjangan nafkah yang diwajibkan terhadap salah satu orang tua setelah perceraian sebagai biaya hidup anak (alimentasi). Menentukan jumlah uang yang harus dibayar melalui dewan tentang tunjangan nafkah. Apabila tidak dibayarkan, kepada yang bersangkutan, dewan dapat bertindak (bila perlu) melakukan penyitaan atas upah dari tangan majikan<br />5. Berfungsi sebagai pusat kegiatan perlindungan anak di tiap-tiap pengadilan<br />6. Sebagai pusat dokumentasi, yakni:<br /> a. Dokumentasi untuk pribadi anak yang belurn dewasa<br /> b. Dokumentasi dan tugas perlindungan anak<br /> Sekarang juga di Indonesia, guna melaksanakan pengawasan terhadap hak-hak anak dan mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam keluanga dan masyarakat, perlu dibentuk suatu lembaga yang independen, dan yang cocok untuk itu adalah yang bemama Lembaga Perlindungan Anak. Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak mutlak diperlukan dalam rangka mengimplementasikan konvensi hak-hak anak, sehingga anak-anak nakal, anak- anak jalanan, anak-anak terlantar, anak-anak cacat, anak- anak korban diskniminasi, anak-anak tereksploitasi. dan pekerja / buruh anak merasa terlindungi<br />Melindungi anak dari Tindak Pidana Perlindungan yang diberikan kepada anak oleh KUHP adalah sbb:<br />1. Menjaga kesopanan anak (pasal 283 KUHP) , melarang orang dewasa . Kepada anak-anak.<br />2. Larangan bersetubuh dengan orang yang belum dewasa (pasal 287 KUHP)è Delik Aduan bila usia < 15 Tahun, Delik Laporan bila Usia < 12 tahun.<br />3. Larangan berbuat cabul dengan anak ( pasal 290 KUHP)<br />4. Melarang orang menyuruh anak (P/L) berbuat cabul (pasal 295 KUHP)<br />5. Larangan menculik anak ( Pasal 330 KUHP) < 21 tahun<br />6. Larangan Menyembunyikan orang belum dewasa (pasal 331 KUHP) Usia <21 tahun<br />7. Larangan melarikan perempuan belum dewasa (Pasal 332 KUHP) usia < 21 tahun<br /><br />F. Kedudukan peradilan Anak <br />Bagaimana kedudukan pengadilan anak terhadap badan pengadilan lain di lingkungan peradilam umum?, dalam undang-undang kekuasaan kehakiman Pasal 10 UU No. 14/1970 Peradilan anak itu berada di bawah Peradilan Umum, Jadi yang diatur secara istimewa dalam undang-undang Pengadilan Anak itu hanyalah masalah acara sidangnya yang berbeda dengan acara sidang anak, ada pada peradilan umum (pasal 2 UU No.3/1997) yang menyangkut Anak Nakal yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak. Baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Adapun menurut udang-udang No. 3/1997 anak nakal adalah :Pasal 1 ayat (2)<br />a. anak yang melakukan tindak pidana; atau<br />b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik meurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.<br /> Berkaitan dengan kewenangan pengadilan sejenis mana (pengadilan Anak Pengadilan Negeri) untuk memeriksa dan mengadili perkara itu, maka untuk menentukan kompetensi relatif pengadilan negeri mana yang berhak memeriksa perkara tersebut, hendaklah memperhatikan tempat di mana tidak pidana itu dilakukan (locus delict), sesuai pasal 2 KUHP, locus delicti dapat ditentukan sebagai berikut : <br />a. Leer Van de lichamelijke daat, teori ini disebut teori perbuatan material, yang mengatakan locus delicti adalah tempat di mana pelaku melakukan tindak pidana itu.<br />b. Leer van het instrument, adalah teori alat yang dipergunakan yang mengatakan bahwa delik dilakukan (locus delicti) ditempat di mana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya. Atau dengan kata lain locus delicti adalah tempat di mana alat yang dipergunakan mengakibatkan tindak pidana.<br />c. Leer van gevolg, adalah teori alat yang mengatakan locus delicti adalah tempat di mana akibat dari perbuatan itu terjadi<br /><br />G. Asas – asas pengadilan Anak<br /> Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-undang No. 3 Tahun 1997) dalam pasal-pasalnya menganut beberapa asas, yang membedakannya dengan sidang pidana untuk orang dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:<br />1. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 4 ayat (1).<br />Adapun orang yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak ditentukan secara imitatif, yaitu minimum berumur 8(delapan) tahun dan maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun; dan belum pernah kawin.<br />2. Ruang Iingkup masalah dibatasi (Pasal 1 ayat 2).<br />Masalah yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak hanyalah terbatas menyangkut perkara Anak Nakal.<br />3. Ditangani Pejabat khusus (Pasal 1 ayat 5, 6 dan 7). Undang-undang No. 3 Tahun 1997 menentukan perkara Anak Nakal harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus, seperti:<br />a. Di tingkat penyidikan oleh penyidik anak;<br />b. Di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak;<br />c. Di pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak dan hakim kasasi anak.<br />4. Peran pembimbing kemasyarakatan (Pasal 1 ayat (11). Undang-undang Pengadilan Anak mengakui peranan dan:<br />a. pembimbing kemasyarakatan;<br />b. pekerja sosial; dan<br />c. Pekerja sosial sukarela<br />5. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat 1).<br />Pemeriksaan perkara di pengadilan diiakukan daiam suasana kekeluargaan. OIeh karena itu hakim, penuntut umum dan penasihat hukum tidak memakai toga.<br /> 6. Keharusan splitsing (Pasal 7).<br />Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatus sipil maupun mititer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa. maka si anak diadili dalam sidang pengadilan anak, sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa, atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer.<br />7. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat 1).<br />Acara pemeriksaan di sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup. ini demi kepentingan si anak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.<br /> 8. Diperiksa hakim tunggal (Pasal 11, 14 dan 18).<br />Hakim yang memeriksa perkara anak, baik di tingkat Pengadilan Negeri, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.<br /> 9. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai dengan 49).<br />Masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan menurut KUHAP.<br /> 10. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan 32).<br />Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dan ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah 10 (sepuluh) tahun.<br />H. Tata tertib Sidang Anak<br />SEMA No. 6 Tahun 1987 tanggal 17 Nopember 1987 tentang tertib sidang anak dan menunjuk pula pada Bab II pasal 9 sampai dengan pasal 12 Peraturan Menteri Kehakiman (PERMENKEH) No.M.06—UM.O1.06 Tahun 1983. Maka tata tertib sidang anak sebagai berikut :<br />1. Pengadi1an mengadakan suatu Register tersendiri untuk perkara anak, dan menetapkan hari-hari sidang tertentu, dan ruang tertentu untuk perkara tersebut.<br />2. Ketua pengadilan menunjuk Ibu atau Bapak Hakim yang mempunyai perhatian (Interesse) terhadap masalah anak, hingga Ibu atau Bapak hakim tersebut, selain menyidangkan perkara biasa, juga menyidangkan perkara anak (telah mengomentari Rule Beijing Rules bahwa perlu pendidikan dan latihan khusus bagi aparat penegak hukum).<br />3. Sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal, kecuali dalam tertentu oleh ketua pengadilan negeri dapat dilakukan riksaan dengan hakim majelis (Beijing Rules 14 juga unvai komentar yang senada). <br />4. Pemeriksaan dilakukan dengan sidang tertutup dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka, ini menjaga agar anak-anak tidak dipublikasikan oleh pers. Karena bila sampai identitas anak dan perkaranya dimuat dalam mass media, maka akan merupakan trauma bagi anak dikelak kemudian hari dan secara psikologis akan mempengaruhi perkembangan anak. Ia akan dikucilkan oleh teman-temannya apabila diketahui ia sedang disidangkan<br />5. Baik, Hakim atau Jaksa maupun Penasehat Hukum tidak mungkin tega. Ini mencerminkan adanya asas-asas kekeluargaan, dimana hakim di dalam memeriksa apa yang menjadi sebab si anak melakukan tindak pidana haruslah dengan lemah lembut, hingga si anak mempunyai keberanian untuk menceritakan penyebabnya. Penyebab ini penting untuk diketahui, hingga hakim dapat memilih hukuman apa yang cocok diberikan kepada si anak, hingga dapat diharapkan si anak kembali ke jalan yang benar. Kita tentu masih ingat bahwa sidang anak adalah untuk kepentingan anak dengan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat, dengan catatan kepentingan anak harus didahulukan daripada kepentingan masyarakat (sesuai dengan Beijing Rules 14.2). <br />6. Pada sidang anak, orang tua, wali atau orang tua asuh harus hadir. Hal ini untuk menjaga agar orang tua tidak melupakan tanggung jawabnya terhadap anaknya. Sering terjadi orang tidak mengetahui tingkah laku anaknya diluar rumah sehingga sianak berbuat melangar hukurn dan apabila orang tua mendengar apa yang sesungguhnya terjadi dipersidangan, mereka menjadi terheran-heran dan sama sekali tidak mendengar sianak berbuat demikian dan hikmahnya, untuk di masa mendatang orang tua dapat memperbaiki hubungan mereka dengan anaknya. Tindakan yang demikian itu tidak lain untuk melindunggi anak dan masa depannya.<br />7. Hadirnya pembimbing pemasyarakatan dari Departemen Kehakiman (BISPA) untuk memberi/laporan sosialnya tentang si anak.<br />I. Upaya Hukum dalam Pengadilan Anak<br />Hakim Pengadilan Anak Hakim anak (pasal 1 ayt 5) adalah hakim yang ditetapkan berdasarkan SK Ketua MA atas usul dari Ketua PN melalui Ketua PT (pasal 9) dengan persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 10 UU No.3/1997 :<br />a. Hakim Pengadilan negeri<br />1. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan PN<br />2 Mempuyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah-masalah anak<br />b. Hakim Banding Anak (Pasal 1 ayat 8)<br />Tata cara pengangkatan hakim banding anak diatur dalam pasal 1 ayat 8, pasal 12.<br />c. Hakim Kasasi Anak (pasal 1 ayat 9 dan pasal 18).<br />d. Peninjauan kembali (PK)<br /> Menurut pasal 263 KUHAP. PK dapat dilakukan terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap. <br />PK Dapat dilakukan terhadap Putusan tersebut (pasal 20 UU No.3/1997) dengan syarat yang meminta PK adalah :<br />1. Novum<br />2. Alasan putusan bertentangan satu sama lain<br />3. Terdapat kekeliruan /kekhilafan hakim<br />4. Perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi tidak dihukum<br />Terpidana, Orang tua, Wali, orang tua asuh, Penasehat Hukumnya ke MA<br />J. Sanksi terhadap anak Nakal<br /><br />1. Untuk anak yang melakukan TP dapat dihukum è Penjara, Pidana Kurungan, Denda, Pidana pengawasan<br />2. Untuk anak yang berumur kurang dari 12 tahun dan melakukan TP. Tidak dapat dijatuhkan hukuman pidana melainkan menyerahkan anak itu kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (pasal 24 (1 huruf a)<br />3. Pidana penjara maksimal 2 tahun dapat dijatuhkan pidana bersyarat, dan pengawasan dilakukan oleh JPU dan BAPAS<br />4. Pidana pengawasan = 2 tahun. Merupakan pidana khusus yang dikenakan untuk anak yang dilakukan pengawasan oleh JPU di rumah anak tsb. (Pasal 1 ayat 2 jo pasal 30 UU No.3/1997.)<br />5.Anak yang belum berumur 8 tahun, walaupun melakukan TP, belum dapat diajukan ke sidang pengadilan anak :<br />§ Diserahkan kepada orang tua/wali/orang tua asuh<br />§ Diserahkan kepada negara<br />§ Diserahkan kepada Departemen sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan<br /><br />K. Lembaga Pemasyarakatan ((Pasal 60 UU No.3/1997)<br />Pemasyarakatan adalah suatu kegiatan untuk melakuan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sisem kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan Tempat pendidikan dan pembinaan bagi Anak Pidana, Anak Negara, Anak Sipil dan merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan. Sedangkan untuk anak pidana yang belum selesai menjalani masa pidananya di LP Anak, setelah berumur 18 tahun, dan belum berumur 21 tahun di pindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa tetapi penahannya/penempatannya di pisahkan dari tahanan yang berusia 21 tahun lebih .<br />Adapun yang termasuk dalam Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BAPAS) yang lajim disebut dengan Klien Pemasyarakatan (pasal 1 angka 9 UU No.12/1995) adalah :<br />1.Terpidana bersyarat : (pasal 62 UU No.12/1995)<br />adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, akan tetapi ia tidak dibina di Lembaga pemasyarakatan, melainkan dikenakan hukuman bersyarat, denda, dll.<br /> 2. Nara Pidana, anak pidana, dan anak negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat Adalah terpidana yang menjalani pidana, dan mendapatkan pembebasan bersayarat atau sedang cuti menjalani hukuman menjelang bebas.<br />L. Perbedaa Masa Penahanan Anak dan Orang Dewasa<br />MASA PENAHANAN<br />PELAKU PENAHANAN ANK IZIN (+) Demi Hukum DEWASA IZIN (+) Demi Hukum<br /> Dilepas Dilepas<br />Penyidik 20 JPU 10 30 20 JPU 40 60<br />JPU 10 Ketua PN 15 25 30 Ketua PN 30 60<br />Hakim PN 15 Ketua PN 30 45 30 Ketua PN 60 90<br />Hakim Banding 15 Ketua PT 30 45 30 Ketua PT 60 90<br />Hakim Kasasi 25 Ketua MA 30 55 50 Ketua MA 60 110<br />Lama masa penahanan 85 115 >< 160 250 <br /> HARI 200 HARI 1/2 HARI 410 HARI <br /><br />BAB III<br />PENGANGKATAN ANAK<br />A. Ketentuan Hukum Tentang Pengangkatan Anak<br /> Istilah “Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari Bahasa Inggris Adoption, yang berarti “mengangkat seorang anak, anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung” . Dalam bahasa Belanda, Adopsi berasal dari kata adoptie, yang berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri” . Lembaga pengangkatan anak, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut dengan istilah Adopsi yang berarti “pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri” .<br />Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan, Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari pengangkatan anak yang demikian itu adalah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangkatan anak itu, calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.<br />Menurut DR. JA. Nota, seorang sarjana hukum yang khusus belajar tentang adopsi berpendapat, adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsinstelling), melalui mana seseorang berpindah ke dalam ikatan keluarga yang lain (baru), dan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan secara keseluruhan/sebahagian hubungan-hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang dilahirkan sah dengan orang tuanya. <br />Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan anak angkat, menurut Muderis Zaini, hal ini hanya dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi yang dikenal dalam hukum barat, dalam bahasa Arab disebut Tabanni, mengandung pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak kandung sendiri dengan konsekuensi, ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula. Sedangkan istilah anak angkat adalah pengertian menurut hukum adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian sesuai dengan keanekaragaman sistem adat di Indonesia.<br />Penulis menyimpulkan, pengangkatan anak (Adopsi, al-Tabanni), yaitu suatu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “Pengangkatan Anak” dan istilah inilah yang dalam pembahasan selanjutnya akan digunakan untuk mewakili istilah adopsi. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam hukum keluarga. <br /> Sebagaimana diketahui, ketentuan peraturan perundang-undang mengatur tentang.pengangkatan anak sudah ada di zaman sebelum perang di Indonesia, yaitu sebagaimana diatur dalarn “Staatsblad” Tahun 1917 No. 129. Dalam Bab II Staatsb1ad tersebut diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus bagi orang-orang Tiongha..<br /> Kemudian setelah zaman kemerdekaan yaitu pada tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganega Republik Indonesia. Dalam Undang-undang tersebut, yang berkaitan dengan pengangkatan anak dimuat dalam pasal. 2. Undang-undang tersebut dimuat dalam Lernbaran Negara Tahun 1958 No. 115, Tambahan Lembaran Negara No. 1647.<br /> Kemudian pada Tahun 1978, jadi dua puluh tahun kemudian, dikeluarkanlah Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2 tanggal24 Februari 1978. Surat Edaran tersebut mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh orang asing.<br /> Pada tahun 1979, dikeluarkanlah undang-undang No. 4 Tahun 79 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam pasal 12 Undang-undang tersebut ditentukan tentang motif pengangkatan anak yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak. Undang-undang No. 4 tahun 1979 itu dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1979 No.52, Tambahan Lembaran Negara No. 3145. Dan yang terakhir pada tahun 1983 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 tahuri 1983. Surat Edaran tersebut merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung RI No: 2 Tahun 1979 mengenai pengangkatan anak. Surat Edaran tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam mengambil Putusan atau ketetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.<br /> Sebagaimana telah dijelaskan di. muka, peraturan perundang undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak terdapat pada :<br />1. “Staatsladd’ tahun 1917 Nomor 129;<br />2. Undang—undang Nornor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Repub1ik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 1958, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1647);<br />3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Repub1ik Indonesia Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143);<br />4. Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan nomor JHA 1/1/2 tanggal. 24 Februari 1978 tentang prosedur Pengangkatan Anak warganegara Indonesia oleh Orang Asing. <br />5. Surat Edaran Mahkarnah Agung RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak.<br /> Dibawah mi akan diuraikan secana berturut-turut mengenai peraturan perundang-undangan yang dimaksud di atas.<br />1. Staatsblad tahun 1917 No. 129. Bab II Staatsblad <br />Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), tidak ditemukan satu ketentuan pasal pun yang mengatur masalah pengangkatan anak. BW hanya mengatur ketentuan tentang pengakuan anak di luar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam Buku I Bab XII bagian ketiga BW, tepatnya pada Pasal 280-289 yang substansinya mengatur tentang pengakuan terhadap anak-anak di luar kawin. <br />Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan manusia yang termasuk perbuatan perdata yang merupakan bagian Hukum kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia. Bagaimanapun juga lembaga pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan. Dengan demikian , karena tuntutan masyarakat walaupun dalam BW tidak mengatur masalah pengangkatan anak ini, sedang pengangkatan anak itu sendiri sangat lazim terjadi di masyarakat, maka Pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang pengangkatan anak ini. Karena itulah dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 tahun 1917, khusus Pasal 5 -15 yang mengatur masalah pengangkatan anak untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah Staatsblad 1917 Nomor 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur pengangkatan anak bagi kalangan masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing. <br />Oleh karena hanya satu-satunya Staatsblad 1917 No. 129 seperti disebutkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang merupakan kelengkapan dari BW yang ada, maka untuk mengemukakan data pengangkatan anak menurut versi Hukum Barat ini semata-mata beranjak dari Staatsblad tersebut. <br />Pasal 5 Staatsblad 1917 Nomor 129 mengatur tentang siapa saja yang boleh mengangkat anak, yaitu :<br />(1) Dalam hal seorang laki-laki beristeri atau telah pernah beristeri tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak. <br />(2) pengangkatan yang demikian harus dilakukan oleh seorang laki-laki tersebut, bersama-sama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri. <br />(3) aApabila kepada seorang perempuan janda yang tidak telah kawin lagi, oleh suaminya yang telah meninggal dunia, tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagai termasuk ayat ke satu pasal ini, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki-laki sebagai anaknya. Jika si suami yang telah meninggal dunia telah membuat surat wasiat dan menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak oleh istrinya, maka pengangkatan itu pun tidak boleh dilakukannya. <br />Dari ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki , seorang duda yang tidak mempunyai anak laki-laki ataupun seorang janda yang juga tidak mempunyai anak laki-laki, asal saja janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah, yaitu berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Disini tidak diatur secara konkret mengenai batasan usia dan orang yang belum berkawin untuk mengangkat anak.<br />Pasal 6 dan 7 Staatsblaad 1917 No. 129 mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi, yaitu <br />Pasal 6<br />Anak yang boleh diangkat adalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain.<br /><br />Pasal 7<br />(1) orang yang diangkat harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda daripada suami dan paling sedikit 15 tahun lebh muda daripada si isteri atau si janda yang mengangkatnya.<br />(2) apabila yang diangkat seorang anggota keluarga, baik yang sah maupun anak luar kawin, maka hubungan keturunannya haruslah sama derajatnya seperti halnya derajat yang ia peroleh karena keturunan. <br />Dari ketentuan tersebut, batasan usia hanya disebutkan selisih antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat, sedangkan orang yang dapat diangkat hanyalah mereka yang berbangsa Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri, apabila beranak, juga disyaratkan yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Jadi untuk anak perempuan tidak boleh diangkat. Tidak ada batasan apakah yang diangkat itu harus anak dari keluarga dekat atau di luar keluarga atau juga orang asing. Hanya ditekankan, bahwa manakala yang diangkat adalah orang yang sedarah, baik keluarga yang sah maupun keluarga luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya pada moyang kedua belah pihak bersama haruslah memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya karena kelahiran sebelum ia diangkat.<br />Mengenai masalah motif/tujuan mengangkat anak, tidak ada satu pasal pun dikemukakan dalam Staatsblaad 1917 No. 129 ini. Hanya sebagai pedoman, bahwa yang boleh diangkat hanyalah anak laki-laki . Sedang untuk anak perempuan dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2), yaitu Pengangkatan terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan anak dengan cara lain kecuali dengan akte otentik adalah batal demi hukum.<br />Ketentuan ini sebenarnya berangkat dari satu sistem kepercayaan adat Tionghoa bahwa anak laki-laki dianggap oleh masyarakat Tionghoa untuk melanjutkan keturunan mereka. Di samping itu pula, anak laki-laki dianggap dapat memelihara abu leluhur orang tuanya. Oleh karena itulah kebanyakan dari orang Tionghoa tidak mau anak laki-lakinya diangkat orang lain. Kecuali apabila keluarga tersebut tidak mampu lagi memberikan nafkah untuk kebutuhan anak-anaknya. <br />Selain motif di atas, bisa pula dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan, bahwa dengan mengangkat anak ini, maka di kemudian hari akan mendapat anak kandung sendiri. Jadi anak itu sebagai “pancingan” untuk bisa mendapatkan anak kandung sendiri.<br />Tata cara pengangkatan anak ini diatur oleh Pasal 8-10 Staatsblaad 1917 No. 129, yaitu : <br />Pasal 8<br />Untuk pengangkatan anak diperlukan syarat-syarat sebagai berikut, yaitu :<br />1. Persetujuan orang yang mengangkat anak<br />2. a. Jika anak yang diangkat itu adalah anak sah dari orang tuanya maka diperlukan izin orang tuanya, jika bapaknya sudah wafat dan ibunya sudah kawin lagi, maka harus ada persetujuan dari walinya dan dari Balai Harta Peninggalan selaku penguasa wali.<br />b. Jika anak yang akan diangkat itu lahir di luar perkawinan, maka diperlukan izin dari orang tuanya yang mengakui sebagai anaknya, manakala anak itu sama sekali tidak diakui sebagai anak, maka harus ada persetujuan dari walinya serta dari Balai Harta Peninggalan<br />3. Jika anak yang akan diangkat itu sudah berusia 15 tahun, maka diperlukan pula persetujuan dari anak itu sendiri. <br />4. Jika yang akan mengangkat anak adalah seorang perempuan janda, maka harus ada persetujuan dari saudara laki-laki dan ayah dari almarhum suaminya, atau jika tidak ada saudara laki-laki atau ayah yang masih hidup, atau jika mereka tidak menetap di Indonesia, maka harus ada persetujuan dari anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dari garis laki-laki sampai derajat keempat.<br />Berdasarkan Pasal 9, Persetujuan yang dimaksud dalam Pasal 8 butir 4 di atas, dapat diganti dengan izin dari Pengadilan Negeri di wilayah kediaman janda yang ingin mengangkat anak tadi. <br />Pasal 10<br />(1) pengangkatan anak ini harus dilakukan dengan akte notaris. <br />(2) Pihak-pihak yang menghadap notaris dilakukan dengan menghadap sendiri atau dengan kuasa khusus yang dibuat oleh notaris<br />(3) Orang-orang yang dimaksud dalam Pasal 8 butir , kecuali ayah atau wali dari orang yang akan diadopsi, dapat secara bersama- sama atau sendiri-sendiri memberikan persetujuannya juga dengan akta notaris dan hal demikian disebutkan dalam akta pengangkatan anak<br />(4) Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran anak angkat, pada sisi akta dicantumkan tentang pengangkatan anak itu.<br />(5) Hal yang tidak dicantumkan tentang pengangkatan tersebut pada sisi akta kelahiran orang yang diangkat, tidak dapat digunakan untuk menyangkal adanya pengangkatan anak tersebut.<br /><br />Sedang yang menyangkut dengan masalah akibat hukum dari pengangkatan itu diatur dalam Pasal 11, 12, 13 dan 14 Staadstblad 1917 No.129.<br />Pasal 11<br />pengangkatan anak membawa akibat hukum bahwa orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti nama keturunan orang yang diangkat itu. <br />Pasal ini secara jelas menjelaskan bahwa anak yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung orang tua yang mengangkatnya, nama orang tuanya berganti dengan nama ayah angkatnya atau ibu angkatnya dan secara otomatis terputus hubungan dengan orang tua kandung.<br />Pasal 12 menyatakan anak angkat sebagai anak yang sah dari perkawinan orang yang mengangkat. Sedangkan Pasal 13 mewajibkan Balai Harta Peninggalan untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan apabila ada seorang janda yang akan mengangkat seorang anak, guna mengurus dan menyelamatkan barang-barang kekayaan dari anak yang diangkat itu.<br />Pasal 14<br />Karena pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan hukum antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya sendiri dan saudara sedarah, kecuali :<br />1. Mengenai larangan kawin berdasarkan atas kekeluargaan<br />2. Mengenai peraturan hukum pidana yang berdasarkan tali kekeluargaan<br />3. Mengenai perhitungan biaya perkara di muka hakim dan penyanderaan <br />4. Mengenai pembuktian dengan seorang saksi<br />5. Mengenai bertindak sebagai saksi<br />Staatsblad 1917 No. 129 tidak mengatur hak-hak yang kemungkinan dapat diperoleh orang tua angkat terhadap anak angkatnya, misalnya hak nafkah apabila orang tua angkat di kemudian hari kurang mampu sedangkan anak angkatnya mampu, hak waris jika anak angkatnya meninggal dunia lebih dulu, dan lain-lain. Namun berdasarkan teori hukum, hak-hak yang diperoleh anak angkat dari orang tua angkatnya akibat pengangkatan anak, berdasarkan tafsir acontrario orang tua angkat dapat memperoleh hak-hak dari anak angkatnya sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak angkat dari orang tua angkatnya. <br />Dalam hubungannya dengan masalah pembatalan suatu pengangkatan anak, diatur dalam Pasal 15, yang menyebutkan bahwa pengangkatan anak tidak dapat dibatalkan oleh yang bersangkutan sendiri. Kemudian pengangkatan anak perempuan atau pengangkatan anak dengan cara lain tanpa akte notaris adalah batal dengan sendirinya. Kemudian pula ditentukan bahwa pengangkatan anak dapat dibatalkan, apabila bertentangan dengan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 ayat (2) dan (3) dari Staatsblaad 1917 No. 129 tersebut.<br /> Staatsblad tersebut mengatur tentang pengangkatan anak Yang khusus berlaku bagi orang-orang Tonghoa (istilah yang digunakan untuk pengangkatan anak dalam Staatsbald Tahun.1917 No. 129 tersebut adalah “adoptie”).<br /> Menurut ketentuan dalam S.1917 No 129, Yang dapat mengangkat anak adalah laki-laki beristri atau pernah beristri dan tidak mempunyai keturunan anak laki-laki dalam garis laki-laki. Sedangkan yang dapat diangkat sebagai anak hanyalah anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil sebagai anak angkat oleh orang lain.<br /> Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.<br /> Berdasarkan yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Tahun 1963), ketentuan dalam s. 1917 No. 12 9 tersebut mengalami perubahah yang memungkinkan pengangkatan anak perempuan (tertanggal 29 Mel 1963 No. 907/1963P).<br /> Dari ketentutan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orang-orang Tiohoa sebagaimana diatur dalam S. 1917 No. 129, pada asasnya adalah untuk meneruskan atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki.<br /> Namun pengadilan Negeri Istimewa Jakarta tersebut dalam pertimbangan hukumnya menyatakan dengan tegas bahwa peraturan adopsi Thonghoa seperti tercantum dalam pasal 5 dan seterusnya (S.1917 No.129) sudah tidak mempunyai hak hidup lagi, karena bertentangan dengan undang-undang Dasar 1945. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Indonesia telah lama meninggalkan Hukum Adat Tionghoa yang menarik garis keturunan secara patrilinial serta penghormatan nenek moyangg, sehingga sekarang lebih bercorak parental. Putusan pengadilan Negeri Istimewa Jakarta ini bagaimanapun juga menunjukkan adanya kemajuan di bidang Yurisprudensi karena merupakan suatu terobosan terhadap hukum adat Tionghoa yang disesuaikan dengan hukum positif di Indonesia.<br />2. Undang-undang No. 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 115, Tambahan Lembaran Negara No. 1674)<br />Dalarn Undang-undang No. 62 Tahun 1958, yang berkaitan dengan pengangkatan anak dapat dijumpai pada pasal. 2, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut :<br />(1).Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang warganegara Republik Indonesia, Memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal. orang yang mengangkat anak itu.<br />(2).Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri termakaud harus dimintakan oleh orang yang mengangkat tersebut dalam satu tahun setelah pengangkatan itu atau dalam satu tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku.<br /><br />Dalam penjelasan umum Undang-undang No. 62 Tahun 1958 yang menyangkut pengangkatan anak terrnaksud dalam pasal 2, dinyatakan sebagai berikut:<br /> “Pengangkatan adalah biasa di Indonesia. Sah atau tidak sahnya pengangkatan anak itu ditentukan oleh hukum yang menyangkut anak. Adakalanya anak yang diangkat itu anak (orang) asing, akan tetapi benar betul-betul diperlakukan sebagai anak sendiri, tidak diketahui atau dirasakan lagi asal orang itu”.<br />“Maka hendaknya pada anak demikian itu diberikan status orang tua yang mengangkatnya”.<br />“Sebagai jaminan bahwa pengangkatan itu sungguh-sungguh pengangkatan sebagai digambarkan di atas dan supaya anak asing yang diangkat itu betul-betul masih bisa merasa warganegara Indonesia, maka pemberian kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak angkat itu hendaknya dibatasi pada anak yang masih muda sekali”.<br /><br /> Sebagaimana diketahui pasal 2 membatasi usia anak asing yang boleh diangkat sebagai anak angkat oleh warganegara Republik Indonesia, adalah yang belum berumur 5 tahun.<br /> Dari ketentuan Pasal 2 dan penjelasan umum Undang-undang No. 62 Tahun 1958 termaksud di atas tersirat tujuan pengangkatan anak asing oleh seorang warganegara Republik Indonesia adalah terutama untuk kepentingan kesejahteraan anak. Hal ini dapat disimpulkan dari materi ketentuan pasal 2 dan penjelasan umum Undang-undang No.62 Tahun 1958 yaitu antara lain:<br /> - batas usia anak asing yang boleh diangkat (dibawah 5 tahun/ < 5 )<br /> - pengangkatan termaksud harus disahkan oleh pengadilan negeri dalamjangka waktu satu tahun setelah pengangkatan anak.<br /> - anak asing yang diangkat sebagai anak angkat o1eh seorang warganegara Republik Indonesia termaksud diarahkan agar benar-benar dapat merasakan dan meyakini dirinya sebagai warganegara Republik Indonesia.<br />3. Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak <br />Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang kesejahteraan anak dengan tegas ditentukan motif dan anak yang dikehendaki dalaxnpengaturanhukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak. Hal tersebut dapat diketahui dan perumusan pasal 12 yang lengkapnya berbunyi<br /> (1) pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.<br /> (2) kepentingan kesejahteraan anak yang termaksud dalain ayat (1) diaur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.<br /> (3). Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.<br /> Bertolak dad ketentuan Pasal 12 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 termaksud, maka isi dan semangat dad peraturan perundang-undangan nasional yang akan datang tentang pengangkatan anak harus mencerminkan pengutamaan kepentingan kesejahteraan anak.<br /> 4. Surat Edaran DirekturJenderal Hukum dan Perundangundangan Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978 tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warganegara Indonesia oleh Orang Asing.<br /> Berdasarkan Surat Edaran tersebut, pengangkatan anak warganegara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan tersebut dilakukan dengan akta notaris yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri. Selanjutnya dalam Surat Edaran tersebut, ditentukan pula syarat-syarat permohonan pengangkatan anak warganegara Indonesia oleh orang asing, dan ditentukan bahwa permohonan itu harus diajukan di Pengadilan Negeri di Indonesia ( di mana anak yang akan diangkat berdiam).<br /> Selanjutnya ditentukan pula bahwa pemohon harus berdiam atau ada di Indonesia, dan pemohon beserta isteri harus menghadap sendiri di hadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi orang tua angkat. Ditentukan pula bahwa pemohon beserta isteri. berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.<br /> Surat Edaran tersebut ditujukan kepada semua Notaris, wakil Notaris sementara, dan Notaris pengganti di seluruh Indonesia.<br />Surat Edaran tersebut dikeluarkan berdasarkan. alasan karena pada saat itu jumlah pengangkatan anak warganegara Indonesia oleh orang asing ternyata makin meningkat. Di samping itu juga karena masalah pengangkatan anak warganegara Indonesia oleh orang asing pada saat itu mulai mendapat sorotan masyarakat karena:<br />a. Tidak ada persyaratan untuk pengangkatan anak internasional yang memberikan jaminan yang baik bagi kesejahteraan anak yang diangkat<br />b. Legalitas prosedur pengangkatan anak tersebut kadang-kadang diragukan oleh Pemerintah negara lain yang warganegaranya mengangkat anak Indonesia.<br />c. Tidak ada keseragaman prosedur pengangkatan anak tersebut.<br />5. Surat Edaran Menteri Sosial Republik Indonesia tertanggal 7 Desember 1978 Nomor: Huk. 3-1-58-78<br /> Surat Edaran ini merupakan petunjuk sementara dalam Pengangkatan Anak (Adopsi) Internasional. Dasar pertimbangan yang dapat diangkat dari Surat Edaran tersebut adalah bahwa sampai sekarang di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak (adopsi) secara nasional dan berlaku umum. Yang berlaku umum di Indonesia adalah pengangkatan anak dalam lingkungan famili yang berbeda-beda di beberapa daerah berdasarkan adat yang berlaku di daerah masing-masing dan pengangkatan anak antara orang Indonesia melalui proses Pengadilan.<br /> Dasar pertimbangan selanjutnya adalah bahwa masalah pengangkatan anak (adopsi) ini hangat dipersoalkan, terutama karena adanya adopsi antar negara dimana anak-anak Indonesia di adopsi oleh keluarga asing dan semakin meningkatnya permintaan anak-anak Indonesia oleh keluarga-keluarga di Amerika, Eropa dan Australia.<br /> Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan, bahwa sementara menunggu peraturan perundang-undangan lebih lanjut mengenai adopsi, maka dalam menghadapi kasus-kasus tersebut terutama apabila dimintakan pendapat atau rekomendasi dari pihak-pihak yang berkepentingan guna bahan penetapan oleh Pengadilan Negeri, supaya diperhatikan hal-hal sebagai berikut:<br />1. Batas umur anak yang akan diangkat sedapat mungkin tidak lebih dari 5 (lima) tahun.<br />2. Batas umur calon orang tua angkat sedapat mungkin tidak lebih dari 50 (lima puluh) tahun dan dalam keadaan bersuami istri.<br />3. Anak yang akan diangkat jelas asal usulnya.<br />4. Bila masih ada orang tua anak, harus ada persetujuan tertulis yang dilengkapi dengan saksi.<br />5. Ada bukti tanda persetujuan dari instansi yang berwenang dari negara asal, bahwa calon orang tua angkat adalah betul-betul telah disetujui untuk mengangkat anak dalam keadaan <br />mampu, baik material maupun sosial.<br />Surat Edaran tersebut ditujukan kepada Kepala, Kantor Wilayah Departemen Sosial seluruh Indonesia, dengan menekankan bahwa yang menjadi perhatian bagi Departemen Sosial dalam hal pengangkatan anak [adopsi] adalah kepentingan kesejahteraau anak. Oleh karena itu, dalam menghadapi kasus-kasus pengangkatan anak [adopsi] yang pertama-tama perlu diperhatikan adalah, bahwa dengan pengangkatan anak/adopsi tersebut akan terjamin kehidupan, perkembangan secara wajar, dan kesejahteraan si anak. Selanjutnya ditekankan dalam Surat Edaran tersebut , bahwa hal yang ditentukan dalam Surat Edaran di atas supaya dijadikan pula pegangan dalam kasus-kasus adopsi yang sudah diputus oleh Pengadilan dan dimintakan rekomendasi untuk kepentingan izin ke luar (exit permit) dari Imigrasi.<br />Demikianlah isi Surat Edaran Menteri Sosial tanggal 7 Desember 1978 Nomor Huk. 3 - 1 - 58-’78 yang merupakan petunjuk-petunjuk sementara dalam menghadapi kasus-kasus pengangkatan anak/adopsi internasional untuk diperhatikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Sosial Seluruh Indonesia.<br />6. Surat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan tertanggal 27 Maret 1980 No: B.112/MENKO/POLKAM/3/1980.<br />Surat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan tersebut ditujukan kepada Menteni Kehakiman untuk menjadi perhatian. Dijelaskan dalam surat tersebut, bahwa pada prinsipnya Polkam sependapat dan menunjang saran dari Menko Kesra. Namun demikian hendaknya masih disediakan suatu klausula yang membuka kemungkinan pengangkatan anak oleh suatu keluarga asing berdasar persyaratan yang sangat istimewa, berdasarkan alasan yang ditentukan dalam Surat Menko Polkam tersebut sebagai berikut:<br />a. Pengangkatan anak dalam sistem hukum Negara manapun pada dasannya adalah perbuatan kemanusiaan yang sangat mulia dan mempunyai pengaruh kejiwaan yang positif bagi kedua belah pihak. Sesungguhnya yang patut dicegah dalam Adopsi adalah pnaktek adopsi internasional maupun nasional yang benmotif atau yang mengarah ke motif perdagangan anak.<br />b. Di dalam kenyataan sosial di negara manapun hubungan pribadi antar warganegara dan berbagai negara yang benar-benar bernilai moral untuk melakukan kebajikan sosial adalah lazim.<br />Demikianlah isi Surat Menterii Koondinator Politik dan Keamanan yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman untuk menjadi perhatian. Dari isi Surat Menteri Koordinator Polkam tersebut dapatlah diketahui adanya kekhawatiran dibidang Polkam bahwa adopsi internasional tersebut dapat menjurus pada motif perdagangan anak, sehingga dalam pelaksanaannya perlu mendapat perhatian dari Menteri Kehakiman.<br />7. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6 Tahun 1983 tentangpenyempurnaan Surat Edaran No. 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak.<br /><br /> Dalam Surat Edaran tersebut di atas ditentukanantara lain tentang syarat-syarat Permohonan Pengesahan/Pengangkatan anak antara warganegara Indonesia oleh orang tua angkat Warganegara Asing (“Inter Country Adoption”). Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut ditujukan kepada semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim Pengadilan Tinggi, dan semua Ketua, wakil Ketua, Hakimhakim Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.<br /> Surat Edaran tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan, bahwa berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung yang menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahan/pengangkatan anak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak kian hari kian bertambah, baik yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak.<br /> Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa kèbutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum untuk itu hanya di dapat setelah memperoleh suatu putusan pengadilan.<br /> Demikianlah ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada semenjak sebelum perang di Indonesia hingga sekarang yang masih benlaku.<br />B. Hukum Adat<br />Seperti telah diterangkan di muka, kecuali dalam peraturan perundang-undangan, ketentuan hukum tentang pengangkatan anak terdapat pula dalam hukum adat. Yang dimaksud dengan hukum adat adalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi, sebagai terjemahan dan Bahasa Belanda “adatrecht” yang digunakan pertama kali oleh Prof. C. Snouck Hourgronje dalam bukunya “De Atjehers”.<br />Kemudian C. van Vollenhoven pada permulaan abad ke dua puluh yang telah menyelidiki hukum adat secara mendalam, membagi lagi daerah hukum adat di Indonesia sebanyak 19 daerah hukum adat.<br />Berdasarkan pembagian daerah hukum adat itu, maka di berbagai daerah hukum adat di Indonesia mengenai pengangkatan anak tidak terdapat keseragaman karena kaitannya yang langsung dengan hukum keluarga.<br />Di daerah-daerah yang hubungan keluarganya mengikuti garis ke-Bapakan (Patrilineal) antara lain di Tapanuli, Nias, Gayo, Lampung, Maluku, Kepulauan Timór dan Bali pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada anak laki-laki dengan tujuan utama penerusan keturunan.<br />Di daerah-daerah yang mengikuti garis ke-Ibuan (Matrilineal) terutama di Minangkabau pada prinsipnya tidak dikenal lembaga adat pengangkatan anak. Menurut hukum adat waris yang berlaku di daerah Minangkabau maka mata pencanian seorang suami tidak akan diwarisi oleh anak-anaknya sendiri, melainkan oleh saudara- saudaranya sekandung beserta turunan saudara perempuannya yang sekandung. Akibatnya di Minangkabau tidak mendesak untuk mengangkat anak, sebab yang mewaris adalah anak-anak dan saudaranya yang perempuan sehingga tidak terjadi pengangkatan anak. Namun menurut Ter Haar di daerah perbatasan antara Minangkabau dan Mandailing kadangkadang ada pengangkatan anak.<br />Di daerah-daerah yang mengikuti garis ke-Ibu-Bapakan (Parental) antara lain Jawa dan Sulawesi, pengangkatan anak (laki-laki atau wanita) pada umumnya ditujukan pada keponakannya sendiri berdasarkan alasan-alasan atau tujuan:<br />- untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang diangkat.<br />- untuk menolong anak yang diangkat atau dasar belas kasihan.<br />- atas dasar kepercayaan agar dengan mengangkat anak, kedua orang tua angkat dikaruniai anak sendiri.<br />- untuk membantu pekerjaan orang tua angkat.<br />Pengangkatan anak menurut hukum adat mempunyai tingkatan-tingkatan tertentu. Di Bali pengangkatan anak menjadikan anak angkat menjadi anak sah sama sekali. Yang diangkat anak baik secara lahiriah (uiterlijk) maupun secara batiniah merupakan anak sendiri. Di Kolaka menurut adat Tolaki, yang mengasuh si anak dianggap Ibunya yang sesungguhnya melahirkannya (“Ie peanake, ie umoanai”).<br />Di daerah Toraja dan kebanyakan di Pulau Jawa, pengangkatan anak menjadikan si anak mempunyai kedudukan seperti anak kandung. Di Aceh Tengah, hubungan demikian dilukiskan dengan kata-kata :Jauh disusul, hilang dicari, hidup dibimbing, mati dikafankan (“juch geuseutot, gadoh geumita udep geupeujalan, mate geupeugaphan”).<br />Di lain-lain daerah pengangkatan anak tidak menyebabkan hubungan dengan orang tua kandung putus sama sekali.<br />Perkawinan dilakukan guna membentuk keluarga yang harmonis, terdiri dari ayah, ibu dan anak. Demikianlah suatu haknya baru sempurna bila ketiga macam unsur itu ada. Dengan motif yang demikianlah orang Indonesia mengangkat anak. Motif lain ialah dengan dasar mengasihi atau menyayangi anak yang terlantar, atau karena ingin membantu orang tua yang tidak mampu mendidik sendiri anak-anaknya, orang mengangkat anak.<br />Dengan demikian pengangkatan anak berdasarkan adat pada umumnya tidak ditujukan pertama-tama dan terutama pada kepentingan kesejahteraan anak baik rohani, jasmani maupun sosial.<br />Demikianlah ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak yang berlaku menurut hukum adat secara garis besarnya sesuai dengan daerah hukum adatnya masing-masing.<br />C. Hukum Islam<br />Setelah kita mengetahui masalah pengangkatan anak dan segi peraturan perundang-undangan dan dari segi hukum adat kiranya perlu diketahui masalah pengangkatan anak dari segi Hukum Islam.<br />Sudah sejak zaman dahulu kala (zaman Jahiliyah) orang Arab mengenal dan telah melakukan pengangkatan anak. Nabi Muhammad S.A.W pada waktu itu mengangkat seorang laki-laki bernama Zaid bin Haritsah.<br />Pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung pada wahyu Illahi sebagaimana tertera dalam surat Al-Ahzab (33:4-5-37). Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk memperbaiki kesalahan Nabi Muhammad S.aw. dalam mengangkat anak yang disesuaikannya dengan adat dan kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan bangsa Arab waktu itu. <br />Surat Al-Ahzab (33 :4-5 -37) dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:<br />1. Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia;<br />2. Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu<br />3. Panggillah anak angkatmu menurut nama Bapaknya;<br />4. Bekas isteri anak angkat boleh kawin dengan Bapak angkat.<br />Dari rumusan ayat tersebut di atas, dapatlah kita ketahui, bahwa menurut agama Islam, anak angkat bukanlah anak kandung. Hubungan darah tidak pernah terputus antara ayah kandung dengan anak kandung. Oleh karena itu seharusnyalah si anak dipanggil menurut nama bapak kandungnya. Dan oleh karena itu menurut hukum Islam tidak ada halangan sama sekali untuk menikah antara anak kandung dengan anak angkat.<br />Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut<br />1. tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua biologis dan keluarga.<br />2. anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.<br />3. anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung sekedar sebagai tanda pengenal/alamat.<br />4. orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.<br />Dalam ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.<br />Berdasarkan prinsip dasar termaksud maka hukum Islam tidak melarang memberikan berbagai bentuk bantuan atau jaminan penghidupan oleh orang tua angkat terhadap anak angkatnya, antara lain berupa:<br />1. pemberian hibah kepada anak angkat untuk bekal hidupnya di kemudian hari.<br />2. Pemberian wasiat/testamen kepada anak angkat dengan ketentuan tidak boleh lebih dan sepertiga harta kekayaan orang tua angkat yang kelak akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak. Pangkal<br />dasar hukum Islam tentang pengangkatan anak dapat dijumpai dalam Al-Quran surat Al Ashab ayat (4) dan (5) yang diartikan sebagai berikut:<br />a. Ayat (4) Allah tidak menjadikan dua buah hati dalam dada manusia Dia (Allah)<br />tidak menjadikan anak angkatmu<br />sebagai anak kandung sendiri yang<br />demikian itu hanya perbuatanmu di<br />mulutmusaja. Dan Allah menyatakan yang sebenarnya dan Dia menentukan jalan yang benar.<br />b. Ayat (5): Panggillah anak-anak angkatmu inidengan memakai nama Bapak-bapak mereka, itulah lebih adil di sisi Allah. Dan bila kamu tidak mengetahui Bapak-bapak mereka, maka panggillah merekasebagai saudaramu seagama dan maula-maulamu.<br /> Bertolak dari hal-hal yang diutarakan di atas, dapat disimpulkan prinsip-prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam bertujuan mencegah agar seseorang anak tidak sampai terlantar dalam hidupnya dan bersifat pengarahan yang dapat disertai dengan pemberian bantuan penghidupan untuk kesejahteraan anak.<br /> Dapat disimpulkan tujuan utama pengangkatan anak menurut hukum islam adalah untuk kepentigan kesejahteraan anak. Hal ini sejalan dengan isi dan semangat pasal 12 mengenai pengangkatan anak dalam UU No. 4/1979 tentang kesejahteraan anak.<br /> Jadi jika dikaitkan dengan UUDRI 1945 pasal 34 dan nilai-nilai luhur Pancaila sebagaimana diketengahkan di atas serta isi dan semangat UU No. 4/1979, maka dapat disimpulkan tujuan pengangkatan anak scara nasional terutama adalah untuk kesejahteraan anak baik rohani, jasmani maupun sosial<br />D. Akibat Hukum pengangkatan Anak<br /> Di atas kita telah berbicara tentang pengangkatan anak (PAK) yang bersumber dari hukum tertulis, hukum adat dan hukum Islam, dimana hukum terebut menjadi pegangan dalam melakanakan PAK. Oleh karena itu perlu pula dalam hal ini kita membahas tentang akibat hukum pengangkatan anak, dimana terlebih dahulu kita uraikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagaimana diatur dalam S.1927 No. 129 dan UU No. 62/1958, kemudian akan dikita uraikan dari sisi hukum adat dan berdasarkan hukum Islam dan pada akgirnya berdasarkan praktek pengadilan.<br /> Sebagai akibat hukum pengangkatan anak yang diatur dalam S.1927 No.129, maka ;<br />1. Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat (pasal 11).<br />2. Anak angkat dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat (pasal 12 ayat 1)<br />3. anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat;<br />4. karena pengangkatan anak, terputus segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran (antara anak dengan orang tua kandung).<br />Dengan adanya yurisprudensi yang membolehkan pengangkatan anak perempuan bagi mereka yang diperlakukan S. 1917 No. 129, memberikan akibat hukum yang sama dengan di atas.<br />Selanjutnya sebagai akibat hukum pengangkatan anak berdasarkan Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan membawa akibat perubahan status publik si anak yang mengikuti status publik orang tua angkat<br />Pengangkatan anak menurut hukum adat seperti telah diuraikan di atas, dilakukan menurut adat setempat dan tidak ada suatu kesatuan cara untuk semua daerah di Indonesia. Demikian pula dengan akibat hukum dan pengangkatan anak itu berbeda-beda menurut masing- masing hukum adat setempat.<br />Pengangkatan anak menurut hukum Islam tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkat. Anak tetap memakai nama dan bapak kandung dan tetap menjadi ahli waris dari orangtua kandung.<br />Kedudukan anak angkat di dalam masyarakat yang sifat susunan kekeluargaànnya yang parental seperti misalnya di Jawa berbeda dengan kedudukan anak angkat dalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaannya patrilineal seperti di Bali.<br />Di Jawa perbuatan mengangkat anak hanyalah sebagai anggota rumah tangga atau keluarga yang mengangkatnya tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orang tuanya sendiri. Akibatnya anak itu tetap berhak mewaris dari orang tuanya sendiri, dan di samping itu ia juga berhak mewaris dari orang tua angkatnya (“meminum air dari dua sumber”, seperti dikatakan oleh bjojodigoeno - Tirtawinata, 1940).<br />Sedangkan di Bali tindakan mengangkat anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya, sehingga anak itu seterusnya berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan kedudukan dari Bapak angkatnya<br />Walaupun demikian, pengadilan di dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum di dalam pengangkatan anak antara anak dengan orang tua sebagai berikut :<br />a).Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orang tua kandung.<br />b). Hubungan waris: dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dan orang tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dan orang tua angkat.<br />c). Hubungan Perwalian: dalam hubungan perwalian mi terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua beralih kepada orang tua angkat.<br />d). Hubungan marga, gelar, kedudukan adat: dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat<br />E. Batas-batas Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama<br />Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia dan telah merambah dalam praktik melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya undang-undang yang mengatur secara khusus, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presdien Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Pada Pasal 17 Huruf h, secara definistif disebutkan bahwa “ Anak Angkat Adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tu asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan Definisi anak angkat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut, jika dibandingkan dengan definisi anak angkat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9 dinyatakan bahwa “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. <br />Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses hukum melalui penetapan pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai Penjaga ketertiban dan sebagai rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan tersebut merupakan kemajuan ke arah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang.hidup di tengah-tengah masyarakat, agar peristiwa pengangkatan anak itu di kemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angka.t maupun bagi orang tua angkat. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan tersebut, telah berkembang baik di lingkungan Pengadilan Negeri maupun dalam lingkungan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.<br />Selama ini perkara permohonan pengangkatan anak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Negeri, dengan hukum terapan Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang filosofinya berasal dari budaya masyarakat keturunan Tionghoa, dan membawa konsekuensi yuridis yang sangat bertentangan dengan hukum Islam. Ketentuan adopsi berdasarkan Staatsblad No. 129 Tahun 1917 hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan itu pun harus dengan akte notaris. Sungguh pun demikian, Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Jakarta Istimewa) tanggal 29 Mei 1963 membolehkan adopsi anak perempuan. Sementara itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor. 6 Tahun 1983 mengatur tentang Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia. Surat edaran ini selain menetapkan pengangkatan anak langsung antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga menetapkan pengangkatan anak oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/ belum menikah (single parent adoption). <br /> Perkara permohonan pengangkatan anak sendiri bukan merupakan perkara baru di Pengadilan Agama, hal tersebut telah diakomodir oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dimana status, hak dan kedudukan anak angkat dan orang tua angkat secara tegas dirumuskan dalam Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI. Sejak saat itu, dari tahun ke tahun perkara permohonan pengangkatan anak semakin bertambah. Untuk itu, maka ummat Islam menuntut melalui lembaga legislatif agar diberikan saluran hukum untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, maka pada tanggal 20 April 2006 lahirlah UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.<br /> Berdasarkan Pasal 49 huruf (a) angka 20 UU Peradilan Agama tersebut, Pengadilan Agama diberikan kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara ... ”asal usul anak dan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”. Terbitnya UU ini semakin memantapkan kewenangan peradilan agama dalam menangani permohonan pengangkatan anak angkat. Namun demikian, dengan masuknya pengangkatan anak menjadi kewenangan absolut pengadilan agama, di satu sisi memunculkan persoalan baru, baik itu secara teknis maupun administratif. Di sisi lain, produk penetapan pengangkatan anak yang dikeluarkan Pengadilan Agama memunculkan akibat hukum yang berbeda pula dibandingkan dengan produk penetapan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri.<br />Perbedaan Pengangkatan Anak di Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama<br />Mengenai perbedaannya, penulis akan menampilkan dalam bentuk matriks berikut ini :<br /><br /><br /><br />No. Unsur Perbedaan Pengadilan Negeri Pengadilan Agama<br />1 Nasab Anak angkat terputus dengan nasab orang tua kandungnya, dan dinasabkan kepada orang tua angkatnya Anak angkat tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, yang beralih hanyalah tanggung jawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat<br />2 Panggilan Anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua angkatnya Anak angkat dipanggil (bin/binti) dengan nama ayah atau orang tua kandungnya<br />3 Perwalian Orang tua angkat menjadi wali penuh terhadap anak angkatnya, termasuk menjadi wali nikah, jika anak angkat perempuan. Orang tua angkat tidak sah menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan<br />4 Hak Waris Anak angkat memliki hak waris sebagaimana hak waris yang dimiliki oleh anak kandung, dapat menghabiskan seluruh harta warisan orang tua angkatnya, dan juga menggugurkan hak waris orang tua dan saudara kandung orang tua angkat, jika orang tua angkat tidak mempunyai anak Anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Anak angkat dapat memperoleh harta warisan orang tua angkatnya melalui lembaga wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta warisan<br />5 Mahrom Kawin Anak angkat tidak sah dinikahi oleh orang tua angkatnya Anak angkat boleh dinikahi orang tua angkatnya<br />6 Status anak angkat dengan status orang yang mengangkat Apabila orang tua angkatnya adalah laki-laki yang telah kawin, maka anak angkat secara serta merta dianggap sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka.Apabila ayah angkatnya seorang suami yang telah kawin dan perkawinannya telah putus, maka anak angkat harus dianggap sebagai anak yang lahir dari mereka yang disebabkan putus karena kematianApabila seorang janda mengangkat seorang anak, maka ia dianggap lahir dari perkawinannya dengan suami yang telah meninggal dunia Hukum Islam melarang ketentuan-ketentuan tersebut<br />7 Pihak yang mengajukan permohonan Antar WNI yang bukan beragama Islam, dan Pengangkatan anak beda kewarganegaraan Antar WNI yang beragama Islam<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br />Arif Gosita, SH.Dr. Masalah perlindungan Anak, Cet. Ke.3 PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 1984.<br />Aroma Elmina Martha, Perempuan, kekerasan dan Hukum, Cet. Ke 1.UII Press, Jojakarta, 2003.<br />Andy Yentriyani, Politik Perdagangan Perempuan, Cet. Ke.1 Galang Press, Jogjakarta, 2004.<br />Bismar Siregar, SH, Hukum dan Hak-hak Anak, Cet. 1. Rajawali, Jakarta, 1986.<br />Darwan Prinst, SH. Hukum Anak Indonesia, Cet. Ke . PT. Citra Aditya Bakti, Bandug, 1997<br />Indonesia, Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, LNRI Tahun 1997 Nomor 3. TLNRI No.3668.<br />_________, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LNRI Tahun 2002 Nomor 109. TLNRI No.4235.<br />_________, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, LNRI Tahun 1970 Nomor 74. TLNRI No.3256.<br />_________, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LNRI Tahun 2004 Nomor 95. TLNRI No.4419.<br />M. Budiarto, SH, Pengangkatan Anak ditinjau dari segi hukum,Cet. Ke 2, Akademika Presindo, Jakarta, 1991<br />Zulkhair, Sholeh Soeaidy, Dasar Hukum perlindungan Anak, Cet ke.1 CV. Novindo Pustaka Mandiri, jakarta, 2001<br /></span>setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-67212291720652563492010-03-08T00:45:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.329-07:00MODUL 1 HUKUM LINGKUNGANLingkungan Hidup<br /><br />Kata Pengantar<br />Lingkungan adalah semua faktor, fisik dan biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan hidup, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme.<br />Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.<br />Lingkungan fisik meliputi benda dan daya, lingkungan biologi meliputi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, lingkungan sosial meliputi manusia dan prilakunya dan lingkungan institusional meliputi lembaga-lembaga yang dibentuk masyarakat.<br />Manusia hanya salah satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang tidaklah merusak, mencemari, atau menguras lingkungan.<br />Manusia hanya dapat hidup dan melanjutkan kehidupannya karena adanya tumbuhan, makhluk hidup yang lain, dan jasad perombak. Sebaliknya alam dengan tumbuhan, makhluk hidup lain, dan jasad perombak dapat hidup terus tanpa adanya manusia, bahkan mungkin akan lebih kekal, karena manusialah yang melakukan perusakan lingkungan.<br />Dengan demikian manusia seharusnya berusaha dengan segala daya dan dana agar lingkungan yang sehat dan serasi tetap terpelihara bahkan meningkat menjadi lebih baik dan lebih indah. Kerusakan sudah terjadi, hendaknya segera diperbaiki sebelum keadaan bertambah parah.<br />Salah satu upayanya adalah pemaksaan dan imbauan kepada masyarakat agar menjaga, memlihara lingkungan yang baik dan sehat, serta lestari. Untuk itu diperlukan penciptaan perangkat peraturan hukum yang baik dan lengkap, disertai penerapan dan penegakkan yang baik dengan aparat penegak yang cakap, jujur, dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri atau golongannya. Mengutamakan kenikmatan di masa depan daripada kenikmatan sesaat di masa kini.<br />Tujuan Instruksional Umum (TIU)<br /> Dengan mempelajari modul ini dengan topik lingkungan hidup, diharapkan mahasiswa mampu untuk mengetahui dan memahami tetang permasalahan lingkungan hidup yang ada disekitarnya, dimana manusia juga merupakan bagian dari ekosistem<br />Tujuan Intruksional Khusus (TIK)<br /> Dari modul ini, diharapkan mahasiswa mempunyai pemahaman tentang apa itu lingkungan, lingkungan hidup, ekosistem, ekologi dan pengertian hukum lingkungan baik yang bersifat klasik maupun modern, agar pemahaman dan pengertian terhadap lingkungan membuat mahasiswa lebih mengerti.<br /><br /><br />A. Permasalahan Lingkungan<br /> Masalah lingkungan semakin lama semakin besar, meluas dan serius, bila diumpamakan seperti bola salju yang menggelinding dari puncak gunung sebesar kelereng tetapi setelah sampai di kaki gunung sebesar apa yang tidak diperkirakan oleh manusia. <br /> Begitu juga persoalan lingkungan bila kita lihat secara sepintas, maka kerusakan lingkungan mungkin tidak seberat yang apa kita pikirkan, tetapi bila kita rangkai kerusakan lingkungan satu dengan yang lainnya akan terbentang suatu kerusakan yang sangat merusak ekosistem , dan dampak kerusakan lingkungan tidak hanya merupakan tanggungjawab dari suatu wilayah (regional) tetapi bisa menjadi suatu tanggung jawab nasional, trans-nasional, dan bahkan global. <br /> Hal ini disebabkan dampak dari kerusakan lingkungan tidak hanya berkait pada satu atau dua segi saja, tetapi kait mengkait sesuai dengan sifat lingkungan yang memiliki multi mata rantai relasi yang saling mempengaruhi secara subsistem. <br /> Apabila satu aspek dari lingkungan terkena masalah, maka berbagai aspek lainnya akan mengalami dampak atau akibat pula contoh yang mudah di lihat adalah pembakaran hutan yang berakibat pada polusi udara dan sudah merambah ke negara tetangga.<br /> Sekarang masalah lingkungan tidak lagi dikataka sebagai masalah yang semata-mata bersifat alami, karena manusia memberikan faktor penyebab yang sangat signifikan secara variabel bagi peristiwa-peristiwa lingkungan, dan tidak dapat disangkal lagi bahwa masalah-masalaha lingkungan yang lahir dan berkembang karena faktor manusia jauh lebih besar dan rumit terutama dengan populasi manusia yang semakin besar pertumbuhannya tidak diiringi dengan pertumbuhan lingkungan yang tidak signifikan.<br /> Berkaitan dengan manusia sebagai faktor penyebab terjadiya masalah hukum, maka perlu adanya suatu upaya hukum yang dapat menjadi landasan dalam melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan lingkungan.<br /><br />B. Pengertian Lingkungan Hidup<br /> Untuk memberikan gambaran yang tepat dan jelas, maka perlu adanya pemahaman yang sempurna atas pengertian lingkungan hidup, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam penafsiran hal tersebut. Oleh karena itu pakar lingkungan hidup memberikan beberapa definisi tentang lingkungan dan lingkungan hidup antara lain :<br />1. Otto Soemarwoto dalam buku Raihan 2006:6. Lingkungan adalah jumlah benda dan kondisi yang ada dalam ruangan yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupa kita<br />2. Salim, 1986:7. Lingkungan Hidup adalah segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Batas ruang lingkup menurut ini bisa sngat luas, namun praktisnya kita batasi ruang lingkup dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia seperti faktor alam,politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.<br />3. Danusaputro, 1980.15. Lingkungan Hidup sebagai semua benda dan kondii termasuk di dalamnya manusia dan jaasad hidup lainnya. <br />4. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 di ganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 memberikan definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruangan dan semua benda, daya dan keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. <br />5. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk meestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Dari definisi pengelolaan lingkungan hidup terlihat adanya upaya untuk penggunaan sumber daya alam bersifat berkelanjutan yang ditekankan pada pembangunan berkelanjutan yang berwasasan lingkungan hidup yang mempuyai pengertian upaya sadar dan terencana yang meadukan lingkungan hidup, termask sumber daya, ke daam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Untuk mendukung konsep pembangunan berpola tersebut maka perlu dilakukan pelestarian dari fungsi lingkungan hidup, dimana pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang bermakna kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahkluk hidup lain, Untuk mendapatkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perlu dijaga daya tersebut yang bermakna upaya untuk melindungi kemampuan lingkunan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.<br /> Dari uraian definisi tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa lingkungan adalah semua faktor luar, fisik dan biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan hidup, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme <br /> Sesuai dengan pengertian lingkungan hidup yang dikemukakan di atas, ada baiknya bila kita ketahui dengan jelas tentang pembagian lingkungan hidup. Pembagian ini perlu kita ketahui terutama dalam rangka pengelolaan lingkungan yang lebih baik sesuai dengan pola-pola yang ditentukan dan dikehendaki.<br /> L.L. Bernard dalam bukunya N.H.T. Siahan Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (2004:13). Beliau menulis dengan judul introduction to social psychologi membagi lingkungan atas empat macam, yakni :<br />1. Lingkungan fisik atau anorganik, yaitu lingkungan yang terdiri dari gaya kosmik dan fisiogeografis seperti: tanah, udara, laut, radiasi, gaya tarik, ombak dan sebagainya.<br />2. Lingkungan biologi atau organik, segla sesuatu yang bersifat biotis berupa mikroorganisme, parasit, hewan, tumbuhan, termasuk juga disini lingkungan prenatal dan proses-proses biologi seperti reproduksi, pertumbuhan dan sebagainya.<br />3. Lingkungan sosial, dibagi dalam tiga (3) bagian, yaitu :<br />a. Lingkugan fisiososial yaitu meliputi kebudayaan materiil (alat): peralatan, senjata, mesin, gedung, dan lain-lain.<br />b. Lingkungan biososial, yaitu manusia dan interaksinya terhadap sesamanya dan tumbuhan beserta hewan domestik dan semua bahan yang digunakan manusia yang berasal dari sumber organik.<br />c. Lingkungan psikososial, yaitu yang berhubungan dengan tabiat batin manusia seperti sikap, pandangan, keinginan, keyakinan. Hal ini terlihat melalui kebiasaan, agama, idiologi, bahasa dan lain-lain.<br />4. Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara institusional, berupa lembaga-lembaga masyarakat, baik yang terdapat di daerah kota atau desa.<br /> Sedangkan pandangan lain tentang pembagian lingkungan dapat kita lihat dari fuad Amsyari <br />1. Lingkungan fisik (physical environment), segala sesuatu di sekitar kita yang bersifat benda mati seperti gunung, sinar, air dan lain-lain<br />2. Lingkungan biologis (biological environment), segala sesuatu yang berada di sekitar kita yang bersifat organis, seperti manusia, binatang, jasad renik, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.<br />3. Lingkungan sosial (social environment), manusia-manusia lain yang berada di sekitar atau kepada siapa kita mengadakan hubungan pergaulan.<br />C. Hubungan Manusia dengan Lingkungan<br /> Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan. Makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makn besar jumlah kebuthan hidupnya yang diambil dari lingkungan, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap lingkungan.<br /> Perhatian dan pengaruh manusia terhadap lingkungan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam makin meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya hasil sampingan dari industri erupa asap dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkungan hidup materiil dan kebutuhan hidup nonmateriil. Kebuthan hidup materiil antara lain air, udara, sandang, pangan, papan, transportasi, serta perlengkapan fisik lainnya, sedangkan kebuthan non materiiil manusia adalah rasa aman, kasih sayang, pengakuan atas eksistensinya, pendidikan dan sistem nilai dalam msyarakat.<br /> Kita menyadari manusia juga bagian dari lingkungan biotik yang memiliki nilai lebih dari biotis lainnya, yaitu manusia dianugrahi daya pikir dan daya nalar yang tertinggi dibandingkan dengan biotis lainnya. Disini jelas terlihat bahwa manusia merupakan komponen biotik lingkungn yang aktif. Hal ini disebabkan manausia dapat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan bermacam-macam gejala antara lain baik yang positif maupun yang negatif yaitu :<br />Peran manusia yang bersifat negatif adalah : <br />1. berkurangnya persediaan sumber daya alam karena eksploitasi yang tida henti/terus menerus.<br />2. punahnya sejumlah species tertentu yang merupakan mata rantai dari makanan dalam ekosistem<br />3. berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi ekosistem binaan yang labil karena harus terus membutuhkan energi atau daya dukung.<br />4. berubahnya profil permukaan bumi yang dapat menganggu kestabilan tanah<br />5. masuknya energi dan juga limbah bahan atau senyawa lain ke dalam lingkungan yang menimbulkan pencemran air. Udara, dan tanah yang berakibat terhadap turunnya kualitas lingkungan hidup. Yang berakibat pada pencemaran yang akan berdampak pula pada lingkungan manusia itu sendiri.<br /> Peranan manusia yang bersifat positif adalah peranan yang menguntungkan lingkungan karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan. Peranan manusia yang menguntungkan lingkungan adalah :<br />1. Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tetap dan tepat sereta bijaksana terutama dalam pemakaian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui<br />2. mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman jenis flora dan fauna serta mencegah terjadinya bahaya banjir<br />3. melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah agar kadar bahan pencemar yang terbuang ke lingkungan tidak melampau ambang batas.<br />4. melakukan sistem pertanian secara tumpansari atau multikultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah pertanian yang miring dibuat teracering guna mencegah derasnya erosi serta terhanyutnya lapisan tanah yang mengandung humus.<br />5. membuat perturan, oeganisasi atau perundang-undangan untuk melindungi dan mencegah lingkungan dari kerusakan serta melestarikan jenis satwa dan makhluk hidup yang ada.<br />D. Aspek-aspek Hukum Lingkungan<br /> Almarhum Koesnadi Hardjasoemantri Guru Besar Hukum Lingkungan sebagaimana ditulis dalam bukunya Hukum Tata Lingkungan, bahwa hukum lingkungan di Indonesia dapat melputi aspek-aspek sebagai berikut:<br />a. Hukum Tata Lingkungan<br />b. Hukum Perlindungan Lingkungan<br />c. Hukum Kesehatan Lingkungan<br />d. Hukum Pencemaran Lingkungan (kaitannya dengan pencemaran oleh industri dan sebagainya).<br />e. Hukum Lingkungan Transnasional / internasional (dalam kaitannya dengan hubungan antar negara).<br />f. Hukum perselisihan Lingkungan (dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah ganti kerugian, dan sebagainya.<br /><br /> Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dasawarsa akhir ini, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environment concern, maka apabila peraturan tentang perumahan termasuk di dalamnya, maka “kode of hamurabi” merupakan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dengan ketentuan yang menyatakan bahwa sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya sehingga runtuh menyebabkan cederanya orang lain <br /> Demikian pula dapat dikemukakan adanya peraturan zaman Romawi tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan tentang teknik sanitasi dan perlindungan lingkungan<br /> Dalam abad-abad akhir ini dapat pula dikemukakan agar terlihat bahwa bila kita bicara tentang lingkungan hidup, maka sejak jaman kerajaan lingkungan hidup sudah merupakan permasalahan hidup yang menggelayuti manusia seperti di Inggris pada abad ke-XVII yaitu adanya tuntutan oleh seorang pemilik tanah terhadap tetangganya yang membangun peternakan babi sedemikian rupa, sehingga baunya dibawa angin ke arah kebun si pemilik tanah.<br /> Memasuki abad ke XIX dengan menghebatnya revolusi industri, maka tidak urung permasalahan lingkungan semakin bertambah berat, sehingga pada abad terebut banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan memuat ketetuan-ketentuan yang sedang trend seperti asap, pencemaran air dan gerakan sanitasi di Inggris, juga ketentuan mengenai pembuangan dari tinja dan sampah yang biasa disebut peraturan tentang higiene perumahan <br />E. Pengertian Hukum Lingkungan<br /> Drupsteen dalam bukunya M. Taufik Makarau mengemukakan bahwa hukum lingkungan (Mileurecht) merupakan hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan, dimana pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuurrecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat, ada pula hukum lingkungan pemerintahan yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi dibentuk oleh badan-badan internasional atau melalui perjanjian dengan negara-negara lain, sehingga timbul berbagai hukum lingkungan seperti hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk millieurech), hukum lingkungan kepidanaan (strafretelijk milieurecht) sepanjang bidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan St. Moenadjat Danusaputro dalam masalah hukum lingkungan membagi menjadi dua bagian yaitu hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau biasa disebut environment oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau biasa disebut use oriented law<br /> Hukum Lingkungan modern environment oriented law menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.<br /> Sebaliknya hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan daam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Dan bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah<br /> Bila kita perhatikan konsep kedua hukum lingkungan antara modern dan klasik, maka terlihat pada konsep hukum lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. <br /> Dengan berorientasi pada lingkungan ini, maka hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau konfrehensip integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.<br /> Sedangkan Hukum lingkungan itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Inggris “Environmental Law”, dimana berisi Perangkat norma hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup (fisik) dengan tujuan menjamin kelestarian dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup. Danusaputro mengatakan hukum yang mengatur lingkungan, secara sederhana beliau mengatakan hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup). <br /> Andi Hamzah menyatakan bahwa hukum lingkungan mempunyai 2 dimensi, yaitu :<br />1. Ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, bertujuan supaya anggota masyarakat diimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang tujuannya memecahkan masalah lingkungan.<br />2. Suatu dimensi yang memberi hak, kewajiban dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan.<br /> Adapun peranan hukum lingkungan ini secara khusus diciptakan dengan maksud dan tujuan terpokok untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup yaitu agar tujuan dan usaha memelihara dan melindungi lingkungan hidup dapat berlangsung secara teratur, pasti dan agar diikuti serta ditaati oleh semua pihak, maka tujuan dan usaha tersebut dituangkan dalam peraturan-peraturan hukum, yakni hukum lingkungan.<br /> Sedangkan ruang lingkup hukum lingkungan dapat ditinjau dari segi wilayah kerja, isinya dan sistem hukum. Dari segi wilayah kerja, hukum lingkungan dibedakan atas Hukum Lingkungan Nasional dan Hukum Lingkungan Internasional. Segi isinya, hukum lingkungan dibedakan atas Hukum Lingkungan Publik dan Hukum Lingkungan Perdata. Sedangkan dari segi sistem, maka hukum lingkungan mempunyai subsistem yang meliputi:<br />1. Hukum Lingkungan Administrasi; <br />2. Hukum Lingkungan Keperdataan; <br />3. Hukum Lingkungan Kepidanaan; dan <br />4. Hukum Lingkungan Internasional.<br />berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan azas SUBSIDIARITASsetanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-62284977388809231412010-03-08T00:40:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.300-07:00ASPEK HUKUM DALAM BISNIS (DIKTAT)BAB I<br /><br />spek Hukum bisnis berlaku di dunia dan regional.<br />Pelaksanaan Aspek Hukum bisnis baik itu regional, sektoral maupun internasional mempunyai beberapa persamaan yang pada umumnya merupakan suatu dasar dari pengertian hukum itu sendiri. Hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH. Adalah “Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang wajib, pelanggaran mana terhadap peraturan – peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”.<br />Randy E. Barnet dan Lawrence M, Fredman dalam bukunya American Law memberikan suatu dasar dalam Pelaksanaan Aspek Hukum Bisnis Dunia sbb :<br />a. Tujuan Hukum.<br />1. Ketertiban<br />2. Ketentraman<br />3. Kesejahteraan<br />4. Kemakmuran<br /> Ketertiban dan ketentraman merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam menjalankan suatu negara, karena dengan kedua hal tersebut akan terjadi stabilitas keamanan yang dapat menunjang jalannya roda pemerintahan dan sekaligus roda ekonomi. Ketertiban dan ketentraman pada jaman penjajahan merupakan suatu alat untuk mengontrol daerah yang dijajah (Tujuan hukum negara penjajah = Kolot). <br /> Tetapi dalam jaman sekarang tujuan dari hukum itu bukanlah hanya untuk memberikan rasa aman, tetapi juga harus memberikan kesejahteraan pada masyarakat dalam menghadapi kehidupannya , tanpa kesejahteraan, maka tujuan dari hukum tersebut tidak tercapai. Prinsip dasar dengan tiga hal tersebut (Ketertiban Ketentraman, Kejehateraan) merupakan dasar dari negara-negara yang berkembang. Sedangkan untuk negara maju seperti Jepang, Amerika, Jerman, Prancis dan lain-lain memasuki point ke empat (4) Kemakmuran dalam tujuan hukum pada setiap pembuatan peraturan-peraturannya.<br />b. Fungsi Hukum<br />Stabilitas Negara merupakan satu-satunya fungsi hukum yang sangat penting , karena tanpa ada stabilitas negara, maka segala kegiatan ekonomi tidak akan berjalan dengan baik /lancar. Oleh karena itu dalam membuat suatu peraturan negara harus memahami dari fungsi peraturan tersebut.<br />c. Aspek Hukum<br />1. Aspek yuridis<br />2. Aspek Ekonomis<br />3. Aspek Politis<br />4. Aspek Sosiologis<br />5. Aspek Historis<br />6. Aspek Cultural/kebiasaan<br />7. Aspek Agama/Kepercayaan.<br />8. Aspek Phylosofis.<br /> <br /> Dalam pembuatan suatu peraturan harus mengandung minimal 5 aspek hukum yang tersirat dalam peraturan tersebut (Yuridis, Ekonomis, Politis, Sosiologis, Historis).<br />Yuridis <br />Merupakan aspek hukum bahwa yang mempunyai kewenangan membuat peraturan dan tata cara membuatnya adalah badan-badan yang resmi, seperti DPR, DPRD, Pemerintah. Apabila yang membuat dan tata cara membuat peraturan tersebut tidak benar (ilegal), maka peraturan tersebut akan menjadi cacat. Karena yang membuat bukanlah badan yang berwenang..<br />Ekonomis <br />Merupakan gambaran apakah peraturan tersebut mempunyai nilai ekonomis, dalam arti tidak merugikan masyarakat luas seperti peraturan-peraturan yang bersifat birokrasi sehingga menimbulkan ekonomi tinggi akibat peraturan tersebut.<br />Politis <br />Dalam pembuatan peraturan tersebut sudahkan melihat dari beberapa sudut pandang polits, jangan sampai peraturan yang dibuat hanyalah untuk membuat sekelompok golongan mendapatkan keuntungan, sedangkan golongan/kelompok lain mendapat kesulitan/kerugian seperti Peraturan tentang Tata Niaga Cengkeh, Kepres Jalan Tol dll.<br /> <br /><br /> Sosiologis dan historis <br /> juga merupakan suatu aspek yang tidak boleh diabaikan, karena dalam membuat suatu peraturan, aspek tersebut seperti latar belakang pendidikan, ekonomi dan apakah peraturan tersebut sudah pernah dibuat dan merugikan masyarakat haruslah menjadi perhatian agar tidak terulang kembali hal-hal yang negatif dari peraturan tersebut.<br /> Oleh karena itu dalam pembuatan suatu peraturan harus mengandung minimal 5 aspek hukum yang tersirat dalam peraturan tersebut (Yuridis, Ekonomis, Politis, Sosiologis, Historis). Apabila dalam peraturan tersebut tidak ada atau kurang memperhatikan 5 aspek tersebut. Peraturan tersebut dapat dilakukan sbb:<br /> Ditunda <br /> Dibatalkan<br /> Dicabut.<br /> <br />Sistem Hukum Dunia.<br /><br />Dalam sistem hukum di dunia hanya ada 4 bentuk yaitu :<br />a Civil Law (kontinental) yang dianut oleh negara-negara eropah kontinental seperti Jerman, Perancis, belanda. Dalam sistem hukum Civil Law ini kekurangannya adalah tidak cepat mengikuti perkembangan keadaan.<br />b Common Law (anglo Saxon) yang dianut oleh negara-negara yang mempergunakan bahasa inggris sebagai bahasa sehari-hari seperti Inggris, Amerika, Kanada. Dalam sistem Common Law ini sangat memperhatikan perkembangan keadaan, kekurangannya adalah membahas persoalan yang perlu saja (tidak konprehensif).<br />c Islamic Law, yang dianut oleh negara –negara Timur tengah<br />d. Natural Law, merupakan hukum adat/kebiasaan seperti konsilasi, mediasi, arbitrasi yang berasal dari negaraa yang sangat menghargai hukum adat negaranya seperti Jepang , China . <br /><br />Dari pembahasan di atas maka, kata-kata yang sering diucapkan oleh ahli hukum seperti (Das Sain, Das Sollen, Das Sullen) yang berarti :<br /> Das Sain= sebab/hukum kemarin<br /> Das Sollen= akibat/hukum sekarang<br />Das Sullen= Cita-cita hukum/hukum yang akan datang <br />yang mempunyai arti dalam membuat suatu peraturan segala aspek hukum haruslah dicermati dengan seksama <br /> <br />BAB II<br />SISTEM HUKUM KUHPerdata/BW.<br /><br /> KUHPerdata atau biasa di sebut juga dengan BW (Burgerlijk Wetboek) adalah suatu Kitab Undang-undang yang berisi ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara orang (person) atau Badan Hukum (rechtspersoon) dengan orang atau Badan Hukum lainnya .<br /> Dalam hal ini hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang terjadi itu pada umumnya berkaitan dengan suatu kepentingan perseorangan (privtas/sipil). Sehungga KUHPerdata/BW merupakan undang-undang yang mengatur tentang hubungan hukum perseorangan, berbeda dengan KUHPidana yang bersifat Publik (KepentinganUmum).<br /> Sistematika KUHPerdata/BW terdiri dari 4 Buku yaitu :<br /> Buku : I Mengatur tentang Orang dan keluarga (Van Persoon)<br />a. Subyek Hukum atau Hukum Orang<br />b. Perkawinan dan Hak Suami Istri<br />c. Kekayaan Perkawinan<br />d. Kekuasaan Orang Tua<br />e. Perwalian dan pengampuan<br /> II Mengatur tentang Perihal Benda (Van Zaken)<br />a. Berit (Hak Punya)<br />b. Eigendom (Hak Milik Mutlak)<br />c. Opstal (Hak Pemilikan benda tidak bergerak)<br />d. Erfpacht (Hak mengusahakan tanah pertanian, perkebunan)<br />e. Hipotik (Pengalihan Benda Tidak Bergerak)<br />f. Gadai (Pengalihan Benda Bergerak)<br /> III Mengatur tentang “Perikatan (Van Verbintenissen)<br />a. Jual Beli<br />b. Tukar menukar<br />c. Sewa menyewa<br />d. Perjanjian perburuhan<br />e. Badan Usaha<br />f. Borgtoch (perjanjian terikat pihak ketiga)<br />g. Perbuatan melanggar Hukum<br />IV. Mengatur tentang “Pembuktian dan Kadaluarsa” (Van Bewijs en Verjaring).<br />a. Macam-macam pembuktian seperti<br />- Surat;<br />- Saksi;<br />- Persangkaan;<br />- Pengakuan;<br />- Sumpah.<br />b. Lewat waktu (Daluarsa).<br /> Sehubungan dengan KUHPerdata adalah merupakan hukum yang mengatur tentang hubungan orang atau badan, maka sudah pasti akan terjadi suatu perjanjian atau perikatan, maka dalam hal ini sesuai dengan Buku III KUHPerdata.<br /><br /> Pengertian Perikatan <br />adalah Hubungan hukum antara dua oargn atau lebih yang menimbulkan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya. <br />Pengertian perjanjian /persetujuan sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata : <br />Perbuatan Hukum yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih yang saling mengikatkan diri.<br /><br /> Dalam sistem KUHPerdata Buku III adalah dengan sistem Terbuka dan mempunyai azas-azas yang dikenal dalam Buku III yaitu :<br /> Azas Konsensual (Pasal 1332)<br /> Azas Kebebasan berkontrak (Pasal 1338 (1))<br /> Azas Itikad Baik (Pasal 1338 (3))<br /><br /> Syarat-syarat syahnya suatu perjanjian/ perikatan adalah :<br /> Dasar Hukumnya adalah <br /> Pasal 1338 KUHPerdata<br />- Setiap perjanjian yang dilakukan dua belah pihak, maka merupakan UU bagi mereka.<br />- Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.<br /> Pasal 1320 (KUHPerdata) yaitu<br />1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (KESEPAKATAN)<br />2. Cakap untuk membuat Perjanjian (KECAKAPAN)<br />3. Mengenai suatu Hal-hal tertentu (OBJEK TERTENTU/MAKSUD TERTENTU/TUJUAN TERTENTU)<br />4. Suatu Sebab yang Halal<br />- Point 1 & 2 merupakan syarat Subyektif <br />- Point 3 & 4 merupakan syarat Obyektif.<br /> Syarat Kesepakatan dianggap tidak terpenuhi bila terdapat adanya<br />- Paksaan<br />- Kekhilapan/kekeliruan<br />- Penipuan<br />Syarat Kecapakan dilakukan oleh subyek yang <br />- Anak di bawah Umur<br />- Di bawah pengampuan/ Curatele<br />- Wanita Bersuami<br /><br />Syarat syah obyek tertentu<br />- Obyeknya harus dapat ditentukan dengan jelas, untuk dapat mengukur apakah para pihak dapat mencapai ketentuan tersebut.<br />Syarat Causa yang Halal.<br />- Tidak bertenttangan dengan UU<br />- Kesusilaan<br />- Ketertiban Umum<br /> <br /><br /><br />Causa dimaksud adalah isi perjanjian/ tujuan diperjanjian Dalam perjanjian tersebut.<br /><br />Maka bila dalam perjanjian/perikatan ada komponen dalam pasal 1320 KUHPerdata tersebut tidak terpenuhi atau kurang, maka perjanjian tersebut tidak syah.<br /><br />Dengan melihat hubungan KUHPerdata dan KUHDagang, maka kita dapat menyimpulkan bahwa secara yuridis formil, kedudukan KUHPerdata dan KUHDagang tetap sebagai undang-undang karena KUHPerdata tidak pernah dicabut dari bumi Indonesia artinya KUHPerdata tetap berlaku sebagai suatu UU, namun pada hakikatnya KUHPerdata tidak lagi menjadi suatu UU yang Bulat dan Utuh seperti keadaan semula saat dikodifikasikan . Beberapa bagian dari aturan yang ada sudah tidak berlaku lagi, baik itu akibat ada perundangan yang baru dalam lapangan perdata (menggantikannya) maupun disingkirkan oleh putusan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi baru , karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat itu.<br /> Contoh KUHperdata mengenai pasal-pasal yang tidak berlaku lagi :<br />- Buku II KUPerdata mengenai Bumi, Air dan Kekayaan Alam tidak berlaku lagi dengan adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria Tgl 24/-9-1960<br />- UU No. I Tahun 1974 mengenai perkawinan dan akibatnya<br /> <br />BAB III<br />Pranata hukum bisnis berlaku di dunia<br /><br />Dalam kehidupan masyarakat modern diperlukan suatu pembangunan yang terencana, kebiasaan pembentukan hukum, sehingga masyarakat Indonesia yang membangun secara berencana maka hukumlah yang harus membentuk kebiasan tsb. Dalam pembentukan hukum yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, maka hukum tersebut menurut Prof. Dr. Sunaryati Hartono, SH haruslah mempunyai empat (4) fungsi sebagai berikut :<br />1. Hukum sebagai pemeliharaan ketertiban & keamanan.<br />Peranan pemelihara ketertiban dan keamanan memanglah tepat, karena hukum merupakan suatu hal yang bersifat memaksa agar setiap orang mematuhi aturan-aturan hukum, hal ini dalam rangka menciptakan kondisi yang stabil, agar dalam pelaksanaan perekonomian berjalan dengan lancar tanpa hambatan/gangguan.<br />Menurut ROSCOE POUND dalam bukunya “ An Introduction to the Philosophy of Law” bahwa hukum sebagai 1) Social Interest dan 2) social enginering mempunyai 3 persamaan yaitu :<br />a. Sesuatu ciptaan adalah kehendak Ilahi, atau Hans Kelsen menyebut Grundnorn yaitu seperti Al-Quran dll.<br />b. Suatu cara tertentu diikuti secara mutlak, untuk mengkonkretkan Grundnorm yang telah dibentk ke dalam norma-norma yang mengatur tindak tanduk manusia.<br />c. Suatu sistem kaedah-kaedah yang mengatur tindak tanduk hubungan antara manusia melalui proses tradisi, pemikiran logika, aparat politis, sistem ilmiah dianggap paling tepat oleh masyarakat hukum<br /><br />Menurut Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja, SH.LLM, bahwa anggapan bahwa hukum bersifat statis yaitu menganggap hukum itu tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan itu sangatlah “SALAH” bahwa hukum itu sangat mempunyai peranan dalam pembaharuan itu dapat kita lihat pada Amerika Serikat (1930) dimana AS mempergunakan hukum sebagai dasar/alat untuk mewujudkan perubahan-perubahan dibidang sosial. Jadi adigum bahwa “hukum tidak dapat mengkaper perubahan sosial berkaitan dengan perubahan yang sangat cepat dimayarakat” tidaklah terbukti, malah hukum memberikan motivasi terjadinya perubahan-perubahan dalam tatanan kehidupan sosial.<br /><br />2. Hukum sebagai sarana pembangunan.<br />Dalam GBHN menyebutkan bahwa pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum yang disesuaikan menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum sebagai sarana yang mengarah peningkatan pembinaan bangsa (kesatuan bangsa), sekaligus berfungsi sebagai sarana pembangunan yang menyeluruh baik itu dalam bidang hukum itu sendiri maupun dalam menciptakan suatu sistem hukum pembangunan nasional, sesuai dengan perkembangan hukum ekonomi yang diarahkan mampu terus meningkatkan taraf hidup setiap warga negara untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan kesejahteraan keadilan bagi setiap warga negara Indonesia.<br />3. Hukum sebagai sarana penegakan keadilan.<br />Tujuan pembangunan secara berencana adalah untuk secara bertahap mengubah dan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat , maka perubahan masyarakat secara terarah itu akan mengakibatkan perubahan-perubahan hubungan antar manusia yang mungkin kurang dikehendaki, atau disadari oleh fihak-fihak yang akan mengakibatkan ketegangan-ketegangan sesuai dengan semakin meningkatnya pembangunan.<br />Hukum sebagai sarana penegakan keadilan harus mempunyai ciri-ciri :<br />· Aturan yang sangat bagus<br />· Ketegasan aparat<br />· Sarana lengkap<br />· Ketaatan masyarakat pada hukum tsb.<br />Apabila hal tersebut terpenuhi, maka segala aktivitas akan berjalan dengan baik, hal ini akibat dari rasa adanya kepastian akan penegakan keadilan.<br />4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.<br />Dalam setiap pembentukan hukum haruslah bersifat mendidik bagi seluruh masyarakat, tanpa kecuali. Hal ini karena pembangunan yang berencana pada hakikatnya tidak hanya akan membawa serta tetapi bahkan memerlukan sebagai syarat terjadinya perubahan-perubahan nilai sosial dan norma-norma hukum yang mencakup 3 bidang yaitu :<br />a. Perubahan nilai-nilai kehidupan sosial, yang tradisional menjadi nilai-nilai sosial yang modern.<br />b. Perubahan nilai-nilai sosial Politik, yang berlandaskan hidup kesukuan (jawa, sunda, bugis, Bali dll) yang kedaerahan itu menjadi nilai sosial indonesia sesuai PANCASILA DAN UUD 1945.<br />c. Perubahan nilai sosial ekonomi, yang berlaku bagi suatu masyarakat heterogen agraria, menjadi nilai-nilai sosial ekonomis yang cocok bagi suatu masyarakat heterogen-industrial<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV<br /><br />ukum Perusahaan Swasta<br /><br /> <br /> Berbicara masalah bisnis seringkali orang akan mengatakan “Dagang”, memang kata bisnis itu sendiri berasal dari Bahasa Inggris “Business” yaitu kegiatan usaha, tetapi pengertian bisnis itu sendiri diartikan “sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjual belikan, dipertukarkan atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan <br /><br />Tetapi dalam kegiatan bisnis itu sendiri dapat kita klasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu :<br />1. Bisnis dalam arti kegiatan perdagangan (Commerce)Yaitu “keseluruhan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh orang-orang dan badan-badan hukum , baik di dalam negeri maupun di luar negeri dalam rangka mendapatkan keuntungan” Contoh : Produsen, Dealer, agen, grosir toko dll.<br />2. Bisnis dalam arti kegiatan industri (Industry) yaitu : “kegiatan memproduksi atau menghasilkan barang-barang yang nilainya lebih berguna dari asalnya”contoh Industri pertambambangan, perhutanan, perkebunan dll.<br />3. Bisnis dalam arti kegiatan jasa-jasa (Service) yaitu “kegiatan yang menyediakan jasa-jasa yang dilakukan oleh orang maupun badan” contoh jasa perhotelan, konsultan, asuransi Pengacara, dll.<br /><br />Arti Hukum Perusahaan<br /><br />Dalam bisnis yang dilakukan lazimnya bisa dilakukan oleh perseorangan dan juga dengan suatu perkumpulan dalam arti perkumpulan yang berbentuk badan hukum, maupun yang tidak berbadan hukum. Sedangkan dasar Hukum Badan Hukum adalah:<br />a. BW (Burgeljk Wet Book) KUHPerdata Pasal 1818 – 1952<br />b. KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) Pasal 16 – 19<br />c. UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan terbatas (PT)<br /> (*)Semua UU di atas masih Sistem PT. Klasik<br /><br />Dalam mempelajari PT kita Harus Memahami sbb:<br />(1) Vis Perseroan tersebut<br />(2) Misi PT<br />(3) Politik Hukum yang berkembang<br />(4) Budaya Politik <br />(5) Teori<br />(6) Azas-azas<br />(7) Peraturan-peraturan (Normatif <br /><br />Menurut Undang-undang nomor I/1995 tentang PT yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1995, disebutkan dengan jelas definisi PT yaitu :Badan Hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. Dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1995, maka otomatis Pasal 26 s/d 56 KUHDagang tentang PT tidak berlaku lagi. <br /><br />Jenis Perusahaan<br /><br />Dalam Usaha yang bukan berbadan hukum adalah sbb:<br />a. Yayasan, dimana merupakan suatu usaha yang bersifat sosial<br />b. CV (Comanditaier Vennootschap) , suatu usaha yang dibentuk oleh beberapa orang dan mencari laba (Pasal 20 – 21 KUHD)<br />c. UD (Usaha Dagang)<br />d. Firma (Pasal 1618, 1320 BW & 16 , 19 KUHD KUHD)<br />e. Koperasi<br />Sedangkan Perseroan terbatas adalah suatu usaha yang Berbadan Hukum, dalam arti proses pendiriannya tercatat di Departemen kehakiman. Sesuai dengan UU No. 1/1995 pendirian PT adalah sbb:<br />a. Didirikan oleh 2 orang atau lebih dan dibuatkan dengan suatu Akta Notaris.<br />b. Didaftarkan di Deperatemen Kehakiman (sekarang menkunham)<br /><br /><br />Perseroan Terbatas Negara dalam bentuk :<br /><br />a. Perusahaan Negara (BUMN) berbentuk :<br />Perjan (Perusahaan Jawatan), dimana modal berasal dari Daerah atau Pusat.<br />Perum (Perusahaan Umum), dimana modal berasal dari Daerah /atau Pusat 50 %<br />Perseroan, dimana modal berasal dari Negara 100 %<br />b. Perusahaan Daerah (Pemda)<br />c. PMDN (Pnanaman Modal dalam negeri) , modal bisa dari Individu/kolktif, swasta.<br />d. PMA (Penanaman Modal Asing) berbentuk :<br />(a) Joint Fentura adalah dimana modal , manajemen, kerjasama dilakukan oleh asing dan RI, tergantung kesepakatan.<br />(b) Joint Intervrais, adalah modal , manajemen diatur asing 100 %, RI hanya menerima pajak saja.<br /><br />Macam – macam PT :<br />(a) Perseroan dengan sistem tertutup <br />(b) Perseroan dengan sistem terbuka (TBK)<br />(c) Perseroan dengan sistem Umum<br />(d) Perseroan dengan sistem perseorangan<br /><br /><br /><br />Bentuk / atau sistem PT tersebut merupakan suatu sistem yang baku yang berlaku di dunia baik itu RI dengan dasar hukum KUHP, KUD, UU No.1/95, atau Asean + Yuridiksi (Wilayah kekuasaann hukumnya) maupun Dunia dengan WTO (isu perdagangan dunia = HAM, Lingkungan, Buruh, dan Upah). Ini semua merupakan sistem Perseroan terbatas yang Modern<br /><br /> Sistem PT Klasik<br /> <br /> <br /> <br /> <br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br />Sistem PT Modern<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Karakteristik PT<br /><br />Dalam PT modal dapat sejumlah orang atau satu orang . Dalam hal ini Asosiasi Modal = menghimpun modal yang sangat besar dari sejumlah orang yang banyak (lebih dari 1 orang), tetapi perkembangan selanjutnya PT dapat saja didirikan oleh satu orang /satu kelompok.<br />Maksudnya : Mengambil manfaat dari karakteristik PT di belanda <br />- Bescaten Venndorbach (BV)<br /> - Naarloze Vennoatschap (NV)<br />¨ Tanggung jawab terbatas<br />¨ Modal dapat dialihkan<br />¨ Keperluan Join Venture<br />¨ Delication of Autrority<br /><br />Dengan berlakunya UU No.1/1995 yang diberlakukan pada tanggal 7-3-1996 maka dinyatakan tidak berlaku bagi pasal 36-55 KUHD yang berkaitan dengan PT.<br /><br />Perandingan antara KUHD dengan UU No. 1/1995 adalah<br />KUHDagang<br />- Pengertian tentang PT secara tegas todak diketemukan dalam KUHD, tetapi PT disimpulkan dalam pasal-pasalnya yaitu 36, 40, 42, 45 KUHD<br />- Pasal 36 (1) PT tidak mempunyai Firma<br /><br />(2) Menghendaki agar naskah PT dimintakan pengesahan dari Menkeh<br />- Tidak secara tegas menyebutkan jumlah pendirinya berapa<br />- Tidak menyebutkan dengan tegas harus dengan akte notaris, tetapi dengan akte otentik<br />UU No. 1 Tahun 1995<br />- Pasal 1 meyebutkan dengan tegas pengertian PT yaitu Peseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memnuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU ini serta peraturan pelaksanaannya<br />- Secara tegas menyebutkan pendirinya (Pasal 7) didirikan oleh 2 orang atau lebih.<br />- Dengan akte Notaris<br />- Dibuat Dalam Bhs. Indonesia<br />- Didaftarkan di Menkuham<br /><br />PT adalah Perseroan Terbatas yang berarti<br />Persekutuan yang berbentuk badan hukum yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham untuk itu tidak disebut persekutuan tetapi disebut perseroan.<br />Terbatas pada pt menunjukkan bahwa tanggungjawab pesero atau pemgang saham adalah terbatas pada nilai nominal semua saham yang dimiliki.<br /><br /><br /><br />Tugas Pengurus menurut UU No.1/95 tentang PT sbb.<br /><br />Pasal 79 (1) UU No.1/95<br />Menerima /mengolah kegiatan mengurus kekayaan (saham) mewakili PT dalam dan di luar pengadailan (Pasal 82)<br />Pasal 47 Kuh dagang & Pasal 86 UU No.1/95<br />Pengurus mengumumkan bila perseroan menderita kerugian sampai 50 % dari modal perseroan , pendaftarannya pada pengadilan negeri dan bila 75 % kerugiannya dilakukan penghentian kegiatan PT tsb.<br />Pasal 55 Kuh dagang<br />Pemberitahuan kepada pesero laba – rugi perseroan dalam tahun yang lampau.<br />Pasal 105 (2) UU No.1/95<br />Mengumumkan di 2 surat kabar, bila perseroan melakukan peleburan, pengambilalihan RUPS.<br />Pasal 44 Kuh Dagang<br />Perseroan diurus oleh pengurus “ Anggota perseroan dan orang lain”<br />Pasal 8, 12 UU No.1/95<br />- Batas Tugas dan wewenang pengurus.<br />Pengurus mewakili perseroan di luar perseroaan (dalam pengadilan/ di luar pengadilan), baik mengenai kepengurusan (daden van beheron) maupun mengenai kepemilikan ( daden van Eigendom/Beschikkingen).<br />Harus lebih dahulu mendapat persetujuan atau ikut serta satu/dua/tiga/ sekalian semua anggota dewan komisaris<br />Pasal 94 UU No. 1/95<br /> - Tugas Komisaris<br /> <br /> BAB V <br />pa itu Hukum :<br /><br />Dalam mempelajari Hukum, kita harus mengetahui apa itu 5 W <br />Hukum dibagi dalam tiga bagian yaitu :<br />a. Secara Normatif, yaitu terdiri dari <br />· Teori <br />· Azas <br />· Peraturan : <br />ü Konstitusi (UUDD)<br />ü Undang-undang<br />ü Peraturan Pemerintah YURIDIS<br />ü Keppres<br />ü Kepmen<br />ü Perda<br />ü dll<br />· Hasil Penelitian <br />· Norma/kaidah baik itu yang bersifat tertulis, maupun yang tidak tertulis<br /><br />b. Secara Empiris<br />· Kenyataan Lapangan (Hasil baru) <br />· Kebiasaan <br />· Tuntutan: Luar Negeri,Dlm.Negeri. Perkembangan<br />c. Hukum sbg. Alat penyelesaian masalah / kasus, dimana pada biasanya saat timbulnya perjanjian bisnis, orang hukum tidaklah dilibatkan, tetapi bila dalam bisnis tersebut timbul masalah, baru ahli hukum dilibatkan untuk menyelesaikan masalah tersebut seperti : Arbitrase, Pengadilan. dll<br /><br />Untuk apa perlu Hukum <br /><br />Untuk memberikan perlindungan dan jaminan dalam pergaulan baik dalam masyarakat /internasional dan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat, dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu azas keadilan dari masyarakat itu.<br />Pengertian Hukum itu sendiri bermacam-macam, walaupun pada intinya berbentuk perintah maupun larangan. Dalam hal ini kedua hal tersebut mempunyai makna sbb:<br />· Perintah adalah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.<br />· Larangan yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik<br /><br />Oleh karena itu walaupun para pakar hukum memberikan beberapa definis yang belum memuaskan semua pihak, akan tetapi tidaklah salah bila kita mengetahui beberapa definisi para pakar hukum yaitu :<br /><br /><br />J.C.T. Simorangkir, SH da Woerjono Sastrropranoto, SH. <br /> Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan –peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.<br />Prof. Mr. Dr. J. van Apeldoen.<br /> Tidak mungkin memberi satu definisi untuk hukum, karena hubungan-hubungan anggota masyarakat yang diatur oleh hukum ada 1001 macam.<br />Prof. Dr. E. Utrech, SH.<br /> Himpunan petunjuk hidup (perintah) , larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh masyarakat bersangkutan . Pelanggaran terhadap aturan tersebut akan menimbulkan tindakan dari perintah.<br />Prof. Sudirman K, SH.<br />Pikiran atau anggapan orang adil / tidak adil mengenai hubungan antara manusia<br />Prof. Dr. Muchtar K, SH.LLM.<br />Keseluruhan kaedah-kaedah serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, yang bertujuan memelihara ketertiban yang meliputi lembaga-lembaga dan proses guna berlakunya kaedah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat.<br />Van Vollen Hoven<br />Suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergerak terus menerus dalam keadaan bentur membentu tanpa henti-hentinya dengan gejala lain.<br /><br />Kesimpulan dari definisi di atas adalah :<br /><br />1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.<br />2. Peraturan tersebut dibuat oleh badan resmi yang berwajib.<br />3. Peraturan itu bersifat memaksa<br />4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas :<br />· Hukuman penjara (hukuman badan) <br />· Hukuman kerugian (hukuman denda)<br /><br />Ciri-ciri Hukum<br />· Adanya perintah dan / atau larangan<br />· Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang.<br />Sifat Hukum<br />· Memaksa dan mengatur.<br />Sumber –sumber Hukum formil adalah :<br />· Undang-undang<br />· Kebiasaan<br />· Keputusan2 Hakim (Yurisprudensi= Hukum baru)<br />· Tratktat (perjanjian)<br /><br />Hukum Positip Indonesia terdiri dari 2 macam yaitu :<br />· Hukum Tertulis yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan perundangan<br />· Hukum Tak tetulis yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis (hukum kebiasaan)<br /><br />Bagaimana Operasional suatu Hukum <br />Operasional hukum di negara kita dibagi dalam tiga bagian yaitu :<br />· Legislatif (DPR) merupakan suatu badan perwakilan rakyat yang menggodok / membuat Undang-undang.<br />· Eksekutif (Presiden) yang menjalankan roda pemerintahan hasil kerja MPR/DPR yaitu menerapkan GBHN . dalam bidang ini Presiden dibantu oleh Menteri, Aparat (Polisi) Jaksa, Hakim dan pemda.<br />· Yudikatif, yaitu badan peradilan, alternatif penyelesaian kasus, arbitrase, dimana pengadilan terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum (PN, PT dan MA).<br /><br />Cara apakah pelaksanaan Hukum <br />· Tujuan Hukum.<br />Ø Ketertiban<br />Ø Ketentraman<br />Ø Kesejahteraan<br />Ø Kemakmuran<br /><br /><br />· Fungsi Hukum<br />Ø Stabilitas Negara merupakan satu-satunya fungsi hukum yang sangat penting , karena tanpa ada stabilitas negara, maka segala kegiatan ekonomi tidak akan berjalan dengan baik /lancar<br />· Aspek Hukum<br />Ø Aspek yuridis<br />Ø Aspek Ekonomis<br />Ø Aspek Politis<br />Ø Aspek Sosiologis<br />Ø Aspek Historis<br />Ø Aspek Cultural/kebiasaan<br />Ø Aspek Agama/Kepercayaan.<br />Ø Aspek Phylosofis<br />Sejauhmana aktualitas suatu hukum <br />· Sistem Hukum :<br />Dalam sistem hukum di dunia hanya ada 4 bentuk yaitu :<br />ü Civil Law <br />ü Common Law Islamic Law,<br />ü Natural Law (Hukum kebiasaan), <br />· Jangka Waktu (merupakan keberlakuan suatu UU, bila ditentukan waktunya)<br />· Tingkat kebutuhan (sejauh mana suatu uu diperlukan oleh suatu masayarakat)<br />· Tuntutan dari WTO (LN), Regional atau Dalam negeri<br /> <br />BAB VI<br /><br />UKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN<br /><br />a. Perkembangan sejarah ketenagakerjaan<br />Sistem Hukum perburuhan atau yang saat sekarang lebih dikenal dengan istilah ketenagakerjaan (untuk memperhalus istilah), sebenarnya sejak tahun 1819 sudah ada perdagangan bebas (WTO), hal ini dapat dilihat dengan adanya aksi mogok buruh di AS yang menuntut tiga hal : <br />- Perbaikan upah kerja<br />- Jam terbang kerja yang wajar (8 jam/perhari) <br />- Kebebasan mengikuti kegiatan organisasi (SPSI)<br />Oleh karena itu perdagangan bebas bukanlah merupakan hal yang baru, seperti banyak para pakar baik itu pakar hukum, ekonomi, atau sebagainya menyebutkan bahwa dunia baru memasuki masa perdagangan bebas (era globalisasi) dengan indikasi banyaknya organisasi dunia yang muncul seperti ILO, AFTA, GATT dan lain-lain, maka pada tanggal 1 Mei merupakan hari buruh sedunia yang biasa dirayakan dengan aksi-aksi mogok kerja atau lain sebagainya di seluruh dunia.<br />Dalam bidang tenaga kerja, pembangunan nasional ditujukan pada terwujudnya kosntitusi indonesia yang di atur dalam pasal 27 (2) UUD 1945 “ Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan danpenghidupan yang layak bagi kemanusiaan”<br /><br />Dalam pasal ini menghendaki agar tiap orang yang ingin bekerja dapat memperoleh penghasilan yang cukup dan layak bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itu kata kerja mempunyai makna menurut hukum Islam adalah bekerja mencari nafkah yang halal adalah kewajiban pokok manusia setelah kewajiban beribadah sholat lima waktu.<br /><br />Para Ulama Fiqh membuat tertib Urutan kewajiban ini :<br />Kewajiban kepada Allah, diri sendiri, istri, anak dan kepada kerabat serta kepada masyarakat.<br />Sesuai dengan Sabda Rosullah SAW sbb:<br />Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah ibadah (HR. Tabrani dan Baihaqi) Makna dan adab Kerja dalam pemanfaatan waktu hal. 152,153<br /><br />Hubungan perburuhan mempunyai banyak paham/aliran tentang seperti :<br />Paham Liberalisme :<br />Lebih menitik beratkan pada kebebasan individu, lebih tinggi meletakkan kepentingan individu dari pada masyarakat. Campur tangan pemerintah tidak dibenarkan, diupayakan peranan pemerintah sekecil mungkin/tidak dominan. Penggunaan hak-hak buruh/penguasaha dapat digunakan secara bebas dalam paham ini terjadi “BARGAIN POWER / KEKUASAAN TAWAR MENAWAR”<br /> <br /><br /><br /> Paham Marxisme<br />menempatkan kepentingan masyarakat dari pada individu tidak mempunyai kebebasan mutlak individu, pertentangan kelas buruh/pengusaha sangat tajam oleh karena itu doktrinini selalu mempersoalkan konflik buruh dengan pengusaha. Buruh menganggap pengusaha adalah orang yang menekan dan buruh orang yang ditekan. Kadang kala unjuk rasa dan pemogokan merupakan senjata untuk menekan pengusaha.<br />Dari kedua paham tersebut Indonesia mempunyai paham sendiri tentang perburuhan yaitu Hubungan Industrial Pancasil, dimana Dalam Hubungan kerja, sangat erat hubungan perburuhan yang di dalamnya ada 3 partied yaitu :<br />1. Buruh<br />2. Pengusaha<br />3. Pemerintah<br />Dalam hubungan industrial pancasila 3 azas yang mempengaruhi yaitu ;<br />1. Mintra dalam berproduksi/partner in production , buruh,pengusaha mempunyai kepentingan sama yaitu mensejahterakan buruh.<br />2. Mitra dalam mencapai keuntungan/partner in profit. Hasil yang dicapai dari produksi semata-mata tidak untuk pengusaha, buruh juga menikmati keuntungan.<br />3. Mitra dalam tanggung jawab / Partner in responsibility, tanggung jawab tidak untuk kepentingan pengusaha dan buruh saja, tapi juga masyarakat sekeliling dalam penyerapan tenaga kerja.<br />b. Pengertian buruh/ tenaga kerja :<br />Pengertian buruh/ tenaga kerja oleh banyak pakar didefinisikan sebagai berikut :<br />Molennar :<br />Adalah bagian dari hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan buruh dengan majikan, atau buruh dengan buruh, buruh dengan penguasa.<br />Mr. Neh Van Esveld<br />Suatu pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan yang meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh Swa pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri<br />Mr. MG. Levenbach<br />Suatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkutan paut dengan hubungan kerja.<br />Mr. S. Mok<br />Hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu.<br />Prof. Imam Soepomo, SH.<br />Himpunan peraturan baik tertulis/ tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.<br />“Kejadian atau kenyataan dimana seseorang biasanya disebut buruh, bekerja pada orang lain, biasanya disebut majikan dengan memberi upah dengan mengeyampingkan pekerjaan bebas (diluar hubungan kerja) dan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan (bekerja pada orang lain yang mengeyampingkan pula persoalan antara pekerjaan (arbeit) dan pekerja (arbrider).<br /><br />Inti dari pengertian definis di atas adalah :<br />- Harus ada peraturan yang mengatur hal tsb.<br />- Ada majikan<br />- Kebebasan melakukan pekerjaan sepanjang sesuai dengan peraturannya.<br />- Upah yang cukup<br /><br />Bagi seorang tenaga kerja (buruh), yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan upah, agar dapat meneruskan kehidupan baik untuk dirinya maupun untuk keluarga yang menjadi tanggung jawabnya, maka sering kali permasalahan upah menjadi hal yang rumit (seperti upah minimum di daerah bekasi yang ditetapkan oleh Pemerintah /UMR, sangatlah tidak mencukupi untuk membiayai kehidupannya, hal ini berkaitan dengan tingginya biaya hidup di daerah bekasi yang sudah menjadi daerah berkembang). Maka dalam hal ini para pakar memberikan beberapa definisi tentang upah yaitu : <br />Oleh karena itu yang tidak termasuk dalam ruang lingkup Hukum Perburuhan adalah :<br />1. Melakukan pekerjaan atas dasar resiko sendiri tanpa ada yang perintah (atasan)<br />2. Melakukan pekerjaan atas sukarela untuk kepentingan orang lain atau masyarakat <br />3. Melakukan pekerjaan karena melakukan suatu kewajiban atau sanksi (kerja paksa).<br /><br />Teori Upah sbb:<br />Teori Sewa wajib :<br />Penyelesaian antara tenaga kerja dengan penguasa yang harus diberitahukan dengan surat ditujukan kepada pegawai depnaker untuk memberi peraturan dalam penyelesaian ini.<br />Teori upah hukum alam ( Imam Soepomo, SH).<br />Upah ditetapkan atas dasar bekerja yang perlukan untuk memelihara, memulihkan tenaga kerja yang habis dipakai, agar tetap dapat dipakai terus menerus.<br />Teori Upah Hukum Besi ( Ricardo)<br />Suatu pendekatan upah dipakai untuk menerima babakan kaum tenaga kerja.<br />Persediaan upah ( Stewart will Senior)<br />Suatu pembayaran upah sudah tersedia sejumlah tertentu, yang bersifat uang muka dari pihak majikan.<br />Upah Etika<br />Upah harus menjamin penghidupan yang baik tenaga kerja sendiri, keluarganya, yang menetapkan kedudukan berdasarkan jumlah keluarganya.<br />Upah Sosial<br />Upah dibayar sesuai kecakapan dan kebutuhan tenaga kerja itu sendiri.<br />Landasan Peraturan Perburuhan<br />Dalam sistem hukum perburuhan sudah sewajarnya harus ada aturan-aturan yang dapat melandasi semua hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, agar tidak ada permasalahan (dieleminir seminimal mungkin permasalahan yang timbul). Oleh karena itu dalam hal ini ada beberapa landasan hukumnya sbb:<br />Secara Normatif (I) <br />ü Pancasila<br />ü Ketentuan/peraturan seperti (Konstitusi, GBHN, UU, PP, Perpu, Keppres, Kepmen, Perda.)<br />ü Azas<br />ü Kebiasaan<br />ü Teori<br />ü Traktat/Perjanjian<br />ü Hasil penelitian<br /> Secara Normatif (II)<br />Yaitu hal yang dilakukan di Amerika pada setiap perusahaan yang beroperasi di Amerika, yang belum atau tidak dilakukan oleh Indonesia, yaitu : mewajibkan kepada Perusahaan untuk menyerahkan keuntungan perusahaan kepada negara sebesar + 65 % untuk digunakan kegiatan sosial, pendidikan, pemeliharaan lingkungan dll, dan sisanya 35 % diambil oleh perusahaan itu sendiri, maka dalam hal ini banyak perusahaan asing yang lari dari AS dan mencari daerah berkembang yang belum/tidak menerapkan sistem tersebut, tetapi ada juga perusahaan yang dapat laba memanfaatkan labanya untuk memberikan bantuan beasiswa, atau olah raga, pemerhati lingkungan.<br />Secara Empiris<br />Berdasarkan hasil penelitian/ kenyataan yang ada baik itu di Dalam negeri yang berdasarkan ( Tuntutan hidup, Pemerataan, Kemiskinan, Lapangan kerja, dll). Mupun yang berasal dari Luar Negeri (ILO, WTO, AFTA, GATT) yang masih memberikan perhatian terhadap masalah : (Buruh, HAM, Kemiskinan, Pemerataan, aturan normatif)<br />Dari kedua hal (Normatif dan empiris), maka akan menghasilkan politik hukum dan budaya hukum buruh yang dikehendaki/ yang akan dilakukan (Politik will).<br />Undang-undang yang melandasi peraturan perburuhan sbb:<br />(a) UUD (Konstitusi)<br />(b) Pancasila<br />(c) UU No. 23/53 tentang Wajib lapor Perusahaan<br />(d) UU No. 21/54 tentang perjanjian perburuhan<br />(e) UU No. 80/57 tentang pengupahan<br />(f) UU No. 12/64 tentang Pemutusan Hub. Kerja.<br />(g) UU No. 5/86 tentang PTUN<br />(h) UU No. 3/96 tentang Jamsostek<br />(i) UU No. 21/96 tentang Keselamatan Kerja.<br />(j) UU No.25/97 tentang Ketentuan Pokok T.K.<br /><br />d. Penyelesaian Kasus<br />Dalam penyelesaian kasus-kasus perburuhan , sudah ada lembaganya yaitu :<br />Dalam Negeri :<br />¨ P-4/PD = Panitia Penyelesaian perselisihan perburuhan (daerah atau Pusat (D,P).<br />¨ Damai<br />¨ Bani (badan khusus di luar peradilan yang ada)<br />¨ Peradilan (Umum (UU No.14/70 Jo UU No. 30/98, Tinggi, PTUN (UU No. 5/85), MA)<br />Luar Negeri :Damai (Mediasi, negoisasi, Konsiliasi)Lembaga Arbitrase (UU No. 30/99)<br /><br /> <br />BAB VIII<br />ISTEM HUKUM PAJAK<br /><br />Dalam pembahasan masalah pajak ini, kita bukanlah mempelajari bagaimana cara menghitung pajak, tetapi kita mempelajari tentang bagaimana sistem hukum pajak itu dan untuk apa diambil pajak oleh negara dan apakah ada dasar hukumnya.<br />Oleh karena itu dalam sistem hukum pajak Indonesia mengenal dua landasan hukumnya yaitu secara :<br /><br />Normatif yang berisikan :<br />- Politik Hukum <br />- Budaya Hukum<br />- Konstitusi<br />- GBHN<br />- Teori<br />- Azas<br />- Peraturan /Perundang-undangan : <br />UU No. 22/99 tentang Otonomi daerah<br />UU No. 25/99 tentang Perimbangan keuangan daerah<br />UU No. 18/99 tentang Pajak Daerah & Restitusi Daerah<br />UU No. 6/82 Yo UU No. 6/92 Ketentuan Pokok Pajak<br />UU No. 7/82 Yo UU No.7/92 Ketentuan Pokok Pajak<br />UU No. 8/82 Yo UU No.12/92 Ketentuan Pokok Pajak<br />UU No. 12/82 Yo UU No. 12/92 Pajak Bumi Bangunan<br />Empirik :<br />- Tuntutan<br />- Luar Negeri Seperti Investor, Globalisasi, GAAT, WTO, Apec<br />Dalam Negeri Seperti UU No. 22/99 tentang Otonomi daerah<br />UU No. 25/99 tentang Perimbangan keuangan daerah<br />UU No. 18/99 tentang Pajak Daerah & Restitusi Daerah<br />- Kebutuhan Negara. Sesuai dengan kondisi<br />Pengertian Hukum Pajak dari beberapa pakar adalah sbb:<br />Dr. Soeparman Soemahamidjaya :<br />Iuran wajib berupa uang/barang yang dipungut oleh pengusaha berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.<br />Leroy Beanliev<br />Bantuan baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan dari penduduk/ dari barang untuk menutup belanja negara.<br />Prof. Dr. H. Rachmat Soemitro, SH.<br />Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa tambah (kontra prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan dipergunakan untuk membayar pengeluaran umum.<br />Prof. R. Santosa Brotodihardjo, SH.<br />Peralihan kekayaan dari rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk publik yang merupakan sumber utama untuk membiayai publik invesment.<br /><br />Pajak pertama kali dilakukan berdasarkan undang-undang yaitu mulai tahun 1982, dimana unsur pajak yaitu :<br />- Undang-undang<br />- Lembaga negara (Budget-anggaran)<br />- Pengeluaran negara<br />Sedangkan dalam penyelesaian kasus pajak dapat dilakukan dengan didasari oleh UU sbb;<br />- Pasal 23 (2) UUD 1945<br />- UU No. 14/70 Yo UU No. 33/99 tentang ketentuan pokok kehakiman ( PA, PM, PTUN, PU)<br />- UU No. 5/86 tentang Peradilan Tata Usaha Negara<br />- UU No. 17/99 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).<br />(Yang perlu diperhatikan bahwa dana yang masuk (pajak) tidak boleh dipergunakan untuk hal-hal lain seperti di Depositokan dan mendapatkan bunganya.)<br /><br />Fungsi Pajak adalah :<br />Disamping sebagai Budgeting (anggaran) dan Regulered (mengatur), tetapi fungsi budget terletak pada sektor publik merupakan suatu alat/ sumber untuk memasukan uang sebanyak-banyaknya pada kas negara dan dipergunakan untuk pembiayaan negara pada umumnya dipergunakan untuk pengeluaran rutin <br />Sedangkan fungsi regulerend (mengatur), bahwa pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang berada di luar bidang ekonomi dan banyak ditujukan pada sektor swasta.<br /><br />Ciri-ciri pajak adalah sbb:<br />(1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.<br />(2) Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah<br />(3) Pajak dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.<br /><br />Teori Pemungutan Pajak ada bebarapa macam :<br />Teori asuransi :<br />Negara dalam hal ini melindungi orang dan segala kepentingannya menjaga keselamatan, kententraman jiwa dan harta, maka itu diperlukan orang berupa suatu premi dalam pajak inilah dianggap sebagai premi. :<br /><br />Teori kepentingan:<br />Beban pembagian pajak yang harus dipungut dari penduduk yang harus di dasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas pemerintahan (bermanfaat) baginya, termasuk perlindungan atas jiwa atas orang berseta harta bendanya.<br />Teori Gaya Pikul<br />Dasar pungutan pajak yang dirasa adil terletak pada jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya yaitu perlindungan atas jiwa dan harta benda wajib pajak.<br /><br /><br /><br />Teori atas Gaya Beli<br />Penarikan pajak yang dilakukan para aparat pajak kepada wajib pajak dari segi efektifnya dengan guna efektifnya inilah sebagai kunci dasar keadilannya.<br />Teori Kewajiban Pajak Mutlak (Bakti)<br />Hak negara untuk memungut pajak kepada masyarakat, terlebih memperhatikan syarat-syarat keadilan bertugas, kepentingan umum, dan melakukan tindakan-tindakan dalam perpajakan. Hal ini terletak dalam hubungan rakyat dengan negara yang memungut pajak dari padanya.<br /><br />Dari teori-teori di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam pemungutan pajak harus mempunyai beberapa aspek yaitu<br /> Aspek Adil<br /> Aspek Efektif<br /> Aspek Kepentingan Pembangunan<br /> Aspek Manfaat.<br /><br />Asas Yuridis<br />Pasal 23 (2) UUD 1945 yang berpengaruh sangat dalam, yaitu syarat menentukan nasib rakyat secara final harus dipungut berdasarkan UU.<br />Tercapainya keadilan seperti :<br />(1) Hak Fiksus (Dirjen Pajak) dalam pembuatan ketentuan perundang-undangan lancar diketahui oleh umum, meyempurnakan UU Pajak lengkap dengan sanksi-sanksinya.<br />(2) Wajib pajak harus mendapat jaminan hukum supaya tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh fiskus dengan aparaturnya.<br />(3) Jaminan terhadap tersimpan rahasia menjalani kebenaran mengenai diti / atau pemeriksaan wajib pajak yang telah ditentukan bagian institusi pajak dan tidak sisalahgunakan oleh aparat pajak<br />Azas Financial<br />Sesuai dengan fungsinya budgeting, maka sudut tertentu biaya yang digunakan untuk pemungutan pajak harus sekecil-kecilnya dari perbandingan pendapatannya.<br /><br />Azas Pemungutan pajak :<br /><br />(1) Azas tempat tinggal : didasarkan atas tempat tinggal para wajib pajak.<br />(2) Azas kebangsaan : dikenakan pada wni sebagai wajib pajak termasuk wajib pajak asing yang melakukan usaha yang sudah berbadan hukum di Indonesia.<br />(3) Azas Sumber : penarikan pajak penghasilan, pendapatan berdasarkan atas sumber objek pajak berasal dari wilayah Indonesia. <br /> <br />Azas Pembuatan UU Pajak<br /><br />1. Falsafah Hukum, yaitu harus mengabdi kepada keadilan baik dalam UU dan pelaksanaanya, Dalam Pembuatan harus memperhatikan teori-teori bakti, asuransi, kepentingan, gaya pikul, gaya beli.<br />2. Yuridis, yaitu dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan bagi negara dan rakyatnya berdasarkan UU dan ada kepastian hukum<br />3. Ekonimis, yaitu Kebijakan pemungutan pajak harus diusahakan jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan (dijaga keseimbangan roda ekonomi)<br />4. Finacial, yaitu Sesuai dengan Budgeter, maka biaya dalam pemungutan pajak harus seminimal mungkin, dan hasil mencukupi untuk menutupi pengeluaran negara serta pengenaan pajak harus sedekat mungkin dengan terjadinya perbuatan peristiwa, keadaan yang menjadi dasar pengenaan pajak<br /><br /> <br />Sistem Pemungutan Pajak<br />Dalam hal ini dikenal 2 cara yaitu :<br />Self Assesment <br /> Sistem pemungutan pajak dimana Wajib Pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan uu perpajakan. Dalam hal ini pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas dari masyarakat sendiri.<br />Official Assessment<br /> Sistem pemungutan pajak, dimana aparatur perpajakan menentukan jumlah pajak yang terutang. Inisiatif dan kegiatan menghitung dan pemungutan pajak sepenuhnya ada pada aparatur pajak. Sistem ini baik bila kualitas aparatur telah baik.<br /> <br />SEJARAH PERKEMBANGAN PAJAK<br /><br /> Bermula dengan ditetapkan Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908, ordonansi vervending 1923, ordonansi pajak jalan 1942 Ps. 14 huruf j, k dan UU darurat No.11/1957 huruf 1 tentang Peraturan Umum Pajak daerah, IPEDA (Iuran pembangunan Daerah)<br /><br />Tahun 1980<br /><br /><br /> Adanya Kebijakan politik Pemerintah dalam perpajakan setelah era kemerdekaan yaitu pada tahun 1980, dengan pertimbangan :<br />1. Keseragaman penarikan potensi suatu daerah<br />2. Menghindari beragam objek pajak dan cukup satu pajak saja.<br />3. Ada kepastian hukum dibidang perpajakan<br />4. Ada kemudahan penarikan pajak<br />5. Demi untuk kepentingan anggaran negara dan pembiayaan pembangunan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidak ada lagi dualisme pengaturan Perpajakan.<br />Tetapi setelah Tahun 1982<br />terjadi ketidak konsistenan Pemerintah, maka terbukti mengeluarkan UU No. 12/1984 jo UU no. 12/1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dan masih banyak lagi pajak-pajak yang lain.<br /> <br />BAB VIII<br /><br />STEM HUKUM AGRARIA (TANAH)<br /> Sistem Hukum Agraria di Indonesia telah mempunyai Undang-undang-nya yang merupakan landasan Hukum keagrariaan yaitu UU No. 5 /1960 tentang UUPA yang telah di umumkan dalam lembaran negara (LN) No. 104 Tahun 1960. Oleh negara Repulik Indonesia.<br /><br />Ultrech berpendapat bahwa Hukum Agraria menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang ditugaskan mengurus soal-soal agraria/ melakukan tugas mereka.<br /><br />Sedangkan secara Hukum Pertanahan (1040-1959) melihat bahwa walaupun negara RI sudah merdeka, tetapi masalah pertanahan masih dipegang oleh bangsa lain (belanda), maka berdasarkan hal tersebut, maka motivasi pembuatan UUPA No. 5 tahun 1960 adalah :<br />(1) Politik Pertanahan RI<br />- Dilakukannya pengusiran Bangsa Asing (belanda) di Indonesia seperti di IRJA (Papua)<br />- Pemerintah Indonesia berkeinginan memiliki /menguasai Badan usaha milik Belanda (asing).<br />- Banyaknya tanah terlantar yang ditinggalkan atau yang tidak jelas pemiliknya akibat dahulu merupakan tanah kerajaan, dan kerajaan hapus, maka tanah tersebut tidak bertuan.<br />- Serta masih banyaknya para pejuang yang pada saat perjuanagan tidak memikirkan kondisi perekonomiannya, tetapi setelah RI merdeka mereka tetap miskin.<br />(2) Operasional Pertanahan berdasarkan <br />- Kebijakan Pemerintah RI<br />- Tuntutan baik Dalam Negeri seperti H. Adat, kebutuhan Rakyat RI maupun Luar Negeri seperti Hipotik UU No. 46/96 tentang kepemilikan tanah.<br />(3) Landasan Hukum Pertanahan Indonesia adalah. Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33) , Teori, Azas, peraturan Lainnya seperti UU No. 5/60 tentang UUPA, UU No. 46/96 tentang Hopotik dan PP lainnya.<br />(4) Penyelesaian kasus/ sengketa. Dapat diselsaikan melalui PN (UU No.15/4/70 , UU No. 35/97 ) PTUN (UU No.5/86 ) dan Ombusman (badan yang baru pada sistempemerintahan Gusdur).<br /><br />Dengan diterbitkannya Undang-undang pertanahan tersebut (UUPA), dimana UUPA mempunyai sbb:<br />(a) Tujuan UUPA.<br />- Meletakkan dasar-dasar kesatuan dan kemerdekaan dalam sistem hukum pertanahan di RI.<br />- Memeberi kepastian hukum tentang kepemilikan tanah di RI.<br />- Memberi dasar-dasar penyusunan Hukum Agraria di Indonesia.<br />(b) Azas UUPA. Terdiri dari :<br />(1) Azas Kebangsaan dan perlindungan.<br />- Pemerintah memberikan perlindungan hukum atas hak-hak tanah mereka (rakyat Indonesia0 tercantum dalam (Pasal 9, 21 (1) dan Ps. 11 (2))<br />(2) Azas Legalitas. Yaitu Segalan tindakan dalam perbuatan pemerintah maupun warga negara di bidang agraria harus berdasarkan hukum (Ps. 30 (2), Ps. 26 (2), Ps.46 (1), Ps 50 , 51)<br />(3) Azas Fungsi Sosial, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial dari tanah (ps.6), dimana apabila negara memerlukan tanah tersebut untuk kepentingan orang banyak (umum) seperti ruang jalan atau lain sebagainya, maka pemerintah dapat mengambil tanah tersebut dengan ada pergantian kerugian yang memadai (sesuai peraturan yang ada).<br /><br /> Oleh karena itu dalam setiap peraturan-peraturan yang menyangkut pertanahan (agraria), maka ketiga aspek ini harus termaktum di dalam peraturan tersebut.<br /><br />Dalam sistem pertanahan (agraria) di Indonesia diatur beberapa hak yaitu seperti :<br />- Hak Milik (Pasal 20) yaitu pemilikan tanah oleh warga negara yang bersifat terkuat dan terpenuhi dengan pengelolaan hak eigendom dengan fungsi sosial.<br />- Hak Guna Usaha (Ps. 28) yaitu Pemakian tanah bukan miliknya sendiri yang digunakan dalam usaha pertanian, peternakan, dengan luas minimal 5 Hektar dan mempunyai batas waktu dan dapat diperpanjang.<br />- Hak Guna Bangun (Pasal 35 ) yaitu Pemakaian tanah secara perorangan bebas menetukan dan meletakkan bangunan di atas tanah dengan berstatus tanah milik.<br />- Hak Guna Pakai (Pasa. 41), yaitu Pemakaian tanah yang dilakukan oleh Warga negara RI maupun Orang asing (WNA) dalam jangka waktu tertentu seperti Kedutaan, Join venture dll.<br />- Hak Sewa (Pasal 16 jo. Psl 53) yaitu Pemakaian tanah kepada warga negara RI manapun bukan warga negara Indonesia (WNA) yang ada hubungan dengan perdagangan, hanya untuk hak sewa pertanian. Dalam hal ini negara tidak dapat menyewakan tanah, karena negara bukan pemilik tanah.<br /><br />Dalam pemilikan tanah, maka tanah negara menurut UUPA adalah :<br />- Tanah yang dikuasai oleh negara.<br />- Tanah yang dikuasai oleh negara ialah tanah yang sudah ada sesuatu hak di atasnya, seperti Hak yang disebutkan sebelumnya.<br />Sedangkan Penguasaan negara (Pasal 4 UUPA) mengenai wewenang negara yaitu :<br />- Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.<br />- Menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum atara orang dengan tanah<br />- Menentukan dan mengatur hubungan hukum atanar orang-orang, perbuatan hukum yang mengenai tanah.<br /><br /> <br />BAB IX<br />SISTEM PENANAMAN MODAL<br /><br />a. Politik Hukum Penanaman Modal.<br />Dalam hal ini Pemerintah melihat latar belakang sejarah perdagangan di Indonesia, maka Indonesia melakukan terobosan agar sistem penanaman modal berjalan dengan baik.<br />b. Budaya Penanaman Modal (PM) <br />Budaya penanaman modal ini berangkat dari sejarahperdagangan bahwa pada tahun 1025 dan 1275 Portugis dan VOC mencari rempah-rempah dan berhasil menemukan daerah penghasil rempah tersebut seperti di Tidore, malaka dll.<br />c. Operasional Penanaman Modal <br />Sejarah perdagangan di Indonesia <br />1816 Perdagangan rempah yang berakibat dengan Penjajahan fisik dan perbudakan .<br />1814 Pengaturan Belanda (BW)<br />1971- 1972 terjadi Relokasi usaha AS dan Eropah dinegar-negara berkembang yang menghasilkan penjajahan bentuk baru yaitu penjajahan ekonomi.<br /><br />Dalam Sistem penanaman modal di Indonesia di bagi dalam 2 bentuk yaitu Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal asing (PMA), dimana peraturan-peraturan yang n\menjadi Landasan Hukumnya berbeda seperti tersebut di bawah ini :<br /><br />Dasar Hukum Penanaman Modal Asing (PMA)<br />- UU No. 1/1967 kemudian diperbaiki dengan UU No. 11/1970 tentang PMA <br />- UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal (UUPM) pengganti UU No. 15/1952 tentang Penetapan UU Darurat Bursa.<br />- PP No. 50/93 tentang Pemilikan Saham dalam rangka PMA dalam perusahaan Publik <br />- PP No. 20/1994 tentang Pemilikan Saham dalam Rangka PMA.<br /><br />Pengertian PMA menurut Pasal 2 UU No. 1/1967 Jo. UU No.11/1970 <br />(1) Sebagai alat pembayaran Luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia dengan persetujuan pemerintah di gunakan untuk pembiayaan perusahaan negara indonesia.<br />(2) Sebagai alat-alat perusahaan termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan yang dimasukkan dari luar negeri ke dalam wilayah Indonesia, sepanjang alat-alat tersebut tidak dibiayai dari kekayaan bangsa Indonesia.<br />(3) Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan undang-undang diperkenankan di transper tetapi digunakan pembiayaan perusahaan Indonesia.<br />UU No. 11/1970 tidak hanya berbentuk Valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, penemuan milik keuntungannya yang boleh ditransper ke luar negeri tetapi dipergunakan kembali di Indonesia.<br /><br /><br />Dasar Hukum Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN).<br />- UU No. 6/1968 tentang PMDN , kemudian dirubah dengan UU No. 12/1970 tentang PMDN<br /><br />Pengertian PMDN adalah menurut UU No. 12/1970 :<br />- Kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hal-hal kebendaan yang dimiliki baik negara, swasta nasional maupun swasta asing (PMA) (Ps. 1)<br />- Modal dalam negeri sebagai sumber produktif dari masyarakat Indonesia yang dapat dipergunakan bagi pembangunan ekonomi pada umumnya<br />- Alat-alat pembayaran luar negeri yang dimiliki oleh negara dan swasta nasional yang disahkan / disediakan untuk menjalankan usahanya di Indonesia termasuk pula sebagai modal dalam negeri.<br /><br />Hak dan kewajiban Penanaman Modal adalah sbb:<br />§ Perusahaan pemilik modal dari perusahaan nasional mengabarkan pada presentasi modalnya adalah milik negara/ swasta nasional, dan wajib lapor kepada instansi yang berwenang, bila tidak dilaporkan dalam waktu 3 bulan, maka izin perusahaan tersebut dicabut (Ps.3 (1)).<br />§ PMA/PMDN, wajib memenuhi ketentuan perdagangan yang telah ditentukan/ berlaku.<br />§ Pendaptaran Perusahaan merupakan bahan penting bagi berbagai aktivitas pemerintah antara lain untuk penyusunan rencana pembangunan, sehingga perlu kesiapan aparatur negara yang ditugaskan untuk itu.<br />§ Perusahaan diperkenankan mengadakan usaha gabungan dengan modal asing (Ps. 23)<br />§ Modal dalam negeri yang dimiliki orang asing yang berdomisili di luar Indonesia, berlaku ketentuan /peraturan yang ada sebelum UU ini.<br />Hak perusahaan Penanaman modal yang dulunya berstatus perusahaan asing berdasarkan peraturan-peraturan berlaku diantaranya yang pernah dilunasi pemerintah (perusahaan yang diambil alih pemerintah), tetap dijamin hak-hak khusus berdasarkan peraturan-peraturan dan ketentuan yang berlaku bagi mereka..<br />Akibat negatif dari Pasar Modal adalah bisa berakibat pada nilai tukar rupiah dengan mata uang asing, sehingga nilai tukar kita kemungkinan besar merosot bila dibandingkan dengan Dolar ($) AS (kondisi negara yang terlihat tidak tertib, tentram dll), maka Pengusaha Amerika bisa membeli saham di perusahaan yang ada di Indonesia, seperti Perusahaan Astra yang sudah dimiliki saham terbesarnya oleh (Soros) Pengusaha dari Amerika, sehingga keuntungan Astra yang Trilyunan otomatis akan lari keluar negeri dan mrekalah yang menikmati keuntungan terbesar dari pada negara kita karena saham terbesar dipegang oleh mereka dan dengan seenaknya mungkin ia akan mengganti para Komisaris, Direksi yang tidak berkenan bagi diri Soros (Contoh kecil dampak negatif dari sistem Pasar Modal di era Globalisasi ini)<br />Penanaman Modal (UU No.11, 12/ 1970 tentang PMA, PMDN). DalamPenanam Modal, otomatis memrlukan Modal sebagai alat untuk berusaha, tetapi dalam hal ini kadangkala kita mengalami kesulitan untuk mendapatkan atau bagaimana mencari informasi tersebut. Oleh karena itu dalam penanaman modal perlu wadah yang mempermudah investor bertransaksi yaitu suatu PASAR MODAL<br /><br />Pengertian Pasar modal menurut Pasal 1 butir 13 UU No. 8/1995 adalah: <br /> Kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek perusahaanpublik, yang berkaitan dengan efek yang diterbitkan, serta lembaga profesi yang berkaitan dengan efek”<br />Sedangkan menurut Keputusan Menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 1548/KMK/90. Pengertian pasar modal adalah :<br />Suatu pasar (tempat) pertemuan antara penawaran dan permintaan Surat Berharga (SB) dengan memakai Jasa para Pedagang Efek.<br /><br /> <br /> Transaksi<br /><br /> Membeli Menjual<br />Tujuan dari Pendirian Pasar Modal adalah :<br />§ Menciptakan Fasilitas bagi keperluan industri dan keseluruhan perusahaan dalam memenuhi permintaan dan penawaran modal.<br />Peranan Pasar Modal itu sendiri adalah :<br />§ Memberi Informasi secara lengkap tentang Surat berharga (SB).<br />§ Kemudahan untuk menentukan harga saham.<br />§ Memberi kesempatan kepada investor untuk memperoleh hasil yang diharapkan.<br />§ Memberi kesempatan investor menjual kembali surat berharga yang dimilikinya.<br />§ Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan industri.<br /> <br />Sejarah Pasar Modal di Indonesia<br />Sejarah Pasar Modal di Indonesia terdiri dari 5 (lima ) Periode yaitu :<br />(I) Periode Penjajahan Belanda (1912), <br />Indonesia (Hindia Belanda) dalam cengkraman penjajah Belanda, dan Penguasa Belanda pada saat itu mendirikan Bursa Efek (Vereniging Voor de Effect en handel)<br />§ Sebagai usaha penarikan modal untuk mendirikan perusahaan perkebunan di Hindia Belanda.<br />§ Berkiblat pada Pasar Modal di Belanda<br />§ Efek yang diperdagangkan Saham dan Obligasi.<br />§ Tahun 1925 dibuka Bursa Efek Jakarta (11-01-1925)<br />§ Pada tahun yang sama di buka Bursa Efek di Semarang (01-08-1925)<br />§ Kegiatan Bursa Efek (Pasar Modal) terhenti karena terjadi perang dunia II.<br />(II) Periode Awal Kemerdekaan Indonesia<br />§ Tahun 1950 Pemerintah RI menerbitkan Obligasi Pemerintah <br />§ RI mengeluarkan UU Darurat No. 13 /1951 tentang Bursa dan disempurnakan dengan UU No. 15/1952 “ BURSA”<br />§ Tahun 1966 Perdagangan Bursa mengalami kelesuan dan mati sendiri<br />(III) Periode Orde Baru<br />§ Pemerintah RI Pada Tahun 1976 mengeluarkan KEPPRES No. 52/1976<br />§ Tahun 1977 Presiden Soeharto memberi keringanan untuk Pasar Modal sbb:<br />§ Fasilitas perpajakan<br />§ Paket Keringanan Fiskal<br />§ Bebas Bea Materai<br />§ Bebas Pajak Perseroan<br />§ Dll.<br />§ Tahun 1983 Fasilitas Perpajakan dan Paket Keringanan Fiskal dihapuskan dengan adanya UU perpajakan<br />§ Tahun 1984 dengan hilangnya Fasilitas perpajakan, maka perdagangan di bursa menurun dan berakhir dengan MATI SURI <br />(IV) Periode Konsolidasi (1984-1988)<br />§ Paket 6 Mei 1986 pemberian status sama PMDN/PMA yang 51 % sahamnya dapat dijual di Pasar Modal dapat dimiliki swasta nasional.<br />(V) Periode Perkembangan dan Pertumbuhan<br />§ Tahun 1989 merupakan tahun yang sangat menakjubkan, karena pada tahun tersebut kondisi Pasar Modal mengalami “BOOMING”<br /><br /> <br />PELAKU PASAR MODAL<br /><br />Bila kita ingin mengetahui apa itu Pasar Modal, maka sudah sepatutnya kita juga harus tahu institusi yang terlibat dalam Pasar Modal tersebut. Adapun hal tersebut adalah sbb:<br /><br />1. Emiten adalah perusahaan emisi yang melakukan penawaran umum, dimana syarat suatu perusahaan untuk dapat dijual sahamnya di pasar modal harus telah memenuhi persyaratan UU No. 8 / 1995 sbb: <br />§ Berbadan Hukum (BH)<br />§ Berkedudukan di Indonesia<br />§ Modal dasar Rp. 100.000.000,- Modal disetor Rp. 25.000.000.<br />§ Laba bersih 10 % selama 2 tahun dari modal sendiri<br />§ Laporan keuangan diperiksa oleh Akuntan Publik dengan predikat WTS (Wajar Tanpa Syarat) <br />§ Mendaftarkan Perusahaannya ke BAPEPAM<br />§ Membuat Profektus dengan benar dan jelas (jujur)<br />2. Investor adalah orang yang bertujuan untuk :<br />§ Memperoleh Deviden<br />§ Berdagang<br />§ Pemilikan Saham<br />§ Spekulasi (sekuritas Bursa)<br />§ Orang / Badan yang berkeinginan menanam modal di suatu perusahaan yang melakukan Go Publik<br />3. Lembaga Penunjang seperti :<br />§ Penjamin Emisi (underwriter) Lembaga/perusahaan yang mengambil resiko untuk menjual sekuritas dengan mendapat imbalan.<br />§ Penanggung /Guarantor adalah penengah antara yang memberikan kepercayaan dan yang membutuhkannya mirip seperti Bank garansi, dimana berfungsi menjamin pembayaran tepat waktu atas bunga, pengembalian pinjaman pokok<br />§ Wali Amanat (trusteq) adalah Pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat hutang<br />§ Perantara Perdagangan Efek/Pialang/Broker adalah orang yang melakukan transaksi jual beli di lantai Bursa atas nama pemodal. Perusahaan yang bergerak di bidang ini harus dengan syarat Berbadan Hukum, Mempunyai tenaga Ahli dibidang tersebut, Modal disetor Rp. 25 Juta serta Izin Menteri keuangan. Dengan Wewenang Membeli/menjual diluar harga yang ditentukan asal lebih menguntungkan dan mendapat keuntungan 1% dari nilai transaksi<br />§ Lembaga Kliring dan penjaminan yaitu pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bursa.<br />§ Akuntan Publik, terdaftar di BAPEPAM yang mempunyai fungsi mengaudit keuangan perusahaan yang akan go publik, dimana akuntan publik tersebut akan menyatakan pendapat : Wajar Tanpa Syarat (Unqualified opinion), Wajar tetapi tidak sesuai dengan akuntansi Indonesia (Qualified opinion),Pendapat tidak setuju (Adverse), Menolak memberikan pendapat (Dicliner of Opinion) <br />§ <br />§ Konsultan Hukum<br />§ Notaris untuk mencatat kejadian di bursa saham.<br /><br /> <br />BAB X<br />ERLINDUNGAN ONSUMEN (UU No. 8 Tahun 1999).<br />Landasan Hukum<br />YURIDIS<br />- Pancasila<br />- UUD 1945<br />- GBHN<br />- UU No. 8/99, PP, Kepmen, DLL<br />NORMATIF<br />- Teori<br />- Azas<br />- Manfaat<br />- Keadilan<br />- Keseimbangan<br />- Keamanan<br />- Keselamatan Konsumen<br />- Kepastian Hukum<br /><br />Operasional Perlindungan Konsumen<br />- Tuntutan dari Dalam Negeri dan kebutuhan seperti : Pelaksanaan<br />- Transportasi (Udara, Darat, Laut)<br />- Garmen (Tektil, Sepatu dll)<br />- Elektronik, Alat Rumah tangga<br />- Medis<br />- Makanan<br />- Minuman<br />- Perumahan<br />- Perbankan<br />- Pengawasan<br />- Pemerintah (BPSKN) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Indonesia<br />- Swasta (YLKI) Yayasan lembaga Konsumen Indonesia<br />Penyelesaian Kasus<br />- Damai<br />- Musyawarah<br />- Mediasi<br />- Konsiliasi<br />- Lembaga<br />- Badan penyelesaian PK<br />- Arbitrase<br />- Perad. Umum<br />- Perad. Niaga, PTUN.<br /><br /> <br /> erlindungan Konsumen :<br />adalah segala usaha yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.<br /><br />Konsumen adalah :<br /> Setiap orang yang memakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.<br /><br />Pelaku Usaha :<br /> Setiap orang atau Badan Usaha, baik yang berbentuk Badan Hukum maupun bukan Badan Hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI, baik berdiri sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.<br /><br />Barang<br /> Setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan. Dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen<br />Jasa <br /> Setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.<br /><br />Promosi<br /> Kegiatan pengenalan/ penyebaran informasi suatu barang dan atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan atau jasa yang akan atau sedang diperdagangkan.<br /><br />Azas Perlindungan konsumen<br />Manfaat, keadilan, keseimbangan, keamananan, keselamatan konsumen, kepastian hukum.<br />Tujuan Perlindungan Konsumen<br />- Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.<br />- Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari dampak negatif pemakaian barang dan atau jasa.<br />- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dan pemilihan untuk menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.<br />- Menciptakan sistem perlidungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan serta akses mendapatkan informasi.<br />- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.<br />- Meningkatkan kualitas barang, jasa serta menjamin kelangsungan usaha barang, keyamanan, keamanana dan keselamatan konsumen<br /> <br />Hak Konsumen<br /><br />- Hak atas keyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa.<br />- Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan.<br />- Hak untuk informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi barang atau jasa.<br />- Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang yang digunakannnya.<br />- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.<br />- Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, penggantian apabila barang atau jasa tidak sesuai perjanjian atau kesepakatan.<br /><br />Kewajiban Konsumen<br /><br />- Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan.<br />- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.<br />- Membayar sesuai dengan nilai yang disepakati.<br />- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut (benar).<br /><br /><br />Ancaman Hukum Bagi Pelanggar UU No. 8/1999<br />- Perdata (UUPK Pasal 19 ayat 2)<br />- Pengembalian Uang, atau<br />- Penggantian Jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau <br />- Perawatan kesehatan<br />- Pemberian Santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.<br />- Hanya ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000 (juta)<br />- Bukan (tidak ada pasal) yang mengatur mencabut izin usaha.<br /><br />- Pidana<br />- Penjara paling lama 5 tahun<br />- Pidana dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (juta).<br /><br />- Beban Pembuktian sesuai Pasal 19 UUPK merupakan Beban Pelaku Usaha untuk membuktikan benar atau tidak <br /><br />- Para Pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi adalah :<br />- Seorang konsumen yang mengalami kerugian atau yang meninggal dunia, maka ahli warisnya .<br />- Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.<br />- LSM / YLKI yang mempunyai tujuan perlindungan konsumen yang tercantum dalam AD/ART LSM tersebut.<br />- Pemerintah/instansi terkait apabila kerugian materi yang besar atau ada korban yang tidak sedikit.<br /> <br /><br />Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSKN )<br />BPSKN berkedudukan di ibukota negara RI.<br />- Bertanggung jawab langsung ke Presiden.<br />- Anggota BPSKN terdiri dari Pemerintah, akademisi, Pelaku Usaha, Lembaga PK Swadaya Masyarakat (YLKI) dan Tenaga Ahli.<br />- Fungsi BPSKN memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah.<br />- Penyelesaian melalui BPSKN tidak menghilangkan tanggungjawab Pidana Pelaku Usaha (Pasal 49 UUPK)<br />- Masa Kerja BPSKN 21 hari untuk mengeluarkan putusan setelah pengajuan gugatan ganti rugi diterima.<br />- Mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi.<br />- Tindakan tertentu dari Pelaku Usaha untuk menjamin tidak akan terulang kembali<br /><br />Penyelesaian Sengketa Perlindungan Konsumen dapat diselesaikan melalui :<br />- Musyawarah, arbitrase, mediasi, konsiliasi<br />- Peradilan UMUM, PTUN, Peradilan Niaga.<br /><br /> <br />Esensi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen<br /><br />§ Pasal 65 UUPK tersebut mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan yaitu baru berlaku efektif tanggal 20-4-2000.<br />§ UU yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen<br />§ Lebih banyak mengatur tentang prilaku Pelaku Usaha.<br />§ Sejarah manusia dalam kerugian yang dialami konsumen barang/ jasa acapkali merupakan akibat dari prilaku Pelaku Usaha.<br /><br />STRUKTUR MATERI UU No. 8/ 1999<br /><br />§ Pertanggung jawaban kontrak (contractual Liability) yaitu tentang tanggungjawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha baik barang/jasa. Pasal 18 UUPK juga memberlakukan hukum perjanjian sebagaimana termuat dalam Buku III Kuhperdata.<br />§ Pertanggungjawaban produk (product liability) yaitu bahwa antara konsumen dengan pelaku usaha tidak ada perjanjian langsung/hubungan perjanjian (no privity of contrac), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Produk Liability bahwa setiap barang/jasa akan aman dipergunakan konsumen (ada jaminan bahwa barang/jasa tidak akan menimbulkan kerugian bagi pemakai/konsumen).<br /><br /><br />§ Pertanggungjawaban Profesional (Frofesional Liability). Dalam hal ini antara Pelaku Usaha dengan konsumen ada perjanjian langsung (Privity of contrac), maka bila terjadi maka mempergunakan pertanggungjawaban perdata secara langsung (Strict liability)<br />§ Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liabiliy) yaitu Hubungan Pelaku Usaha dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan masyarakat umum (konsumen) , maka tanggungjawab Pelaku Usaha didasarkan pada Criminal Liability.<br /> <br />BAB XI<br /><br /><br />Penegakan Hukum dalam Aspek Hukum Bisnis Internasional, dapatberbentukyang sederhana (s1) dan Modern (S-2 dan S3) hal ini dalam mencapai Law Invorcement.<br />Bentruk Kontrak/Perjanjian ada 2 macam yaitu Sederhana dan Modern.<br /><br />Dalam Sistem Kontrak Modern/Internasiona isi dari kontrak/perjanjian bisnis internasional mengandung 26 butir yang harus ada di dalam kontrak tersebut, yaitu sbb:<br /><br />1. Pembentukan AD/ART.<br />2. Nama Perusahaan<br />3. Operasional dan objek perusahaan<br />4. Modal dasar/awal perusahaan<br />5. Posisi modal keseluruhan<br />6. Cara Transper<br />7. Posisi pimpinan Direktur<br />8. Eksistensi pemegang saham<br />9. Direksi penentu dalam setiap keputusan.<br />10. Keuntungan dan peran acounting<br />11. Bonafide para deviden<br />12. Cara-cara pertolongan kontrak<br />13. Siapa penguasa perusahaan<br />14. Siapa penjamin perusahan<br />15. Klausula – klausula dalamkotrak/perjanjian<br />16. Tingkat kepercayaan<br />17. Kemampuan menghadai goncangan/transisi<br />18. Penyelesaian perselisihan (arbitrase dagang)<br />19. Pemutus secara sepihak dalam kontrak<br />20. Penetapanpenyerahan barang<br />21. Analogi hukum (pengertian Hukum secara Universal)<br />22. Perubahan kontrak atas dasar kegentingan<br />23. Pembayaran Dolar AS (US $)<br />24. Peringatan/ pemberitahuan jatuh tempo kredit.<br />25. Tempat penyerahan kredit atas permintaan pimpinan penentu keputusan perusahaan.<br />26. Keseriusan/ ketaatan kesepakatan/ perjanjian/ persetujuan secara sah/legitimit.<br /><br />Format Transaksi Bisnis Internasional yang dipergunakan di Indonesia. Format sederhana.<br />1. Nama Perusahaan (AD/ART, operasional ,pemegang saham , ini semua masih sesuai dengan pola BW dan UU No./1995)<br />2. Legalitas<br />Nama pemilik/Pendiri<br />Umur Pemilik/Pendiri<br />Jenis Kelamin (Harus jelas, agar tidak saru)<br />Kewarganegaraan <br />Alamat Perusahaan tersebut berdomisili<br />3. Cara Transaksi (Hak dan kewajiban)<br />Jenis Barang<br />Jumlah Barang<br />Cara pembayaran<br />Jaminan<br />4. Penyerahan Kasus /perselisihan<br />Musyawarah / kekeluaragaan<br />Polisis / Jaksa<br />Pengadilan Negeri.<br />Lembaga Peradilan lainnya. (PTUN, Perad. Niaga)<br /> <br />BAB XII<br /><br /><br /> Hukum Sederhana (S-1)<br />Menurut Prof. Soerjono Soekanto, SH.MA. adalah sbb:<br />1. Peraturan yang di buat harus baik/benar.<br />Memenuhi 5 aspek Hukum (Yuridis, Ekonomis, Politis, Sosiologi, dan Hostoris)<br />2. Kejujuran Aparat (Penegak Hukum)<br />Gaji Aparat harus menciptakan hidup sejahtera, sehingga terhindar dari godaan materi.<br />SDM, Aparat harus lebih baik dan terbina terus menerus<br />Profesional, dalam menangani segala permasalahan<br />Moral, yang baik akibat dari 3 komponen di atas tercukupi.<br />3. Kelengkapan Sarana<br />Kecanggihan Teknologi, agar setiap TP (tindak Pidana) dapat diidentivikasi sedini mungkin.<br />Kelembagaan, yang jelas dan baik struktur organisasinya.<br />Dan dan Modal untuk menjalankan roda penegakan hukum harus ada dan cukup.<br />Prasaran pendukung lainnya, ketiga komponen di atas harus menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan<br />4. Ketaatan masyarakat atau komponen objeknya (jangan mencoba-coba untuk berkolusi dll)<br /><br />Penegakan Hukum Modern (S2 dan S3)<br />Menurut Prof. Lawrence M. Friedman, Ph.D dan Prof. Erman Rajagukguk, SH.LLM.Ph.D<br />1. Subtansi<br />Undang-undang<br />Peraturan pendukung<br />Keputusan Pelengkap<br />2. Aparatur/ Struktur<br />Legislatif<br />Eksekutif<br />Yudikatif<br />3. Ketaatan dari Masyarakat<br />4. Peranan Hukum oleh Negara<br />5. Perhatian Penguasa terhadap Hukum.<br /><br />Bila Penegak Hukum tidak terwujud/ berjalan dengan baik, Maka Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH dan Prof. Daniel S.Lev, Phil, maka yang dilakukan adalah sbb:<br />1. Penguasa wajib ganti kerugian<br />2. Terjadi kekotoran dalam tubuh manusia, masyarakat<br />3. Terjadi kegoncangan stabilitas suatu negara<br />4. Terjadinya keganjilan neraca ekonomi negara termasuk sektor usaha lainnya.<br /><br />Peraturan yang tidak memenuhi 5 aspek hukum di atas, maka akan menghadapi sbb:<br />1. Direvisi/disempurnakan<br />2. Di tunda berlakunya<br />3. Di batalkan<br />4. Tidak perlu ditaati bila tetap diberlakukan.<br /><br /> <br />BAB XIII<br /><br /><br /> Dengan terjadinya Repormasi yang digerakkan oleh para mahasiswa, maka jatuhlah Pemerintahan Orde Baru menjadi Pemerintahan era Reformasi, dimana pada era tersebut mendendangkan lagu Otonomi Daerah hampir sama dengan Orde Baru ( UU No. 5/1974 tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa)<br />Landasan Hukum Pemda adalah<br /> Yuridis Normatif yaitu <br />§ Pancasila (Pasal 3, 5 )<br />§ Konstitus (UUD 1945 Pasal 18)<br />§ TAP MPR/GBHN<br />§ Peraturan perundang-undangan<br />§ UU No. 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah<br />§ UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa<br />§ Kedua UU tersebut direvisi dengan :<br />§ UU No. 22/1999 tentang PemDa (Otoda)<br />§ UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah<br />§ Yurisprudensi (Keputusan yang dilakukan oleh Hakim)<br />§ Keppres<br />§ Kepmen<br />§ Perda<br />§ SK.Gubernur<br /> Yuridis Empirif<br />§ Teori<br />§ Azas Integralistik (Pemerintahan yang jujuhr), <br />§ Doktrin Trias Politika (Pemisahan kekuasaan)<br /> Operarional<br /> Sistem Kenegaraan Otoriter (Militer)<br /> Monarchi (Jepang, Inggris)<br /> Agama (Roma)<br /> Sosialis (China, Kuba)<br /> Demokrasi<br /> <br />Pemilu Proposional (Profinsi/ Tk.I)<br /> Tidak Langsung<br /> Distrik (Kabupaten/ Tk.II)<br /> Langsung<br />Lebih Bagus 2 Partai seperti AS,Inggris,belanda, Canada, Eropah<br />Distrik Partai Banyak India<br /><br /> Sistem Pemerintahan Kerajaan<br /> Presidentil<br /> Parlemen<br /><br /><br /> Penyelesaian Kasus Politik<br /> Hukum<br /><br />Beberapa Pemikiran Otonomi daerah dari Para Pendiri Negara RI.<br /><br />Prof, Dr. Hazairin<br /> Adanya pembagian wilayah negara dalam tiga tingkatan sebenarnya sudah terlampau banyak dan memerlukan biaya banyak, yang seharusnya pemberian wilayah hanya pada KABUPATEN DAN DESA.<br /><br />Prof. Dr. Moh. Hatta (1946)<br /><br /> Untuk mendekati Demokrasi yang bertanggung jawab kepada rakyat, maka Pemerintahan daerah bergerak di KABUPATEN.<br />Mr. Wongsoneoro (1948 Surabaya)<br /> Menyetujui adanya satu macam pemerintahan daerah saja yaitu KABUPATEN yang langsung di bawah pengawasan pusat.<br />Mr. Nasroen<br /> Pembentukan daerah aturan yang dapat dikenal yaitu Kabupaten dan Desa karena mempunyai kelebihan sbb:<br />1. Pemerintah lebih sanggup dan nyata memperhatikan kepentingan rakyat dan rakyat lebih jelas merasakan adanya pemanfaatan pemerintahan.<br />2. Lebih sanggup nyata mengetahui, menyediakan dan kesiapan mengurus rumah tangganya sendiri<br /><br /><br />Tingkat I Sentralistik<br /> Gubernur Propsional<br /> Kanwil<br /> Menteri<br /><br />Tk.II Otonomi Distrik<br /> <br />Kabupaten Bupati<br /> Camat<br /> Desa Kapung<br /> Desa<br />Kodya Walikodya<br /> Camat<br /> Kelurahan RW.<br /> RT<br />Kotif Walikotif<br /> Camat<br /> Desa Kampung<br /> Dusun<br /> <br />BAB XIV<br /><br /><br /><br /> UU No. 14/1970 tentang Undang-Undang Pokok kehakiman dan direvisi dengan UU No. 38/1999 tentang hal yang sama. Dalam UU tersebut menyebutkan bahwa pada prinsipnya TIDAK BOLEH setiap perkara/masalah diselesaikan di luar lembaga pengadilan resmi (PN,PT,MA) <br />Pasal 3 (2) UU No. 14/1970 :<br />Hanya Badan peradilan Negara yang berwenang menetapkan dan menegakkan hukum dan peradilan di Negara Indodnesia”<br />Tetapi penjelasan Pasal 3 UU No. 14/1970 memberikan kemungkinan dilakukan di luar pengadilan seperti :<br />“ …Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase0 tetap diperbolehkan”.<br /><br />Maka melihat isi dari penjelasan Pasal 3 tersebut, maka merupakan jalan keluar hukum untuk melakukan perjanjian arbitrase, tetapi dengan syarat :<br />Ada Kata Sepakat (Mutual Consent) /Kesepakatan Bersama (1320 KUHperdata).<br />Bersifat tertulis bila perjanjian Arbitrase bersifat lisan, maka dianggap tidak pernah ada (never existed) Pasal 618 Rv.<br /><br /><br /><br />Landasan Hukum Arbitrase adalah Pasal 377 HIR atau 705 RBG yang berbunyi :<br /><br />“Jika orang Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa eropah”<br /><br />Perjanjian Arbitrase bersifat asesor (tambahan)<br /><br /> Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “Bersyarat” (Voorwaardelijke Verbentenis). Dan tidak termasuk pada pengertian Pasal 1253 (KUHPerdata/BW) “<br /><br />“ Suatu perikatan adalah bersarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang, dan yang belum tentu akan terjadi. Baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa itu.”<br /><br /><br /><br /><br />Facus Arbitrase semata-mata ditujukan kepada Masalah Penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian dan tidak digantungkan pada suatu kejadian tertentu dimasa yang akan datang.<br /><br />Para Pihak yang terikat dengan perikatan tersebut sepakat bahwa dalam menyelesaikan sengketa yang timbul tidak diajukan kepada Badan-badan peradilan yang resmi, tetapi melalui badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim disebut wasit (Arbitrase)<br />Jadi Jelas bahwa arbitrase terletak pada PENYELESAIAN SENGKETA, bukan pada pelaksanaan perjanjiannya.<br /><br />Perjanjian arbitrase adalah merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. Cacat/batalnya perjanjian arbitrase tidak berakibat batal/cacatnya perjanjian pokok tersebut.<br /> <br />Klausula Arbitrase pada prinsipnya tidak boleh melampau isi perjanjian Pokok. Dalam hal ini haraus mengenai masalah penyelesaian perselisihan yang relevan dengan pokok perjanjian. <br />(Bila perjanjian Pokoknya adalah mengatur tentang textil, maka perjanjian arbitrase hanya mengatur tentang textil tidak lain.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Bentuk-bentuk Klausula Arbitrase<br /><br />1. Secara Umum (Tidak terinci)<br />- Pasal 615 ayat 3 Rv,<br />- 618 (2) Rv, <br />- Pasal II Ayat 1 Konvensi New York 1958 “ Segala perselisihan yang timbul antara para pihak, sepakat diselesaikan dan diputuskan oleh arbitrase”<br />2. Secara Terinci<br />Agar menghindari berbagai hambatan-hambatan dalam penerapan perjanjian arbitrase sebaiknya klausula memuat syarat-syarat yang dirumuskan secara terinci dalam bentuk :<br />- Terinci secara menyeluruh<br />- Terinci mengenai pokok-pokok saja.<br />- Dengan terinci akan lebih menguntungkan, karena dua belah pihak lebih mudah memantau atau menentukan apakah suatu keadaan salah satu pihak termasuk atau tidak kedalam kerangka perjanjian arbitrase<br /><br />3. Klausula Binding Opinion (Saran/pendapat)<br /> Landasan Hukum Pasal 1 ayat 3 AD Bani<br />Kedua belah pihak setuju dengan lembaga arbitrase, tetapi bukan untuk meminta pemeriksaan dan memutuskan perselisihan, tetapi hanya meminta ‘NASEHAT/PENDAPAT”<br /><br />Klausula ini biasanya dimasukkan dalam perjanjian arbitrase untuk hal-hal yang bersifat penafsiran-penafsiran yang berkembang ATAU TIMBULNYA KEADAAN – KEADAAN BARU DILUAR DUGAAN PARA PIHAK.<br /> <br /><br />1. Az. Nasution, SH. Konsumen dan Hukum, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.<br />2. C.S.T. Kansil, Drs, SH. Hukum Perusahaan Indonesia, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.<br />3. Muhamad Djumhana, Drs, SH. Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.<br />4. Munir Fuady, SH.MH.LLM, Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 1986<br />5. Sudargo Gautama, Prof. Mr. Dr. Arbitrase Dagang Internasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1986<br />6. __________________, Perdagangan, perjanjian Hukum Perdata Internasional dan Hak Milik Intelektual, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.<br />7. Yose Rizal Sidi Marajo, Aneka Konsep Surat perjanjian dan Kontrak, Penerbit Pustaka Setia , Jakarta 1996.<br />8. Undang-undang Perseroan terbatas, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1998<br />9. R. Subekti, Prof. SH, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta 1958<br />10. Rozali Abdullah, SH, Pancasila sebagai dasar negara dan Pandangan Hidup bangsa, Penerbit PT. Raja Grafika Persada, Jakarta, 1993<br />11. M. Yahya Harahap, SH. Arbitrase, Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta, 1991setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-34224115085671560652010-03-08T00:33:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.257-07:00AMDAL & ANDALAMDAL DAN ANDAL<br /><br /><br />A. Pengertian AMDAL<br /><br />Analisa dampak lingkungan atau disingkat menjadi Andal sudah dikembangkan oleh beberapa negara maju sejak tahun 1970 dengan nama Environmental Impact Analysis atau Environmental Impact Assesment yang kedua-duanya disingkat menjadi EIA.<br />Di dalam bahasa Indonesia environmental diterjemahkan menjadi lingkungan, analisis pada permulaannya diterjemahkan menjadi analisa kemudian oleh ahli bahasa disarankan untuk diterjemahkan menjadi analisis. Terjemahan dan pengertian dari impact agaknya tidak mudah, karena negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahas nasionalnya pun masih berbeda-beda mengenai pengertiannya. Beberapa negara seperti Kanada dan Australia, misalnya, masih ada yang menggunakan istilah effect dengan arti yang sama dan sering pula dengan arti yang berbeda.Impact pada permulaannya hanya dirubah menjadi impak, tetapi kemudian ada yang menerjemahkan sebagai pengaruh dan dampak. Kalau diambil dari kamus bahasa maka istilah impact mempunyai arti sama dengan crashing, collision, effect. Sedangkan dampak mempunyai arti tubrukan, benturan, pengaruh. Setelah menerima berbagai saran penterjemahan dari berbagai pihak, akhirnya pemerintah, khususnya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian menjadi Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH), menetapkan terjemahannya menjadi Analisis Dampak Lingkungan yang pada permulaannya menggunakan singkatan A.D.L. : singkatannya kemudian rubah pula menjadi ‘Andal’.<br />Analisis dampak lingkungan adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan, sedang analisis mengenai dampak lingkungan adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal dirumuskan sebagai “status analisis mengenai dampak lingkungan dari suatu proyek yang meliputi pekerjaan evaluasi dan pendugaan dampak proyek dari bangunannya, prosesnya maupun sistem dari proyek terhadap lingkungan yang berlanjut ke lingkungan hidup manusia, yang meliputi penyusunan PIL, TOR Andal, RKL dan RPL”.<br /><br />B. Dampak<br /><br />Impact atau Dampak di sini diartikan ssebagai adanya suatu benturan antar dua kepentingan, yaitu kepentingan pembangunna proyek dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik.<br />Dampak yang diartikan dari benturan dua kepentingan antara kegiatan (proyek pembangunan) yang akan dijalankan di lingkungan<br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar No. 1 Terjemahan dan pengertian dari istilah dampak<br /><br />Dalam perkembanan dianalisis bukanlah hanya dampak negatif saja tetapi juga dampak positifnya dengan bobot analisis yang sama. Apabila didefinisikan maka dampak ialah setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Di sini tidak disebutkan karena adanya proyek, karena sering proyek diartikan sebagai bangunan fisik saja, sedangkan banyak proyek yang bangunan fisiknya relatif kecil atau tidak ada tetapi dampaknya dapat besar. Misalnya ialah proyek pasar, proyek satelit komunikasi dan lain sebagainya.<br /><br />a. Pendugaan Dampak<br /><br />Pendugaan ini digunakan sebagai terjemahan dari assessment. Beberapa ahli di indonesia menggunakan terjemahan perkiraan atau peramalan. Pendugaan dampak dapat didefinisikan sebagai aktivitas untuk menduga dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang akibat suatu aktivitas manusia (proyek). Dampak yang diduga tersebut merupakan perbedaan nilai lingkungan atau nilai suatu sumberdaya di masa yang akan datang antara lingkungan tanpa proyek dan lingkugnan dengan proyek.<br /><br />b. Penyajian Informasi Lingkungan<br /><br />Penyajian informasi lingkungan atau PIL adalah suatu proses untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya dampak yang akan digunakan untuk menetapkan apakah proyek yang diusulkan tersebut perlu Andal atau tidak. Perundangan di indonesia menyebutkan bahwa PIL adalah suatu telaahan secara garis besar tentang rencana kegiatan yang akan dilaksanakan; rona lingkungan tempat kegiatan, kemungkinan timbulnya dampak lingkungan oleh kegiatan tersebut dan rencana tindakan pengendalian dampak negatifnya.<br /><br />c. Penyajian Evaluasi Lingkungan<br />Penyajian evaluasi lingkungan atau disingkat menjadi PEL adalah suatu aktivitas penelaahaan seperti PIL, hanya bedanya PEL dilakukan pada proyek yang sudah berjalan sedang PIL dilakukan pada proyek yang masih dalam perencanaan.<br /><br />d. Studi Evaluasi Lingkungan<br />Istilah studi evaluai lingkungan atau SEL adalah analisis dampak lingkunan yan dilakukan pada proyek atau aktivitas manusia yang sudah berjalan. Dalam analisis ini rona lingkungan sebelum proyek berjalan sudah tidak dapat dijumpai.<br /><br />e. Mengapa Diperlukan Amdal<br /><br />Mengapa Amdal harus dilakukan ? pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan dua macam cara sebagai berikut :<br />1) Amdal harus dilakukan untuk proyek yang akan dibangun karena undang-undang dan peraturan pemerintah menghendaki demikian. Apabila pemilik atau pemrakarsa proyek tidak melakukannya, maka akan melanggar undang-undang dan besar kemungkinannya perizinan untuk membangun proyek tersebut tidak akan didapat, atau akan meghadapi pengadilan yang dapat memberikan sanksi-sanksi yang tidak ringan. Jawaban pertama ini sering dapat merupakan cara yang efektif untuk memaksa para pemilik proyek yang kurang memperhatikan kualitas lingkungan atau pemilik proyek yang hanya mementingkan keuntungan proyeknya sebesar mungkin tanpa menghiraukan dampak sampingan yang timbul. Tanpa adanya undang-undang, peraturan pemerintah, pedoman-pedoman, baku mutu-baku mutu maka dasar hukum dari pelaksanaan Amdal ini tidak ada.<br />2) Amdal harus dilakukan agar kualitas lingkungan tidak rusak karena adanya proyekproyek pembangunan. Jawaban kedua ini merupakan jawaban ini merupakan jawaban yang ideal, tetapi kesadaran mengenai masalah ini tidak mudah ditanamkan pada setiap orang teurtama para pemrakarsa proyek.<br /><br />Pada awalnya kebudayaan manusia perubahan pada lingkungan oleh aktivitas manusia masih dalam kemampuan alam untuk memulihkan diri secara alamiah, tetapi aktivitas manusia makin lama makin menimbulkan banyak perubahan lingkungan.<br />Perubahan lingkungan yang sudah terjadi sering masih dapat ditoleransi oleh manusia karena dianggap tidak menimbulkan kerugian pada manusia secara jelas dan berarti. Tetapi perubahan yang makin besar akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, kesejahteraannya dan bahkan keselamatan dirinya. Pada saat inilah manusia mulai berpikir dan meninjau kembali semua aktivitasnya dan berusaha untuk menghindari aktivitas yang menimbulkan dampak sampingan yang tidak dikehendaki atau ingin mengetahui dampak apa yang akan merugikan dari aktivitasnya, kemudian akan mencarikan usaha untuk menghindari timbulnya dampak yang tak disukai tersebut agar kesejahteraan dan kehidupannya tidak terancam. Keadaan terakhir inilah sebenarnya manusia lalu melakukan Amdal. Secara skematis hubungan tersebut disajikan dalam gambar No. 2<br />Untuk menghindari timbulnya dampak lingkungan yang tidak dapat ditoleransi maka perlu disiapkan rencana pengendalian dampak negatif yang akan terjadi. Untuk dapat merencanakan pengendalian dampak negatif tentu harus diketahui dampak negatif apa yang akan terjadi dan untuk mengetahui dampak yang akan terjadi maka perlu dilakukan pendugaan dampak lingkungan. Langkah ini disebut pendugaan dampak lingkungan atau environmental impact assessment dan pendugaan ini merupakan proses dalam Amdal. Maka dari itulah Amdal dilakukan untuk menjamin tujuan proyek-proyek pembangunan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat tanpa merusak kualitas lingkungan hidup.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar No. 2: Skema hubungan antara tujuan aktivitas manusia dengan dampak pada lingkungan.<br /><br />C. Siapa yang harus melakukan Amdal<br />Dengan dasar filosofi bahwa si penyebab timbulnya pencemar yang harus membayar maka pemrakarsa proyek haruslah membiayai atau menyelenggarakan Amdal. Kalau dilihat bahwa Amdal merupakan bagian dari perencanaan suatu proyek maka juga jela bahwa harus dibiayai oleh pemilik proyek.<br />Begitu pula dalam mengendalikan dampak haruslah sampai batas-batas tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk Baku Mutu, dan merupakan tanggungjawab yang harus dibiayai oleh pemrakarsa proyek, karena dirasakan kurang adil kalau masyarakat disekitar proyek harus membayar akibat adanya dampak negatif proyek tersebut. Misalnya mengeluarkan biaya tambahan untuk kesehatannya yang diakibatkan proyek, juga kenyamanannya, keselamatannya bahkan rusaknya sumberdaya alam yang diolahnya. Sebenarnya dengan adanya proyek tersebut masyarakat juga mendapat keuntungan atau dampak positif, seperti sumber pekerjaan baru, fasilitas-fasilitas baru yang dapat ikut dinikmati, sehingga masyarakatnyapun harus ikut mengelola lingkungannya tetapi dampak positif yang didapat sering jauh lebih kecil dari dampak negatifnya. Apabila proyek tersebut kurang mampu atau terbatas kemampuannya maka pemerintah pusat ataupun pemerintah haruslah ikut campur secara aktif untuk mengurangi dampak negatif tersebut.<br />Tanggung jawab pemilik proyek untuk menyelenggarakan Amdal bukan berarti bahwa pemrakarsa proyek tersebut harus melakukannya sendiri. Pemilik proyek dapat menyerahkan pelaksanaan studi Amdal-nya kepada konsultan swasta atau pihak lain atas dasar saran dari pemerintah.<br />Di negara-negara berkembang yang biasanya belum memiliki konsultan swasta yang mampu melaksanakan Amdal dengan baik, maka sering pekerjaan ini dipercayakan kepada universitas, karena biasanya di universitaslah terkumpul ahli-ahli berbagai bidang yang dapat melaksanakan Amdal. Dapat pula dibentuk suatu tim gabungan dari berbagai instansi termasuk staf dari pemilik proyek. Bagaimanapun bentuk tim Amdal, mereka melakukan Amdal untuk atau atas nama pemilik proyek, dan pemilik proyeklah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan isi dari laporan dan penyebaran laporannya.<br />Sebenarnya apabilal pemilik proyek itupun merasa mampu melaksanakannya sendiri, maka dapat melaksanakan sendiri sepanjang persyaratan pelaksanaan Amdal dipenuhi. Misalnya tim harus terdiri dari ahli-ahli multidisiplin yang lengkap diperlukan. Apabila pemilik proyek tidak tahu kepada siapa harus menyerahkan pekerjaan Amdal dipenuhi. Misalnya tim harus terdiri dari ahli-ahli multidisiplin yang lengkap diperlukan. Apabila pemilik proyek tidak tahu kepada siapa harus menyerahkan pekerjaan Amdal tersebut maka dapat menanyakannya pada instansi pemerintah yang berwenang. Apabila peranan konsultan Amdal swasta makin baik dan berkembang maka peranan universitas akan makin berkurang.<br />Di Kanada Amdal dapat pula dilakukan oleh staf dari kantor menteri lingkungan, staf dari departemen yang membidangi proyek tersebut atau suatu kelompok khusus untuk menangani Amdal suatu proyek di samping menyerahkan kepada konsultan swasta atau dikerjakan oleh pemilik proyek sendiri (Ministry of the Environment, Ontario, 1973).<br />Amdal bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari proses Amdal yang lebih besar dan lebih penting sehingga Amdal dapat dikatakan merupakan bagian dari :<br />a. Pengelolaan lingkungan<br />b. Pemantauan lingkungan<br />c. Pengelolaan proyek<br />d. Pengambil keputusan<br />e. Dokumen yang penting<br />f. Dan lain sebagainya<br /><br />C. Peranan Andal Dalam Pengelolaan Lingkungan<br /><br />Aktivitas pengelolaan lingkungan baru dapat dilakukan apabila telah dapat disusun rencana pengelolaan lingkungan, sedang rencana pengelolaan lingkungan dapat disusun apabila telah diketahui dampak lingkungan yang akan terjadi akibat dari proyek-proyek pembangunan yang akan dibangun.<br />Pendugaan dampak lingkungan yang digunakan sebagai dasar pengelolaan dapat berbeda dengan kenyataan dampak yang terjadi setelah proyek berjalan, sehingga program pengelolaan lingkungan sudah tidak sesuai atau mungkin tak mampu menghindarkan rusaknya lingkungan.<br />Perbedaan dari dampak yang diduga dan dampak yang terjadi dapat disebabkan oleh :<br />a. Penyusun laporan Andal kurang tepat atau kurang baik di dalam melakukan pendugaan dan biasanya juga disebabkan pula oleh tidak cermatnya para evaluator dari berbagai instansi pemerintah yang terlibat, sehingga konsep atau draft laporan Amdal yang tidak baik sudah disetujui menjadi laporan akhir.<br />b. Pemilik proyek tidak menjalankan proyeknya sesuai dengan apa yang telah tertulis di dalam laporan Andal yang telah diterima pemerintah terutama saran-saran dan pedoman di dalam mengendalikan dampak negatif. Misalnya di dalam laporan Andal jelas bahwa proyek harus membangun pengelolaan air limbah (water treatment plant), tetapi kenyataannya tidak dilakukan atau, walaupun dilakukan, tidak bekerja dengan baik, dan kalaupun diketahui dibiarkan saja. Contoh lain misalnya alat penyerap debu (dust absorber) yang harus diganti atau dibersihkan tiap dua tahun sekali tetapi sudah lima tahun tidak juga diganti. Hal lain yang dapat terjadi ialah proses yang terjadi di dalam mesinnya. Pada laporan Andalnya dikatakan hanya akan membuang suatu bahan kimia pencemar 0,1 ppm, tetapi kenyataannya telah membuang sampai 5 ppm pada hal Baku Mutu menunjukkan maksimum emisi hanya 0,5 ppm. Kesalahan ini dapat terjadi karena mesin masih dalam taraf percobaan atau karena kesalahan dalam pengoperasian mesinnya atua memang mesin yang dipakai tersebut tidak mampu mengurangi limbah yang mengandung 5 ppm.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar No. 3 : Peranan Andal dalam pengelolaan lingkungan<br /><br />Untuk menghindari kegagalan pengelolaan lingkungan ini maka pemantauan haruslah dilakukan sedini mungkin, sejak awal dari pembangunan, secara terus menerus dengan frekwensi yang teratur, apabila diperlukan sejak pra-pembangunan. Hasil dari pemantauan kemudian digunakan untuk memperbaiki rencana pengelolaan lingkungan kalau memang hasil pemantauan tidak sesuai dengan pendugaan dalam Andal. Hasil pemantauan juga dapat digunakan untuk memperbaiki pendugaan atau untuk melakukan pendugaan ulang. Secara skematis hubungan hasil Andal, pemantauan dan pengelolaan disajikan dalam gambar No. 4.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar No. 4 : Hubungan hasil Andal, pemantauan dampak dan pengelolaan lingkungan<br /><br />Apabila suatu Andal tidak diikuti pemantauan dan aktivitas pengelolaan lingkungan, maka Andal ini berdiri sendiri, kurang atau tidak banyak bermanfaat di dalam menjaga kualitas lingkungan dari kemunduran atau kerusakan.<br /><br />c. Peranan Andal dalam pengelolaan proyek <br />Untuk dapat mengetahui di mana dan sejauh mana peranan Andal, RKL dan RPL di dalam pengelolaan proyek terlebih dahulu harus diketahui fase-fase dari pengelolaan proyek. Pada umumnya fase-fase dapat dibagi sebagai berikut :<br />a. Fase identifikasi;<br />b. Fase studi kelayakan;<br />c. Fase desain kerekayasaan (engineering design) atau disebut juga sebagai fase rancangan;<br />d. Fase pembangunan proyek;<br />e. Fase proyek berjalan atau fase proyek beroperasi;<br />f. Fase proyek telah berhenti beroperasi atau pasca operasi (post operation).<br />Terdapat perbedaan pengertian arti ‘proyek’ yang sering digunakan di dalam Andal dan di dalam teknik pembangunan proyek. Di dalam Andal proyek diartikan sebagai suatu aktivitas manusia didalam bentuk yang sering disebut sebagai suatu proyek pembangunan ekonomi, sehingga mulai rencana, pembangunan fisik sampai proyek pembangunan berjalan dapat disebut sebagai proyek, bahkan sering aktivitas manusia yang tidak banyak memerlukan bangunan fisik dapat disebut sebagai suatu proyek, misalnya suatu pasar. Jadi proyek yang ditekankan di dalam Andal adalah aktivitas manusianya. Di dalam bidang teknik pembangunan sering proyek diartikan sebagai proses pembangunan fisiknya, sehingga apabila pembangunan fisiknya telah selesai proyek tersebut dianggap selesai dan tidak ada lagi, sehingga setelah suatu pabrik mulai beroperasi maka tidak lagi disebut sebagai proyek.<br />Kalau dilihat bahwa Andal merupakan salah satu studi kelayakan lingkungan yang disyaratkan untuk mendapatkan perizinan selain studi kelayakan teknis dan studi kelayakan ekonomis, seharusnya Andal dilaksanakan bersama-sama, sehingga dari ketiga studi kelayakan tersebut dapat saling memberikan masukan sehingga dapat dilakukan optimas untuk mendapatkan keadaan yang optimum bagi proyek tersebut, terutama dampak lingkungan dapat dikendalikan melalui pendekatan teknis atau dapat disebut sebagai penekanan dampak negatif dengan engineering approach, pendekatan ini biasanya akan dapat menghasilkan biaya pengelolaan dampak yang murah. Hubungan tersebut disajikan dalam gambar No. 5<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar No. 5 : Pengendalian dampak lingkungan dengan pendekatan teknis (engineering approach)<br />.<br />e. Peranan Andal Bagi Pengambil Keputusan<br />Salah satu tugas dari pemerintah dalam mengarahkan dan mengawasi pembangunan adalah menghindarkan akibat-akibat yang merugikan dan tidak diinginkan, yaitu terjadinya dampak negatif dari proyek pembangunan pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam disamping menghindarkan pula terjadinya perselisihan yang dapat timbul antara proyek dengan proyek pembangunan lainnya.<br />Sejak awal perencanaan suatu proyek, pemerintah sudah menghendaki diadakan studi penyajian informasi lingkungan atau PIL. PIL merupakan suatu alat pemerintah untuk memutuskan apakah proyek yang diusulkan ini perlu Andal atau tidak. Dengan mempelajari laporan PIL, pemerintah sebagai pengambil keputusan menilai apakah proyek yang diusulkan ini potensial menimbulkan dampak yang besar atau tidak. Kalau dianggap berpotensi besar untuk menimbulkan dampak terutama yang negatif, maka pengambil keputusan akan mengharuskan pemilik proyek melakukan Andal. Sebaliknya apabila dianggap tidak akan menimbulkan dampak yang berarti, maka pemilik proyek tersebut tidak perlu melakukan Andal dan dapat mulai membangun proyeknya dengan diberikan pedoman pengelolaan dan pemantauannya.<br />Keputusan yang dapat diambil ialah :<br />a. Proyek tidak boleh dibangun;<br />b. Proyek boleh dibangun sesuai dengan usulan (tanpa persyaratan);<br />c. Proyek boleh dibangun tetapi dengan saran-saran tertentu yang harus diikuti pemilik proyek (dengan syarat);<br />Dengan mempelajari Andal, pengambil keputusan mencoba melihat :<br />a. Apakah akan ada dampak pada kualitas lingkungan hidup yang melampaui toleransi yang sudah ditetapkan;<br />b. Apakah akan menimbulkan dampak pada proyek lain sehingga dapat menimbulkan pertentangan;<br />c. Apakah akan timbul dampak negatif yang tidak akan dapat ditoleransi masyarakat serta membahayakan keselamatan masyarakat;<br />d. Sejauhmana pengaruhnya pada pengaturan lingkungan yang lebih luas.<br />Dan masih banyak lagi pertimbangan yang akan digunakan dan biasanya tiap negara mempunyai urutan prioritas di dalam menggunakan pertimbangan. Kalau dibuat suatu skema maka akan berbentuk seperti pada gambar No. 7.<br />Dalam pengawasan proyek laporan Andal merupakan alat untuk memberikan penilaian dan keputusan yaitu dengan membandingkan hasil pemantauan dengan apa yang telah tertulis di dalam laporan Andal. Hasil dari Andal-Andal berbagai proyek yang telah dan akan dibangun juga dapat dipergunakan sebagai bahan untuk memutuskan tindakan pengaturan proyek-proyek dan pengelolaan lingkungan hidup. Model skematis dari pengaturan lingkugnan tersebut dapat dilihat di dalam gambar No. 8.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />f. Kegunaan Andal bagi berbagai pihak<br />Pembagian kegunaan dalam bentuk lain juga dapat disusun berdasarkan pihak yang mendapatkan kegunaannya, sebagai berikut :<br />a. Kegunaan bagi pemerintah;<br />b. Kegunaan bagi pemilik proyek;<br />c. Kegunaan bagi pemilik modal;<br />d. Kegunaan bagi masyarakat;<br />e. Kegunaan lainnya.<br /><br />Kegunaan bagi pemerintah<br /><br />Beberapa keuntungan penting bagi pemerintah telah dibahas di bagian depan. Secara singkat dapat dirumuskan lagi bahwa keuntungan adanya. Andal bagi pemerintah adalah sebagai berikut :<br />a. Untuk mencegah agar potensi sumberdaya alam yang dikelola tersebut tidak rusak (khusus untuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui);<br />b. Mencegah rusaknya sumberdaya alam lain yang berada di luar lokasi proyek baik yang diolah proyek lain, diolah masyarakat ataupun yang belum diolah;<br />c. Menghindarkan perusakan lingkungan hidup seperti timbulnya pencemaran air, pencemaran udara, kebisingan dan lain sebagainya sehingga tidak mengganggu kesehatan, kenyamanan dan keselamatan masyarakat;<br />d. Menghindarkan pertentangan-pertentangan yang mungkin timbul khususnya dengan masyarakat dan proyek-proyek lain;<br />e. Sesuai dengan rencana pembangunan daerah, nasional ataupun internasional serta tidak mengganggu proyek lain;<br />f. Menjamin manfaat yang jelas bagi masyarakat umum;<br />g. Sebagai alat pengambil keputusan umum;<br />h. Dan lain sebagainya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Kegunaan bagi pemilik proyek<br /><br />Keuntungan yang diutarakan disini sering kurang dipercaya oleh pemilik proyek yang menganggap Andal hanya sebagai beban biaya bagi proyek saja. Keuntungan tersebut adalah sebagai berikut :<br />a. Untuk melindungi proyek yang melanggar undang-undang atau peraturan-peraturan yang berlaku;<br />b. Untuk melindungi proyek dari tuduhan pelanggaran atau suatu dampak negatif yang sebenarnya tidak dilakukan;<br />c. Untuk melihat masalah-masalah lingkungan yang akan dihadapi di masa yang akan datang;<br />d. Mempersiapkan cara-cara pemecahan masalah yang akan dihadapi di masa yang akan datang;<br />e. Sebagai sumber informasi lingkungan di sekitar lokasi proyeknya secara kuantitatif, termasuk informasi sosial-ekonomi dan sosial-budaya;<br />f. Sebagai bahan untuk analisis pengelolaan dan sasaran proyek;<br />g. Sebagai bahan penguji secara komprehensif dari perencanaan proyeknya, untuk dapat menemukan kelemahan dan kekurangan kalau ada untuk segera dipersiapkan penyempurnaannya.<br />h. Untuk menemukan keadaan lingkungan yang membahayakan proyeknya (misalnya banjir, tanah longsor, gempa bumi dan lain sebagainya) dan mencari keadaan lingkungan yang berguna dan menunjang proyek;<br />i. Dan lain sebagainya.<br />Kegunaan bagi pemilik modal<br />Untuk membangun proyek biasanya modalnya dipinjam dari bank baik bank nasional atau bank internasional seperti bank dunia (world bank) atau bank pembangunan asia (asia development bank). Untuk bank internasional biasanya setiap permintaan pinjaman diminta menyertakan laporan Andal. Bank nasionalpun akan memintakan Andal pula terutama untuk proyek-proyek yang besar, maka tentu harus ada manfaatnya bagi pemilik modal. Keuntungan tersebut biasanya dirumuskan sebagai berikut :<br />a. Untuk dapat menjamin bahwa modal yang dipinjamkan pada proyek dapat mencapai tujuan dari bank dalam membantu pembangunan atau pemilik modal yang memberikan pinjaman;<br />b. Untuk dapat menjamin bahwa modal yang dipinjamkan dapat dibayar kembali oleh proyek sesuai pada waktunya, sehingga modal tidak hilang;<br />c. Menentukan prioritas peminjaman sesuai dengan misinya;<br />d. Pengaturan modal dan promosi dari berbagai sumber modal;<br />e. Menghindari duplikasi dari proyek-proyek lain yang tidak perlu;<br />f. Dan lain sebagainya<br />Kegunaan bagi masyarakat.<br />a. Dapat mengetahui rencana pembanguna di daerahnya, hingga dapat mempersipkan dir di dalam penyesuaian kehidupannya apabila diperlukan.<br />b. Mengetahui perubahan lingkungan di masa sesudah proyek di bangun hingga dapat memanfaatkan kesempatan yang dapat menguntungka dirinya dan menghindarkan diri dari kerugian-kerugian yang dapat diderita akibat adanya proyek tersebut;<br />c. Turut serta dalam pembangunna di daerah sejak dari awal, khususnya di dalam memberikan masukan informasi-informasi ataupun ikut langsung di dalam membangun dan menjalankan proyek;<br />d. Pemahaman hal ihwal mengenai proyek secara jelas akan ikut menghindarkan timbulnya kesalah-pahaman, hingga dapat menggalang kerjasama yang saling menguntungkan;<br />e. Mengetahui hak dan kewajibannya di dalam hubungan dengan proyek tersebut khususnya hak dan kewajibannya di dalam ikut menjaga dan mengelola kualitas lingkungan;<br />f. Dan lain sebagainya.<br />Kegunaan lainnya<br />Kegunaan lain ini, umumnya dinikmati oleh ilmuwan dan peneliti, diantaranya adalah.<br />a. Kegunaan di dalam analisis, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan;<br />b. Kegunaan di dalam penelitian;<br />c. Kegunaan di dalam meningkatkan keterampilan di dalam penelitian dan meningkakan pengetahuan;<br />d. Tumbuhnya konsultan Andal swasta yang baik.<br /><br /><br /> <br />PROSEDUR AMDAL.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sumber : Diinterprestasikan dari peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Amdal<br /><br /> <br />DEFINISI AMDAL<br />Amdal adalah kajian mengenai dampak besar dan pentng suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.<br /><br />Dasar-dasar hukum Amdal<br />1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.<br />2. PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal<br />3. Keputusan menteri negara lingkungan hidup No. 17 Tahun 2001 tentang jenis rencana usha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal.<br />4. Keputusan Kepala BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup)<br /><br />Tujuan dan sasaran Amdal<br />Untuk menjamin suatu usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Melalui studi Amdal diharapkan kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam secara efisien, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif terhadap lingkungan hidup.<br /><br />Kegiatan wajib Amdal<br />Studi Amdal hanya diperlukan bagi proyek-proyek yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan yang pada umumnya terdapat pada rencana-rencana kegiatan berskala besar, kompleks serta berlokasi di daerah yang memiliki lingkungan sesitif.<br />Jenis-jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal adalah mengacu kepada keputusan menteri lingkungan hidup nomor : 17 tahun 2001 tentangjenis usaha an/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal.<br /><br />Kapan studi Amdal dimulai<br />Sesuai dengan PP 27 Tahun 1999, Amdal merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan.<br />Oleh karena itu Amdal harus disusun segera setelah jelas alternatif lokasi usaha dan/atau kegiatannya serta alternatif teknologi yang akan digunakan.<br /><br />Amdal dan perijinan<br />Menurut PP 27 Tahun 1999 ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan baru akan diberikan bila hasil dari studi amlda menyatakan bahwa rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak lingkungan.<br />Ketentuan dalam berbagai persyaratan dalam dokumen RKL (rencana pengelolaan lingkungan) dan RPL (rencana pemantauan lingkungan) wajib dicantumkan sebagai ketentuan ijin.<br /><br />Prosedur penyusunan Amdal<br />Proses Amdal mencakup langkah-langkah sebagai berikut :<br />1. mengindentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegaitan;<br />2. menguraikan rona lingkungan awal;<br />3. memprediksi dampak besar dan penting;<br />4. mengevaluasi dampak besar dan penting, merumuskan arahan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan.<br /><br />Dokumen Amdal<br />1. Dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan hidup (KA-ANDAL);<br />2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL);<br />3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL);<br />4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)<br /><br />Prosedur UKL-UPL<br />Gambar <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Garis koordinas<br /><br />Sumber : Keputusan Menteri Negara lingkungan hidup nomor 86 tahun 2002 tentang pedoman pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan hidup<br />Perkiraan Dampak Terhadap Lingkungan Berupa Fisik Dan Non Fisik Baik Positif Maupun Negatif<br /><br />Dampak penting ditentukan oleh :<br />1. Besarnya wilayah penyebaran dampak (berapa hektar)<br />2. Luas wilayah penyebaran berlangsung (contoh proyek under pass 1 tahun)<br />3. Intensitas dampak (berapa dokumen daerah)<br />4. Banyaknya komponen lingkungan lain yang terkena dampak<br />5. Sifat kumulatif dampak tersebut.<br />6. Berbalik (reversible) atau tidak berbalik (irreversible) dampak.<br /><br />Dasar penetapan dampak<br />1. Melakukan identifikasi dampak yang terjadi pada komponen lingkungan.<br />2. Pengukuran/perhitungan dampak yang akan terjadi komponen lingkungan.<br />3. Penggabungan beberapa komponen lingkungan yang sangat berkaitan kemudian dianalisis dan digunakan untuk menetapkan refleksi dari dampak komponen-komponen sebagai indikator menjadi gambaran perubahan lingkungan.<br /><br />Andal mencakup :<br />1. Batas wilayah yang terkena harus diseleksi semua wilayah __________.<br />2. Rona awal (sebelum kegiatan) kerusakan daerah lingkungan.<br />3. Rona kegiatan yang akan di usulkan<br />4. Perkiraan dampak yang mungkin timbul<br />5. Evaluasi dari berbagai dampak dan alternatir tindakan pengendalian<br />6. Tata cara prosedur monitoring evaluasi.<br /><br />Beberapa elemen/komponen lingkungan yang dipertimbangkan :<br />· Partikel-partikel<br />· Sulfur dioksida<br />· Hidrokarbon<br />· Nitrogen oksida<br />· Karbon dioksida<br />· Zat-zat beracun<br />· Bau <br /><br />AIR :<br />· Temperatur<br />· PH<br />· Variasi aliran<br />· Pengaruh pasang surut<br />· Organic carbon<br />· Bahan beracun<br />· Kehidupan akuatik<br />· Dll<br /><br />Lahan :<br />· Pola tataguna tanah<br />· Erosi tanah<br />· Stabilitas lahan<br />· Bencana alam<br /><br />Ekologi<br />· Spesies dan populasi hewan<br />· Spesies yang terancam<br />· Vegetasi<br /><br />Beberapa metoda Andal yang terkenal<br />1. Metoda Leopolo<br />Dikenal sebagai matriks leopold atau intrik interaksi dari leopold matriks ini dikenal sejak tahun 1971 dengan mengetengahkan 100 (seratus) macam aktivitas dari suatu proyek dengan 88 (delapan puluh delapan) komponen lingkungan.<br />2. Metoda matriks dampak dari moore (1973)<br />Metoda ini memperlihatkan dampak lingkungan dilihat dari sudut dampak pada kelompok-kelompok yang sudah atau sedang dimanfaatkan oleh manusia atau dapat digambarkan pula sebagai proyek-proyek pembangunan manusia lainnya.<br />3. Metoda sorenson (1971) merupakan analisa network yang pertama disusun untuk digunakan pada proyek pengerukan dasar laut.<br />4. Metoda Mac Harg (1968) yang dikenal dengan metda overlya atau teknik overlay. Sesuai dengan namanya maka metoda ini menggunakan berbagai peta yang digambarkan dalam lembar-lembar transparansi.<br />5. Metoda fishe anri davies (1973) dikenal sebagai matriks dari fisiter dan davies. Kekhususan metoda ini ialah tiga macam matrik yang disusun secara bertahap.<br />· Tahap pertama : Matriks mengenai evaluasi lingkungan sebelum proyek dibangun disebut keadaan lingkungan (Env. baseline).<br />· Tahap dua : Matriks dampak lingkugnan (Env. Compatibility matrix).<br />· Tahap ketiga : Matriks keputusan (decision matrix)<br /><br /><br />Gambar <br /> <br />Evaluasi dampak penting<br />Rekapitulasi evaluasi dampak penting pembangunan jalan Tol Serpong-Jakarta<br /><br />Jenis dampak yang timbul Sumber dampak Besaran dampak Derajat dampak penting<br />(2) (-) (4) (5)<br />Pra kontruksi meningkatnnya harga tanah dan spekulasi tanah.Perubahan pemilikan tanah dan bangunan keresahan dan persi masyarakat Pembebasan tanah & bangunanPembesaran tanah & bangunanPembebasan tanah & bangunan BesarSedangBesar Lebih pentingCukup pentingSangat penting<br />KontruksiMeningkatnya pencemaran udara dan kebisinganGangguan arus lalu lintasGangguan prasarana dan sarana umumGangguan estetitika lahanPerubahan pola aliran dan pencemaran air permukaanMeningkatknya kegiatan perekonomian Pengangkutan material bangunanPenyiapan tanah dasar, krasi fisik & operasi base campPengangkutan materi bangunanPengangkutan material bangunanPenyiapan tanah dasarPenyiapan tanah dasasrPenyiapan tanah dasarHobilisasi tenaga kerjaPenyiapan tanah dasar & konset fisik BesarSedangBesarSedangKecilSedangSedangSedang Kecil PentingCukup pentingPentingCukup pentingKurang pentingKurang pentingCukup pentingCukup pentingKurang penting<br /><br /> <br />Tabel <br />(2) (3) (4) (5)<br />Proses konstruksiMeningkatnya pencemaran bisinganPerubahan tata ruang dan tata guna tanahPerubahan administrasi pemerintahan dan kependudukanMeningkatnya kegiatan perekonomian masyarakatPerubahan tatanan sosial masyarakatPerubahan sistim transportasi & arus lalu lintasMeningkatkan frekuensi kecelakaan lalu lintas Pengoperasian jalanPengoperasian jalan tolPengoperasian jalan tolPengoperasian jalan tolPengoperasian jalan tolPengoperasian jalan tolPengoperasian jalan tol BesarBesasrSedangSedangSedangBesarKecil Sangat pentingPentingCukup pentingCukup pentingCukup pentingSangat pentingCukup penting<br /><br /> <br />Matrik interaksi<br /><br />Matrik interaksi dampak pembangunan jalan tol serpong-jakarta<br />Momen kegiatan pasc<br />Momen lingkungan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10<br />Fisik kimiaKlim mikroFasiltas udaraKebisinganTopografi/bent alamAliran air permukaanErosi permukaanFasilitas airTata ruang dan tata tanahKondisi lalu lintasFlora Flora & fauna daratFlora dan faura airEkonomi danStruktur pendudukEndapatan/mata pencaharianKegiatan ekonomiTatanan sosialNilai tanahPola kehidupan masyarakatPersepsi masyarakatPrasaraana dan sarana --------------xxx- ------x---xxx-xxx- -x-----x---x---xxx -x-x-x------------ -x-----x---------x xxxxxx--x--------x -x-x-x------------ -------x----xx---- -x------x--------- -x----xx--x-xx-xx-<br /><br />Keterangan :<br />Kegiatan survai dan pengukuran lapangan<br />Pembebasan tanah, bangunan dan tanaman<br />Mobilisasi alat-alat besar dan tenaga kerja<br />Pengoperasian base camp dan batching plant<br />Pengangkutan material bangunan<br />Penyiapan tanah dasar, penggalian dan penimbunan tanah<br />Konstruksi, badan jalan, perkotaan dan bangunan pelengkap<br />Pengaturan lalu lintas<br />Penghijauan dan pertamanan<br />Pengoperasian jalan tol<br />Pemeliharaan jalan tol<br />An : x = Ada dampak<br />- = tidak ada dampaksetanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com29tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-91516192447258389132010-03-08T00:30:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.236-07:00sejarah hukum lingkunganSEJARAH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA DAN DUNIA<br /><br /><br />Kata Pengantar.<br /><br /> Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks..<br /> Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya. <br /> <br /><br /><br />Tujuan Instruksional Umum (TIU)<br /> Diharapkan mahasiswa memahami dan dapat menerangkan perjalanan panjang sejarah hukum lingkungan baik yang berlaku secara nasional maupun transnasional<br />Tujuan Instruksional Khusus (TIK).<br /> Setelah mempelajari modul ini diharapkan kepada mahsiswa dapat memaparkan pranata-pranata peraturan tentang hukum lingkungan yang ada di Indoneia dan trans-nasional.<br /><br />A. PENDAHULUAN<br />Pengaturan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara nasional baru dilakukan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Sebagai langkah pertama, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara (PAN) telah mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencegahan Pencemaran pada tahun 1971.<br />sebagai persiapan menjelang Konferensi Stockholm telah diselenggarakan sebuah seminar tentang "Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional" di Bandung, yang berlangsung dari tanggal 15 sampai dengan i 8 Mei 1972. <br /><br />Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Panitia Interdepartemental yang disebut: Panitia Perumus dan Rencana Kerja bagi Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup berdasarkan Keputusan Presiden No. 16/1972. Panitia tersebut diketuai oleh MenPan/Wakil Ketua BAPPENAS, sedang Sekretariatnya ditempatkan di LIPI..<br />Panitia ini berhasil merumuskan program pembangunan lingkungan dalam wujud Bab 4 dalam Repelita II berdasarkan butir 10 Pendahuluan BAB III GBHN 1973-1978. Dengan Keputusan Presi den No. 27 Tahun 1975 telah dibentuk Panitia Inventarisasi dan Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokok menelaah secara nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang, dengan maksud menilai implikasi sosial, ekonomis, ekologis dan politis dari pola-pola tersebut, untuk dijadikan dasar penentuan kebijaksaan pemanfaatan serta pengamanannya sebagai salah satu sumber daya pembangunan nasional.<br /><br />GBHN yang ditentukan oleh MPR tahun 1978 menggariskan langkah lanjut untuk pembinaan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam rangka aparatur lingkungan hidup telah diangkat untuk pertama kali dalam kabinet, yaitu dalam Kabinet Pembangunan IIi, seorang Menteri yang mengkoordinasikan aparatur Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Menteri tersebut adalah Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (disingkat PPLH) yang kedudukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1978, yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1978.<br />Sebagai Menteri PPLH telah diangkat Prof. Dr. Emil Salim, guru besar Ekonomi pada Universitas Indonesia. GBHN yang ditetapkan MPR tahun 1983 meningkatkan pembinaan pengelolaan lingkungan hidup yang telah digariskan dalam GBHN 1978-1983.<br />Dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) telah ditetapkan seorang Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerjanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1983.<br />Sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup ini telah diangkat Prof. Dr. Emil Salim. Dalam Kabinet Pembangunan V (1988-1993) Prof. Dr. Emil Salim telah diangkat kembali sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.<br />Dalam Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) telah diangkat Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam Kabinet Pembangunan VII (1998-1998) telah diangkat Prof. Dr. Yuwono Sudarsono sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup. Sedangkan Dalam kabinet Reformasi pembangunan telah diangkat dr. Panangian Siregar sebagai menteri Negara Lingkungan Hidup. <br />Berangkat dari uraian di atas, maka sejarah peraturan perundang-undangan Hukum Lingkungan dapat di bagi menjadi tiga periode, <br />1. Zaman Hindia Belanda <br />Selanjutnya Dalam sejarah peraturan perundang-undangan lingkungan terdapat peraturan-peraturan sejak zaman Hindia belanda, sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.ML. “Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam Himpunan peraturan-Peraturan perundangan di Bidang Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan rencana kerja bagi pemerintah di bidang Pengembangan Lingkungan hidup diterbitkan pada tanggal 15 Juni 1978, maka dapatlah dikemukakan, bahwa pertama kali diatur adalah mengenai Perikanan, mutiara, dan perikanan bunga karang, yaitu Parelvisscherij, Sponservisscherijordonantie (Stb. 1916 No. 157) dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur Jenderal Indenburg pada tanggal 29 Januari 1916, dimana ordonansi tersebut memuat peraturan umum dalam rangka melakukan perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih dari tiga mil-laut inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda (Indonesia). Yang dimaksud dengan melakukan perikanan terhadap hasil laut ialah tiap usaha dengan alat apapun juga untuk mengambil hasil laut dari laut tersebut <br />Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup adalah Hinder-ordonnantie (Stbl. 1926 No. 226, yang diubah/ditambah, terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu Ordonansi Gangguan.<br />Dalam hubungan dengan terjemahan Hinderordonantie menjadi undang-undang Gangguan yang sering terdapat dalam berbagai dokumen dan peraturan perlu dikemukakan bahwa ordonantie tidak dapat diterjemahkan menjadi Undang-undang, karena ordonarrtie merupakan produk perundang-undangan zaman penjajahan Hindia Belanda, sedangkan Undang-undang merupakan produk negara yang merdeka.<br />Meskipun sebuah ordonantie hanya dapat dicabut dengan sebuah undang-undang, ini tidaklah berarti ordonantie dapat diterjemahkan dengan undang-undang. Istilah yang tepat adalah mentransformasikan ordonantie ke tm bahasa Indonesia menjadi ordonansi.<br />Di dalam Pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut, meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. <br />Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreglemenigsordonnantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86 jo. Stbl. 1948 No. 224). Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah Dierenbeschermingsordonnantie (Stbl. 1931 No. 134), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia).<br />Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang uruan, yaitu Jachtordonnantie 1931 (Stb1.1931 No.133) dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 (Stb1.1940 No.733) yang berlaku untuk Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940.<br />Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurhermingsordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167). Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en reservatenordonnantie 1932 (Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikanya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut.<br />Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda (Indonesia). Peraturan-peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku terhadap suaka-suaka alam atau Natuur monumenten, dengan pembedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-cagar alam.<br />Keempat ordonansi di bidang perlindungan alam dan satwa tersebut di atas telah dicabut berlakunya dengan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal 10 Agustus 1990.<br />Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah dikeluarkan Stadsvormingsordonnantie (Stbl. 1948 No. 168), disingkat SVO, yang mulai berlaku pada tanggal 23 Juli 1948. Yang menarik di sini adalah bahwa Stadsvormingsordonnantie diterbitkan pada tahun 1948, padahal Republik Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Penjelasannya adalah bahwa SVO tersebut ditetapkan di wilayah yang secara de facto diduduki Belanda.<br />Berbagai ordonansi tersebut di atas telah dijabarkan lebih lanjut dalam verordeningen, seperti misalnya: Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No. 266); berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meliputi bidang-bidang tertentu seperti pabrik sigaret, pengecoran logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan karet, perusahaan tekstil; Jachtveiordening Java en Madura 1940 (Stbl. 1940 No. 247 jo. Stbl. 1941 No. 51); dan Stadsvormingsverordening, disingkat SW (Stbl. 1949 No. 40). Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yaitu Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No. 489 jo. Stbl. 1949 No. 98).<br /><br />2. Zaman Jepang<br />Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S Kanrei No. 6, yaitu mengena larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem tanpa izin Gunseikan. Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama ditujukan untuk memperkuat kedudukan penguasa Jepang di Hindia Belanda, dimana larangan diadakan untuk menjaga bahan pokok untuk membuat pesawat peluncur (gliders) yang berbahan pokok kayu aghata, alba, balsem dimana daam rangka menjaga logistik tentara, karena kayu pohon tersebut ringan, tetapi sangat kuat.<br /><br /><br /><br />3. Periode setelah kemerdekaan<br /><br />Pada periode ini secara bertahap muncul beberapa peraturan-peraturan antara lain :<br />a) UU No. 4 prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia;<br />b) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan;<br />c) UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pertambangan<br />d) UU No. 1 Tahun 1973 tentang landas Kontinen Indonesia;<br />e) UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan;<br />f) UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;<br />g) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;<br />h) UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan;<br />i) UU No. 17 Tahun 1985 tentang I Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982;<br />j) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya;<br />k) UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;<br />l) PP No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai (LN No. 20 Tahun 1974 TLN No. 3031);<br />m) PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia;<br />n) PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah;<br />o) Keputusn menteri pertanian No. 67 tahun 1976 tentang Empat Daerah Operasi Bagi Kapal-kapal Perikanan;<br />p) Keputusan presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;<br />q) Keputusan presiden No. 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.<br />Selanjutnya peraturan perundang-undangan setelah dilakukan penggantian terhadap UU No. 4 Tahun 1982 dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup , juga mulai mmperhatikan bagaimana untuk menjaga agar lingkungan tidak tercemar, yaitu mengeluarkan Undang-Undang yang menjaga agar bagaimana lingkungan secara dini akan terjaga dari pencemaran atas adanya proses pembangunan yaitu AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999 tentang Peraturan Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, Peraturan pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Peraturan pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, ,Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor : Kep-13/MENLH/3/94 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi amdal, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : KEP-14/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang pedoman umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan, Keputusan kepala badan pengendalian dampak lingkungan republik indonesia nomor : Kep-056 Tahun 1994 tentang pedoman mengenai ukuran dampak penting, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : KEP-15/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang pembentukan komisi analisis mengenai dampak lingkungan terpadu, Keputusan presiden republik indonesia nomor : 77 tahun 1994 tentang badan pengendalian dampak lingkungan, Surat keputusan menteri perindustrian nomor : 250/M/SK/10/1994 tentang pedoman teknis penyusunan pengendalian dampak terhadap lingkungan hidup pada sektor industri., Keputusan bersama menteri kesehatan republik indonesia dan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup republik indonesia/kepala badan pengendalian dampak lingkunga nomor : 181/MENKES/SKB.II/1993, KEP.09/BAPEDAL/02/1993 Tanggal 26 Februari 1993 tentang Pelaksanaan Pemantauan Dampak Lingkungan, Keputusan menteri dalam negeri nomor : 29 tahun 1992 tentang pedoman tata cara pelaksanaan analisis mengenai dampak lingkungan bagi proyek-proyek PMA dan PMDN di Daerah., Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : 523 K/201/MPE/1992 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Penyajian Informasi Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan, dan Rencana Pemantauan Lingkungan Untuk Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Keputusan Menteri Negara Lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-11/MENLH/3/1994 tanggal 19 Maret 1994 tentang jenis usaha atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor : 12 tahun 1995 tentang perubahan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 1994 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 19 tahun 1994 tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, Undang-undang republik indonesia nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, Keputusan presiden republik indonesia nomor 75 tahun 1993 tentang koordinasi pengelolaan tata ruang nasional, Keputusan presiden republik indonesia nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 35 tahun 1991 tentang sungai, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 27 tahun 1991 tentang rawa, Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, Undang-undang republik indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, Peraturan pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan pemerintah No. 20 tahun 19990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. <br />Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 10 tahun 1993 tanggal 19 pebruari 1993 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-42/MENLH/11/1994 tentang pedoman umum pelaksanaan audit lingkungan, Keputusan menteri negara lingkungan hidup republik indonesia nomor : Kep-10/MENLH/3/1994 tentang pencabutan keputusan menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup nomor :<br />a. KEP-49/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman penentuan dampak penting dan lampirannya;<br />b. KEP-50/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan lampirannya;<br />c. Kep-51/MENKLH/6/1987 tentang pedoman umum penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkungan dan lampirannya;<br />d. Kep-52/MENKLH/6/1987 tentang batas waktu penyusunan studi evaluasi mengenai dampak lingkugnan;<br />e. Kep-53/MENKLH/6/1987 tentang pedoman susunan keanggotaan dan tata kerja komisi.<br /><br />4. Deklarasi-deklarasi Internasional yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup:<br /><br />Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup.<br />a. Deklarasi Stockholm<br />Deklarasi Stockholm sebagai akibat dari sidang umum PBB 1 Juni 1970 yang menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangi “proses kemrosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbanan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia. Deklarasi Stockholm 1972 Menghasilkan :<br />a) Deklarasi tentang LH (preamble dan 26 asas yang disebut stockholm declaration) didalamnya terdapat hal-hal yang memberikan arahan terhadap penanganan masalah lingkungan hidup termasuk di dalamnya pengaturannya melalui perundang-undangan.<br />b) Rencana aksi lingkungan hidup manusia (action plan), termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia<br />c) Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang aksi tersebut (UNEP)<br />d) Menetapkan 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia<br />e) Sekrerariat UNEP di Nairobi.<br />f) Bangsa-bangsa perlu membangkitkan kesadaran serta partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang lingkungan yang meluas.<br />g) Bangsa-bangsa perlu memberlakukan undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya<br />h) Pihak pencemar harus menanggung akibat pencemaran <br />i) Bangsa-bangsa perlu kerjasama menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan <br />j) Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu pengetahuan dan teknologi inovatif)<br />k) Diperlukan partisipasi penuh para perempuan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, kreativitas semangat dan keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan kepentingan penduduk asli.<br />l) Perang membawa kehancuran pada pembangunan berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati hukum-hukum internasional yang melindungi lingkungan dmasa konflik bersenjata.<br /><br />b. Deklarasi Rio de janeiro 1992 (179 negara)<br />1) Rio Declaration tentang lingkungan hidup dan pembangunan dengan 27 asas yang menetapkan dan tanggung jawab bangsa-bangsa dalam memperjuangkan dan kesejahteraan manusia.<br />2) Agenda 21 rancangan tentang cara mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dan segi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup<br />3) Pernyataan tentang prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi pengelolaan, pelestarian dan pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan yang merupakan unsur mutlak bagi pembangunan ekonomi dan pelestarian segala bentuk kehidupan.<br /><br />Asas-asas Rio de Janeiro<br />1) Manusia berhak atas kehidupan yang sehat, produktif dalam keselarasan dengan alam<br />2) Pembangunan masa kini tidak boleh merugikan kebutuhan pembangunan lingkungan generasi kini dan yad<br />3) Bangsa-bangsa memilik hak dan kedaulatan untuk memanfaatkan SDA mereka sendiri tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan diluar wilayah perbatasan<br />4) Bangsa-bangsa perlu menciptakan undang-undang internasional<br />5) Bangsa-bangsa perlu mengambil tindakan pencegahan untuk melindungi lingkungan<br />6) Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan perlindungan lingkungan harus menjadi integral dari proses pembangunan<br />7) Mengentaskan kemiskinan dan memperkecil kesenjangan dalam taraf kehidupan di berbagai pelosok dunia merupakan keharusan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan<br />8) Bangsa-bangsa perlu bekerjasama untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan kesehatan ekosistem bumi<br />9) Bangsa-bangsa perlu mengurangi dan menghapuskan pola-pola produksi, konsumsi yang tidak berkelanjutan dan merencanakan kebijakan-kebijakan demografi yang layak<br />10) Masalah lingkungan dapat ditangani dengan partisipasi seluruh tisipasi warga negara<br />11) Bangsa-bangsa perlu membangkitkan kesadaran serta partisipasi masyarakat dengan menyediakan iniformasi tentang lingkungan yang meluas<br />12) Bangsa-bangsa perlu memberlakukan undang-undang tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang-undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya<br />13) Pihak pencemar harus menanggung akibat pencemaran<br />14) Bangsa-bangsa perlu kerjasama menegakkan sistem ekonomi internasional yang terbuka untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan<br />15) Pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang masalah-masalahnya (perlu pengetahuan dan teknologi inovatif)<br />16) Diperlukan partisipasi penuh para perempuan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, kreativitas semangat dan keberanian kaum muda dan perlu mengakui dan mendukung identitas kebudayaan dan kepentingan penduduk asli<br />17) Perang membawa kehancuran pada pembangunan berkelanjutan dan bangsa-bangsa perlu menghormati hukum-hukum internasional yang melindungi lingkungan dimasa konflik bersenjata.<br /><br /><br /><br />Agenda 21 Rio Janeiro<br />Deklarasi di Rio de Janeiro Brasil 3 – 14 Juni 1992 yang lebih populer dengan KTT RIO (Konferensi Tingkat Tinggi Bumi dihadiri oleh 179 negara merupakan dokumen komperhensif setebal 700 halaman yang berisikan program aksi pembangunan berkelanjutan menjelang abad 21. Agenda 21 Global terdiri dari 39 bab yang dibagi dalam 4 bagian yaitu : Satu. Dimensi sosial ekonomi; membahas masalah pembangunan yang dititik beratkan pada segi manusia serta isu-isu kunci seperti perdagangan dan keterpaduan pengambilan keputusan. Dua Konservasi dan pengelolaan SDA untuk pembangunan; merupakan bagian terbesar dari agenda 21 yang membahas berbagai permasalahan SDA, ekosistem dan isus-isu penting yang mana kesemuanya perlu pengkajian lebih lanjut bila tujuan pembangunan berkelanjutan ingin dicapai baik pada tingkat global, nasional dan lokal. Tiga Peranan kelompok utama; membahas isu kemitraan antar pengelola lingkungan yang perlu dikembangkan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Empat Sarana pelaksanaan; mengkaji dan menganalisis pertanyaan “bagaimana kita dapat mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkugnan ?” Bagian ini menilai sumberdaya-sumberdaya yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan tersebut. Selain membahas aspek pendanaan, teknologi, isu-isu pendidikan, struktur kelembagaan dan perundang-undangan, data dan informasi serta pengembangan kapasitas nasional yang berkaitan dengan isu pembangunan berkelanjutan.<br />Secara umum dokumen agenda 21 menawarkan berbagai kegiatan konstruktif dan inovatif yang dapat dijalankan oleh negara maju dan berkembang, serta hal-hal penting dalam mencapai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan antara lain :<br />1. Kemitraan nasional (hubungan antara perencanaan pembangunan, pengelolaan lingkungan dan pertimbangan-pertimbangan sosial)<br /><br />2. Setiap negara disarankan menggali strategi pembangunan<br />3. Aspek-aspek yang berkaitan dengan isu-isu perdagangan, investasi dan hutang (biaya-biaya lingkungan dimasukkan dalam pertimbangan)<br />4. Kemiskinan dianggap sebagai penyebab maupun hasil dari penurunan kualitas lingkungan<br />5. Pola konsumsi yang dianut beberapa negara menyebabkan terjadinya polusi dan penurunan kualitas lingkungan.<br />6. Pembangunan pertanian berkaitan dengan keamanan pangan bagi penduduk<br />7. Pentingnya pendidikan dan kesadaran masyarakat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />KTT BUMI.setanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1139203085170933601.post-7598036124912419792010-03-08T00:27:00.000-08:002010-04-02T08:17:02.219-07:00modul I hukum lingkunganLingkungan Hidup<br /><br />Kata Pengantar<br />Lingkungan adalah semua faktor, fisik dan biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan hidup, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme.<br />Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.<br />Lingkungan fisik meliputi benda dan daya, lingkungan biologi meliputi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, lingkungan sosial meliputi manusia dan prilakunya dan lingkungan institusional meliputi lembaga-lembaga yang dibentuk masyarakat.<br />Manusia hanya salah satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang tidaklah merusak, mencemari, atau menguras lingkungan.<br />Manusia hanya dapat hidup dan melanjutkan kehidupannya karena adanya tumbuhan, makhluk hidup yang lain, dan jasad perombak. Sebaliknya alam dengan tumbuhan, makhluk hidup lain, dan jasad perombak dapat hidup terus tanpa adanya manusia, bahkan mungkin akan lebih kekal, karena manusialah yang melakukan perusakan lingkungan.<br />Dengan demikian manusia seharusnya berusaha dengan segala daya dan dana agar lingkungan yang sehat dan serasi tetap terpelihara bahkan meningkat menjadi lebih baik dan lebih indah. Kerusakan sudah terjadi, hendaknya segera diperbaiki sebelum keadaan bertambah parah.<br />Salah satu upayanya adalah pemaksaan dan imbauan kepada masyarakat agar menjaga, memlihara lingkungan yang baik dan sehat, serta lestari. Untuk itu diperlukan penciptaan perangkat peraturan hukum yang baik dan lengkap, disertai penerapan dan penegakkan yang baik dengan aparat penegak yang cakap, jujur, dan mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri atau golongannya. Mengutamakan kenikmatan di masa depan daripada kenikmatan sesaat di masa kini.<br />Tujuan Instruksional Umum (TIU)<br /> Dengan mempelajari modul ini dengan topik lingkungan hidup, diharapkan mahasiswa mampu untuk mengetahui dan memahami tetang permasalahan lingkungan hidup yang ada disekitarnya, dimana manusia juga merupakan bagian dari ekosistem<br />Tujuan Intruksional Khusus (TIK)<br /> Dari modul ini, diharapkan mahasiswa mempunyai pemahaman tentang apa itu lingkungan, lingkungan hidup, ekosistem, ekologi dan pengertian hukum lingkungan baik yang bersifat klasik maupun modern, agar pemahaman dan pengertian terhadap lingkungan membuat mahasiswa lebih mengerti.<br /><br /><br />A. Permasalahan Lingkungan<br /> Masalah lingkungan semakin lama semakin besar, meluas dan serius, bila diumpamakan seperti bola salju yang menggelinding dari puncak gunung sebesar kelereng tetapi setelah sampai di kaki gunung sebesar apa yang tidak diperkirakan oleh manusia. <br /> Begitu juga persoalan lingkungan bila kita lihat secara sepintas, maka kerusakan lingkungan mungkin tidak seberat yang apa kita pikirkan, tetapi bila kita rangkai kerusakan lingkungan satu dengan yang lainnya akan terbentang suatu kerusakan yang sangat merusak ekosistem , dan dampak kerusakan lingkungan tidak hanya merupakan tanggungjawab dari suatu wilayah (regional) tetapi bisa menjadi suatu tanggung jawab nasional, trans-nasional, dan bahkan global. <br /> Hal ini disebabkan dampak dari kerusakan lingkungan tidak hanya berkait pada satu atau dua segi saja, tetapi kait mengkait sesuai dengan sifat lingkungan yang memiliki multi mata rantai relasi yang saling mempengaruhi secara subsistem. <br /> Apabila satu aspek dari lingkungan terkena masalah, maka berbagai aspek lainnya akan mengalami dampak atau akibat pula contoh yang mudah di lihat adalah pembakaran hutan yang berakibat pada polusi udara dan sudah merambah ke negara tetangga.<br /> Sekarang masalah lingkungan tidak lagi dikataka sebagai masalah yang semata-mata bersifat alami, karena manusia memberikan faktor penyebab yang sangat signifikan secara variabel bagi peristiwa-peristiwa lingkungan, dan tidak dapat disangkal lagi bahwa masalah-masalaha lingkungan yang lahir dan berkembang karena faktor manusia jauh lebih besar dan rumit terutama dengan populasi manusia yang semakin besar pertumbuhannya tidak diiringi dengan pertumbuhan lingkungan yang tidak signifikan.<br /> Berkaitan dengan manusia sebagai faktor penyebab terjadiya masalah hukum, maka perlu adanya suatu upaya hukum yang dapat menjadi landasan dalam melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan lingkungan.<br /><br />B. Pengertian Lingkungan Hidup<br /> Untuk memberikan gambaran yang tepat dan jelas, maka perlu adanya pemahaman yang sempurna atas pengertian lingkungan hidup, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam penafsiran hal tersebut. Oleh karena itu pakar lingkungan hidup memberikan beberapa definisi tentang lingkungan dan lingkungan hidup antara lain :<br />1. Otto Soemarwoto dalam buku Raihan 2006:6. Lingkungan adalah jumlah benda dan kondisi yang ada dalam ruangan yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupa kita<br />2. Salim, 1986:7. Lingkungan Hidup adalah segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Batas ruang lingkup menurut ini bisa sngat luas, namun praktisnya kita batasi ruang lingkup dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia seperti faktor alam,politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain.<br />3. Danusaputro, 1980.15. Lingkungan Hidup sebagai semua benda dan kondii termasuk di dalamnya manusia dan jaasad hidup lainnya. <br />4. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 di ganti dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 memberikan definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruangan dan semua benda, daya dan keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. <br />5. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk meestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Dari definisi pengelolaan lingkungan hidup terlihat adanya upaya untuk penggunaan sumber daya alam bersifat berkelanjutan yang ditekankan pada pembangunan berkelanjutan yang berwasasan lingkungan hidup yang mempuyai pengertian upaya sadar dan terencana yang meadukan lingkungan hidup, termask sumber daya, ke daam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Untuk mendukung konsep pembangunan berpola tersebut maka perlu dilakukan pelestarian dari fungsi lingkungan hidup, dimana pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang bermakna kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahkluk hidup lain, Untuk mendapatkan daya tampung dan daya dukung lingkungan perlu dijaga daya tersebut yang bermakna upaya untuk melindungi kemampuan lingkunan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.<br /> Dari uraian definisi tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa lingkungan adalah semua faktor luar, fisik dan biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap ketahanan hidup, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme <br /> Sesuai dengan pengertian lingkungan hidup yang dikemukakan di atas, ada baiknya bila kita ketahui dengan jelas tentang pembagian lingkungan hidup. Pembagian ini perlu kita ketahui terutama dalam rangka pengelolaan lingkungan yang lebih baik sesuai dengan pola-pola yang ditentukan dan dikehendaki.<br /> L.L. Bernard dalam bukunya N.H.T. Siahan Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (2004:13). Beliau menulis dengan judul introduction to social psychologi membagi lingkungan atas empat macam, yakni :<br />1. Lingkungan fisik atau anorganik, yaitu lingkungan yang terdiri dari gaya kosmik dan fisiogeografis seperti: tanah, udara, laut, radiasi, gaya tarik, ombak dan sebagainya.<br />2. Lingkungan biologi atau organik, segla sesuatu yang bersifat biotis berupa mikroorganisme, parasit, hewan, tumbuhan, termasuk juga disini lingkungan prenatal dan proses-proses biologi seperti reproduksi, pertumbuhan dan sebagainya.<br />3. Lingkungan sosial, dibagi dalam tiga (3) bagian, yaitu :<br />a. Lingkugan fisiososial yaitu meliputi kebudayaan materiil (alat): peralatan, senjata, mesin, gedung, dan lain-lain.<br />b. Lingkungan biososial, yaitu manusia dan interaksinya terhadap sesamanya dan tumbuhan beserta hewan domestik dan semua bahan yang digunakan manusia yang berasal dari sumber organik.<br />c. Lingkungan psikososial, yaitu yang berhubungan dengan tabiat batin manusia seperti sikap, pandangan, keinginan, keyakinan. Hal ini terlihat melalui kebiasaan, agama, idiologi, bahasa dan lain-lain.<br />4. Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara institusional, berupa lembaga-lembaga masyarakat, baik yang terdapat di daerah kota atau desa.<br /> Sedangkan pandangan lain tentang pembagian lingkungan dapat kita lihat dari fuad Amsyari <br />1. Lingkungan fisik (physical environment), segala sesuatu di sekitar kita yang bersifat benda mati seperti gunung, sinar, air dan lain-lain<br />2. Lingkungan biologis (biological environment), segala sesuatu yang berada di sekitar kita yang bersifat organis, seperti manusia, binatang, jasad renik, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.<br />3. Lingkungan sosial (social environment), manusia-manusia lain yang berada di sekitar atau kepada siapa kita mengadakan hubungan pergaulan.<br />C. Hubungan Manusia dengan Lingkungan<br /> Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan. Makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makn besar jumlah kebuthan hidupnya yang diambil dari lingkungan, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap lingkungan.<br /> Perhatian dan pengaruh manusia terhadap lingkungan makin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup binaan. Eksploitasi sumber daya alam makin meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya hasil sampingan dari industri erupa asap dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkungan hidup materiil dan kebutuhan hidup nonmateriil. Kebuthan hidup materiil antara lain air, udara, sandang, pangan, papan, transportasi, serta perlengkapan fisik lainnya, sedangkan kebuthan non materiiil manusia adalah rasa aman, kasih sayang, pengakuan atas eksistensinya, pendidikan dan sistem nilai dalam msyarakat.<br /> Kita menyadari manusia juga bagian dari lingkungan biotik yang memiliki nilai lebih dari biotis lainnya, yaitu manusia dianugrahi daya pikir dan daya nalar yang tertinggi dibandingkan dengan biotis lainnya. Disini jelas terlihat bahwa manusia merupakan komponen biotik lingkungn yang aktif. Hal ini disebabkan manausia dapat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan bermacam-macam gejala antara lain baik yang positif maupun yang negatif yaitu :<br />Peran manusia yang bersifat negatif adalah : <br />1. berkurangnya persediaan sumber daya alam karena eksploitasi yang tida henti/terus menerus.<br />2. punahnya sejumlah species tertentu yang merupakan mata rantai dari makanan dalam ekosistem<br />3. berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi ekosistem binaan yang labil karena harus terus membutuhkan energi atau daya dukung.<br />4. berubahnya profil permukaan bumi yang dapat menganggu kestabilan tanah<br />5. masuknya energi dan juga limbah bahan atau senyawa lain ke dalam lingkungan yang menimbulkan pencemran air. Udara, dan tanah yang berakibat terhadap turunnya kualitas lingkungan hidup. Yang berakibat pada pencemaran yang akan berdampak pula pada lingkungan manusia itu sendiri.<br /> Peranan manusia yang bersifat positif adalah peranan yang menguntungkan lingkungan karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan. Peranan manusia yang menguntungkan lingkungan adalah :<br />1. Melakukan eksploitasi sumber daya alam secara tetap dan tepat sereta bijaksana terutama dalam pemakaian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui<br />2. mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman jenis flora dan fauna serta mencegah terjadinya bahaya banjir<br />3. melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah agar kadar bahan pencemar yang terbuang ke lingkungan tidak melampau ambang batas.<br />4. melakukan sistem pertanian secara tumpansari atau multikultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah pertanian yang miring dibuat teracering guna mencegah derasnya erosi serta terhanyutnya lapisan tanah yang mengandung humus.<br />5. membuat perturan, oeganisasi atau perundang-undangan untuk melindungi dan mencegah lingkungan dari kerusakan serta melestarikan jenis satwa dan makhluk hidup yang ada.<br />D. Aspek-aspek Hukum Lingkungan<br /> Almarhum Koesnadi Hardjasoemantri Guru Besar Hukum Lingkungan sebagaimana ditulis dalam bukunya Hukum Tata Lingkungan, bahwa hukum lingkungan di Indonesia dapat melputi aspek-aspek sebagai berikut:<br />a. Hukum Tata Lingkungan<br />b. Hukum Perlindungan Lingkungan<br />c. Hukum Kesehatan Lingkungan<br />d. Hukum Pencemaran Lingkungan (kaitannya dengan pencemaran oleh industri dan sebagainya).<br />e. Hukum Lingkungan Transnasional / internasional (dalam kaitannya dengan hubungan antar negara).<br />f. Hukum perselisihan Lingkungan (dalam kaitannya dengan penyelesaian masalah ganti kerugian, dan sebagainya.<br /><br /> Hukum lingkungan merupakan bidang ilmu yang masih muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dasawarsa akhir ini, maka panjang atau pendeknya sejarah tentang peraturan tersebut tergantung dari apa yang dipandang sebagai environment concern, maka apabila peraturan tentang perumahan termasuk di dalamnya, maka “kode of hamurabi” merupakan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dengan ketentuan yang menyatakan bahwa sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya sehingga runtuh menyebabkan cederanya orang lain <br /> Demikian pula dapat dikemukakan adanya peraturan zaman Romawi tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan tentang teknik sanitasi dan perlindungan lingkungan<br /> Dalam abad-abad akhir ini dapat pula dikemukakan agar terlihat bahwa bila kita bicara tentang lingkungan hidup, maka sejak jaman kerajaan lingkungan hidup sudah merupakan permasalahan hidup yang menggelayuti manusia seperti di Inggris pada abad ke-XVII yaitu adanya tuntutan oleh seorang pemilik tanah terhadap tetangganya yang membangun peternakan babi sedemikian rupa, sehingga baunya dibawa angin ke arah kebun si pemilik tanah.<br /> Memasuki abad ke XIX dengan menghebatnya revolusi industri, maka tidak urung permasalahan lingkungan semakin bertambah berat, sehingga pada abad terebut banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan memuat ketetuan-ketentuan yang sedang trend seperti asap, pencemaran air dan gerakan sanitasi di Inggris, juga ketentuan mengenai pembuangan dari tinja dan sampah yang biasa disebut peraturan tentang higiene perumahan <br />E. Pengertian Hukum Lingkungan<br /> Drupsteen dalam bukunya M. Taufik Makarau mengemukakan bahwa hukum lingkungan (Mileurecht) merupakan hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan, dimana pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuurrecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat, ada pula hukum lingkungan pemerintahan yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi dibentuk oleh badan-badan internasional atau melalui perjanjian dengan negara-negara lain, sehingga timbul berbagai hukum lingkungan seperti hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk millieurech), hukum lingkungan kepidanaan (strafretelijk milieurecht) sepanjang bidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan St. Moenadjat Danusaputro dalam masalah hukum lingkungan membagi menjadi dua bagian yaitu hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau biasa disebut environment oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau biasa disebut use oriented law<br /> Hukum Lingkungan modern environment oriented law menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.<br /> Sebaliknya hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan daam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Dan bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah<br /> Bila kita perhatikan konsep kedua hukum lingkungan antara modern dan klasik, maka terlihat pada konsep hukum lingkungan modern berorientasi pada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan itu sendiri dan dengan demikian lebih banyak berguru kepada ekologi. <br /> Dengan berorientasi pada lingkungan ini, maka hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh atau konfrehensip integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes.<br /> Sedangkan Hukum lingkungan itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Inggris “Environmental Law”, dimana berisi Perangkat norma hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup (fisik) dengan tujuan menjamin kelestarian dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup. Danusaputro mengatakan hukum yang mengatur lingkungan, secara sederhana beliau mengatakan hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup). <br /> Andi Hamzah menyatakan bahwa hukum lingkungan mempunyai 2 dimensi, yaitu :<br />1. Ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, bertujuan supaya anggota masyarakat diimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang tujuannya memecahkan masalah lingkungan.<br />2. Suatu dimensi yang memberi hak, kewajiban dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan.<br /> Adapun peranan hukum lingkungan ini secara khusus diciptakan dengan maksud dan tujuan terpokok untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup yaitu agar tujuan dan usaha memelihara dan melindungi lingkungan hidup dapat berlangsung secara teratur, pasti dan agar diikuti serta ditaati oleh semua pihak, maka tujuan dan usaha tersebut dituangkan dalam peraturan-peraturan hukum, yakni hukum lingkungan.<br /> Sedangkan ruang lingkup hukum lingkungan dapat ditinjau dari segi wilayah kerja, isinya dan sistem hukum. Dari segi wilayah kerja, hukum lingkungan dibedakan atas Hukum Lingkungan Nasional dan Hukum Lingkungan Internasional. Segi isinya, hukum lingkungan dibedakan atas Hukum Lingkungan Publik dan Hukum Lingkungan Perdata. Sedangkan dari segi sistem, maka hukum lingkungan mempunyai subsistem yang meliputi:<br />1. Hukum Lingkungan Administrasi; <br />2. Hukum Lingkungan Keperdataan; <br />3. Hukum Lingkungan Kepidanaan; dan <br />4. Hukum Lingkungan Internasional.<br />berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan azas SUBSIDIARITASsetanonhttp://www.blogger.com/profile/08927363606256781475noreply@blogger.com0